Ryan merasa istrinya berubah setelah kepulangannya dari luar kota. Diana yang biasanya pendiam dan lugu, kini dia berubah menjadi sosok yang sedikit berani.
Ryan tidak tahu bahwa istrinya yang sesungguhnya telah meninggal dunia, di bunuh orang tuanya sendiri.
Lantas siapa sosok Diana palsu yang sengaja masuk ke dalam kehidupan Ryan? Dan apakah tujuannya berpura-pura menjadi istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon meliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pukul Kalau Berani!
Bab 11
Makan malam bersama adalah suatu kebiasaan rutin setiap harinya di keluarga Ryan. Tentunya jika Ryan pulang di jam-jam normal. Sebab jika Ryan tak ada, maka Diana pun tak pernah mencoba untuk duduk bersama dengan mertuanya dalam satu momen. Jangankan akur, semasa hidupnya, Diana hanya dipandang selayaknya pembantu di sini, bukan menantu.
“Ayo tambah lagi nasinya, Nak. Ibu ambilkan, ya?” tawar Nurul kepada Sang Anak dan sudah bersiap untuk menyendok nasi ke piringnya.
“Bu, Ryan sudah ada Diana sekarang. Jadi biar Diana saja yang mengurusku. Ibu fokus makan saja,” jawab Ryan dengan bahasa yang biasa. Bahkan cukup halus terdengar meskipun terkadang, pria itu pun mempunyai rasa jengkel terhadap wanita yang sudah membenci wanita baik pilihannya. Namun setidaknya—Ryan harus tetap menghormatinya. Demikian bukan karena Ryan tak tegas, tetapi sepatutnya memang begitu terhadap orang tua.
Raut wajah Nurul seketika berubah ketika mendapat penolakan dari Ryan. Dan semakin kecut lagi pada saat Diara yang mengambil alih tawarannya.
“Segini?” tanya Diara tersenyum.
“Iya, segitu. Terima kasih, Sayang.”
Nurul meletakkan gelas yang baru saja di minumnya ke meja dengan sedikit keras sehingga menimbulkan bunyi. Lantas pergi setelah itu tanpa pamit undur diri. Membiarkan makanan di piringnya tetap utuh tak tersentuh. Ya, wanita itu kesal bukan main diabaikan oleh putranya sendiri. Lebih parahnya lagi mereka malah memamerkan kemesraan di hadapannya.
“Kenapa?” kata Diara bermaksud menanyakan wanita ular tersebut.
“Sudah, jangan dipikirkan!” Ryan tak ambil pusing. Pun sama dengan apa yang Diara lakukan. Mereka kembali melanjutkan makan malam seolah tak pernah terjadi apa-apa.
“Habis ini Mas Ryan mau ngapain?” Diara bertanya manakala mereka telah selesai. Membiarkan Bibi membereskannya ke dapur.
“Gosok gigi,” jawab Ryan.
“Habis itu ngapain lagi?”
“Emang kamu mau aku ngapain?”
“Ehm. Enggak, Cuma nanya.” Diara mendadak salah tingkah. Tadinya ia berharap Ryan akan kembali menyibukkan dirinya di ruang kerja atau melakukan apapun misalnya—bertujuan agar ia bisa mempunyai waktu senggang untuk urusannya sendiri. Dia tidak tahu pertanyaan sederhananya malah jadi blunder.
“Atau kamu ingin kita ....” Ryan berkata sambil mengedikkan matanya. Kode untuk meminta sesuatu yang mengarah ke suatu hal intim pasangan suami istri. Maklum, Ryan sudah lama tak bertemu istrinya. Pria itu butuh sebuah pelepasan.
“Hah? Apa? Engga, engga engga!” Diara yang nyambung sontak menggelengkan kepalanya dan melangkah cepat menuju ke kamar. Yang benar saja dia meminta demikian pada dirinya. Nggak akan! Batinnya menyeru.
Ryan yang bingung lantas mengejar wanita yang dianggap istrinya itu ke kamar. “Lho, memangnya kenapa?”
“Kenapa apanya?” Diara berhenti dan menoleh.
“Kamu bikin aku jadi mikir macem-macem, Di,” jawab Ryan. “Apa aku nggak menarik lagi di matamu? Atau kamu mau aku seperti apa biar kamu nggak bosan?”
“Mas Ryan,” sela Diara, “aku nggak ada pikiran begitu. Aku Cuma... aku cuma masih berdarah. Ya, aku masih berdarah.”
Ryan menggerakkan alisnya ke arah dalam sehingga kedua alisnya hampir bertemu. Pertanda meminta wanita itu untuk menjelaskannya lebih lanjut.
“Kalau Mas Ryan tahu nifas, aku sedang menjalani masa-masa itu. Kan keguguran sama aja melahirkan,” jelasnya asal nyablak.
“Oh ...” pria itu membulatkan bibirnya. “Jadi kapan aku bisa menyentuhmu lagi?”
“Kira-kira empat puluh harianlah.”
“Apa?” sontak Ryan melebarkan kedua bola matanya. “Yang benar saja! Aku nggak bisa. Kamu bisa menggunakan cara lain kalau aku belum bisa menggunakannya.”
“Izinkan aku istirahat malam ini, aku capek,” tolak Diara menggulung tubuhnya dengan bedcover untuk melindungi diri dari ancaman singa yang tengah kelaparan.
Astaga, pria ini!
Dia sudah libur seminggu Diara. Kamu harus hati-hati. Bisa fatal akibatnya kalau hubungan itu terjadi sebelum kamu menyelesaikan misi ini.
^^^
“Ini Hp barumu. Katanya Hp mu hilang.” Ryan menyerahkan kotak kecil berisi benda tersebut. Ponsel mahal keluaran luar negeri. “Lain kali hati-hati ya, pakainya. Jadi nggak hilang.”
“Aku nggak sengaja ngilangin. Kan aku udah bilang kemarin ke kamu kenapa aku bisa pergi dari rumah. Ada yang melakukan kejahatan sama aku.”
Ryan terdiam. Dapat dipastikan pria itu memang belum sepenuhnya mempercayai kata-kata Diara. Pasalnya Ryan tak pernah menanggapi singgungan ceritanya yang mengarah ke kejadian kriminal kembarannya tersebut. Seolah menganggap kejadian ini tak begitu penting.
Entah bagaimana cara dia meyakinkan pria itu untuk mempercayainya. Padahal tadinya, Diara ingin membuat Ryan berada di pihaknya agar bisa membantu membereskan masalah ini. Ternyata nggak mudah. Tapi jika kelak bukti-bukti pembunuhan mengarah ke ibunya, apakah dia masih mau mengelak dan mau melindungi wanita itu? Ya ampun. Diara tak habis pikir.
Seorang anak memang harus berbakti kepada orang tuanya, terlebih ibunya. Namun, orang tua seperti apa dulu yang wajib dihormati?
“Makasih, Mas.” Hanya demikian yang dapat Diara katakan kali ini lantaran ia tak bisa mengatakan hal lain lagi.
“Sama-sama.”
Usai Ryan berangkat kerja, Nurul pun mulai beraksi.
“Sepertinya kamu lebih energik, ya! Setahuku kamu sudah hampir mati kemarin. Tapi sekarang malah tambah seger kelihatannya. Aku curiga. Jangan-jangan ....”
“Jangan-jangan apa?” sela Diara cepat. “Asal Ibu tahu, ya. Setiap orang itu bisa berubah jadi lebih kuat daripada sebelumnya karena desakan yang pernah dia alami!” ujarnya lagi penuh penekanan.
“Oh, berani sekali kamu sekarang. Biasanya kelemar-kelemer kayak orang kurang gizi.”
“Terserah apa katamu.”
“Omong-omong, gimana kabar bayimu setelah aku cus!” Nurul memperagakan gerakan menusuk di perut, “sepertinya aku nggak lihat kamu mual-muntah pagi ini. Syukurlah kalau udah nggak ada. Aku jijik sekali melihatnya.”
Dada Diara yang semula panas jadi semakin panas. Dia menoleh dan menyorot tajam wanita tua yang ada di sampingnya itu. Oh, jadi begini kronologinya? Ah, Diara menyesal sekali karena dia tidak membawa ponselnya tadi sehingga ia melewatkan pengakuan nyata yang bisa ia jadikan bukti akurat. Sialan!
Diara mengepalkan tangannya. Bersiap hendak memukul wajah kendur wanita ular itu.
“Kenapa? Mau pukul?” tanya Nurul, “pukul aja kalau berani. Gampang sekali mengeluarkanmu dari sini karena alasan ini nantinya. Pasti seru kalau lihat kamu diceraikan. Aku bakal puas sekali,” kekehnya dengan sangat menjijikkan di mata Diara.
Kenapa rumah sebesar ini tak dipasang CCTV saja? Kalau begini caranya, Ryan tidak akan pernah tahu seperti apa wujud rupa ibunya sebenarnya.