(Identitas Tersembunyi) Inarah yang biasa di sapa Nara sudah dari dulu tak mengikuti jejak sang kakak dan sang adik yang masuk pondok pesantren, Nara memilih sekolah di SMA milik sang kakek.
Tak ada yang tau bahwa Nara adalah cucu dari pemilik SMA karena Nara memang tak menyombongkan diri, bahkan Nara yang penampilannya seperti anak pesantren justru menjadi hinaan oleh teman-teman sekolahnya dan jadi korban bullying.
Tapi itu hanya sesaat, ketika Nara sudah lelah berpura-pura menjadi lemah kini taring yang selama ini di sembunyikannya pun keluar juga bahkan membuat para bullying jadi ketakutan.
Ikuti ceritanya Nara?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hafizoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Setelah kepergian Davin, Nara termenung menatap ke arah dinding berwarna putih di ruang rawatnya, Nara memikirkan apa yang harus dikatakannya pada kedua orang tuanya dan apa yang akan Nara lakukan pada Selina.
Selina terlalu berbahaya kalau terus di biarkan, pintu ruang rawat Nara terbuka mengalihkan pandangannya. Saat tau siapa yang datang membuat Nara terkejut, Nara pun beranjak hendak duduk.
"Udah tiduran saja, non. Gak usah bangun" ujar Mang Udin yang berjalan mendekati ranjang pasien
"Mang Udin tau dari mana saya ada disini?"
"Tadi Mang Udin telepon nomor, non. Soalnya setengah jam nungguin non di depan sekolah, tapi non gak muncul-muncul. Pas telepon tau-taunya teman non yang nama Davin yang menerima telepon Mamang, dia kasih tau kalau non di bawa ke rumah sakit" jelas Mang Udin
"Iya, Mang. Tadi ada insiden kecil makanya saya gak ada di depan sekolah"
"Insiden apa, non? Sampai non harus di larikan ke rumah sakit segala" tanya Mang Udin penuh khawatir
"Tapi Mang Udin janji gak bakal kasih tau pada kedua orang tua saya, ini rahasia kita" kata Nara sembari menyodorkan jari kelingkingnya pada Mang Udin
"Mang Udin janji, non"
Nara pun mulai menceritakan kejadian yang di alaminya dari awal Nara menunggu Mang Udin di gazebo sekolah, sampai Nara tak menyadari kalau ada yang menculiknya dan membawanya ke hutan.
Mang Udin menyimak dengan seksama meski kadang tampak raut wajahnya marah, kesal, dan tersenyum ketika mendengar Nara bercerita tentang Selina yang sangat kesal atas apa di katakan Nara tadi.
"Kalau dia berani dengan non kayak gitu, lebih baik non kasih tau Abinya non. Biar mereka di kasih pelajaran, Mang Udin bukan ikut campur hanya saja takut non kenapa-kenapa"
"Gak apa-apa, Mang. Saya akan lebih hati-hati, ini juga hanya sementara. Saya tak akan membiarkan Selina terus-menerus membuat rusuh, kalau di biarkan akan semakin menjadi" kata Nara yang sudah memiliki ide untuk menjebak Selina dan geng-nya
"Terus nanti kalau Abinya non tanya, ini kenapa? Bagaimana?"
"Saya juga bingung, Mang. Tapi tenang nanti saya pikirkan lagi, yang penting Mang Udin jangan keceplosan"
Disisi lain Rendi mondar-mandir menandakan bahwa tengah khawatir pasalnya hari sudah sore tapi sang anak belum juga pulang, tadi siang juga sang anak tak bisa di hubungi nomornya tak aktif sampai sekarang.
Padahal seharusnya sekarang sang anak sudah berada di rumah berapa jam yang lalu, bahkan mungkin sang anak tengah istirahat namun kali ini sang anak belum menampakkan batang hidungnya.
Mang Udin juga tak bisa di hubungi, entah kemana atau terjadi sesuatu kepada dua orang itu. Memikirkannya membuat kepala Rendi ingin pecah, di tengah kekhawatirannya terdengar bunyi deru mobil.
Bergegas Rendi menuju teras depan, berharap sang anak yang pulang saat ini. Namun Rendi harus menelan kekecewaan ternyata sang istri baru pulang dari supermarket, bersama ART.
Erisa turun dari mobil sembari memerintah ART untuk membawa semua belanjaan mereka ke belakang, lalu Erisa menghampiri sang suami yang tak tengah khawatir dan panik saat ini.
"Mas Rendi, ada apa? Kenapa wajah Mas Rendi tampak panik?" tanya Erisa
"Nara belum pulang, Sayang"
"Apa Mas Rendi sudah menghubunginya atau Mang Udin?" tanya Erisa sekali lagi sembari mengelus punggung tangan sang suami untuk menghilangkan ras panik sang suami
"Sudah tapi nomor mereka berdua tak ada yang aktif"
"Ya sudah, Mas Rendi jangan terlalu khawatir. Kita berdua semoga Nara baik-baik saja, ayo kita masuk. Aku bikini kopi, sekalian makan kue buatan aku tadi sebelum pergi ke supermarket" ajak Erisa merangkul lengan sang suami untuk masuk ke dalam
Rendi mengangguk setuju, Erisa meninggalkan sang suami di ruang keluarga sembari sesekali menoleh memperhatikan sang suami yang benar-benar khawatir dengan sang anak.
Memang baru kali ini sang anak pulang terlambat tanpa mengabari lebih dulu, Erisa menghela napas dan berdoa semoga sang anak selalu dalam lindungan sang MAHA KUASA lalu Erisa melanjutkan langkahnya.
Rendi yang tengah menyandarkan kepalanya di sandaran sofa sembari melipat kedua tangannya di dada dan memejamkan kedua matanya, terdengar kembali bunyi deru mobil memasuki halaman rumah.
Kali ini harapannya tak sia-sia, karena memang Mang Udin dan Nara yang pulang. Namun saat melihat sosok yang baru masuk rumah, Rendi terkejut mendapati sang anak penuh dengan perban.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Rendi langsung beranjak dan menghampiri sang anak
"Tadi sewaktu nunggu Mang Udin, Nara mau di jambret karena Nara gak mau kasihin tas dan HP Nara jadi Nara di siksa" jelas Nara bohong, meski alasannya sedikit tak masuk akal namun tak apa karena bingung ingin memberi alasan apa
"Kenapa gak kamu kasihin aja HP kamu, nanti Abi beliin yang baru dari pada kamu di siksa gini" kata Rendi lebih mendekati sang anak lalu mengelus dan mencium pucuk kepala sang anak
"Nara gak apa-apa, Abi. Ini cuma lecet-lecet dikit, Nara ke kamar dulu mau istirahat"
Rendi mengangguk tak banyak tanya lagi pada sang anak, namun kini matanya beralih ke arah Mang Udin yang berdiri tak jauh darinya lalu Rendi mendekati Mang Udin dan bertanya mengapa tak bisa di hubungi.
Meski sedikit gugup Mang Udin berusaha tetap tenang menjelaskan bahwa HP-nya habis baterai dan lupa mencharger, sehingga tak bisa mengabari sang majikan kalau anak majikan masuk rumah sakit.
Rendi mengusap wajahnya secara kasar, aneh. Seperti ada yang di tutupi oleh sang anak dan Mang Udin, kepalanya mendadak kembali pusing karena begitu khawatir dan cemas pada sang anak.
"Ini Mas Rendi, kopinya"
Erisa muncul dari dapur dengan membawa nampan yang berisi segelas kopi hitam dan piring yang berisi beberapa potong kue buatan sendiri, lalu Erisa meletakkan itu semua di atas meja dan ikut duduk di sofa.
"Nara sudah pulang, Mas?" tanya Erisa pada sang suami
"Sudah, dia lagi di kamar. Pulang dalam keadaan babak belur, katanya di siksa para jambret yang mau mengambil HP-nya. Nanti kamu lihat, takutnya bukan di siksa para jambret tapi di bully oleh teman sekolahnya"
"Baiklah, nanti aku ke kamarnya" kata Erisa tetap tersenyum meski dalam hati juga khawatir
Berapa menit kemudian Erisa sudah berdiri di depan kamar sang anak lalu mengetuk pintu kamar sang anak, dari dalam Nara membuka pintu dan mempersilahkan uminya masuk lalu Nara kembali berbaring di tempat tidur.