Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20. Akhir Pekan.
Hari ini merupakan akhir pekan. Alvino kebingungan mencari alasan untuk dia katakan kepada sang mama.
Pria itu tidak bisa membawa Regina menemui mamanya. Jangankan untuk mengajak bertemu sang mama, untuk bertemu dengan Regina sendiri, Alvino sangat kesusahan.
Tidak ada jejak wanita itu di rumah kontrakannya. Alvino sempat menanyai salah satu tetangga Regina. Namun, orang itu mengatakan jika sudah lama tidak melihat wanita berusia 28 tahun itu.
Tak habis akal, Alvino juga sempat menanyai sang kekasih kepada pemilik kontrakan. Apa Regina masih mengontrak atau tidak. Pemilik rumah mengatakan jika Regina sudah membayar hingga 6 bulan kedepan. Yang artinya, wanita itu masih berstatus penyewa sah dari rumah itu.
“Ada apa?” Tanya Tamara kepada sang atasan yang tengah melamun di meja makan, di apartemen wanita itu. Mereka kini tengah menikmati sarapan.
Semalam, Alvino menginap di tempatnya.
“Mama meminta ku membawa Regina pulang ke rumah hari ini. Sementara, aku sendiri tidak tau dia dimana.” Jawab Alvino sembari mengacak rambutnya.
“Apa nona Regina belum ada kabar juga?”
Pria itu menganggukkan kepalanya kecil.
“Tebakan ku mungkin benar, dia di sembunyikan oleh atasannya.”
Alvino menatap Tamara tak percaya. Sudah berulang kali wanita itu mengatakan hal yang sama. Namun, Alvino selalu menolak untuk percaya.
Tamara menghela nafasnya pelan.
“Al, apapun bisa terjadi. Contohnya kita. Aku bukannya menjelekkan kekasih tercinta mu. Tetapi, kamu juga harus membuka pikiranmu. Tidak mungkin nona Regina bisa menghilang tanpa jejak begini, jika tidak ada campur tangan orang lain. Dan.. siapa lagi yang terlibat dalam masalah kalian, jika bukan atasannya.”
Alvino berusaha mencerna rangkaian kalimat yang di ucapan oleh sekretaris sekaligus wanita simpanannya itu.
Ada benarnya juga. Bukannya, William terang-terangan mengancam dirinya waktu itu.
“Aku pastikan suatu hari nanti Regina akan meninggalkan mu”
Ia kembali teringat ucapan William sebelum meninggalkannya di parkiran restoran tempo hari.
Dan semenjak saat itu, Regina jadi semakin susah untuk di hubungi.
“Aku tidak bermaksud memprovokasi mu, Al. Tetapi kamu juga patut mencurigainya, kan? Nona Regina tidak mau menyerahkan diri padamu. Tetapi, dia begitu dekat dengan atasannya. Siapa yang tau, apa yang mereka lakukan di belakangmu.”
“Regina tidak mungkin begitu.”
Tamara berdecak. Pria itu begitu mencintai kekasihnya, hingga tidak mau membuka pikirannya. Ia pun meninggalkan Alvino sendirian di meja makan.
“Aku sudah memberitahu mu, Al. Tetapi kamu begitu mencintainya.” Tamara bermonolog.
*****
Sementara itu, Regina kini masih bergelung di bawah selimut dengan sang atasan. Mereka tidak melakukan apapun, karena datang bulan wanita itu belum selesai.
Di tengah asyiknya berbagi kehangatan di bawah selimut, ponsel William yang tergeletak di atas nakas berdering.
Dengan malas, pria itu meraih benda pipih pintarnya. Ia sedikit mengerejapkan mata. Melihat siapa yang memanggilnya pagi-pagi begini.
“Hallo, ada apa bawel? Pagi-pagi sudah menggangguku.” Ucapnya saat ponsel telah menempel di telinganya.
“Abang dimana? Tolong hubungi Regina, aku dan mama hari ini libur. Kami mau mengajak Regina memasak di rumah.” Suara Willona terdengar nyaring di seberang panggilan.
“Regina?” William mengreyitkan alisnya, ia seketika tersadar. Dan menoleh ke arah samping kirinya. Wanita yang di tanyakan oleh sang adik, kini tengah tersenyum ke arahnya dengan mata yang masih sedikit menyipit.
“Regina, dia mungkin ada di rumahnya. Nanti aku akan mengajaknya kesana.” Dusta pria itu. Ia pun sedikit menggeser tubuhnya. Mendekat ke arah Regina. Kemudian melabuhkan sebuah kecupan di atas kening wanita itu.
“Morning.” Ucapnya tanpa suara agar Willona tak mendengar.
Regina membalas dengan senyuman. Ia kembali memejamkan matanya.
“Ya sudah, jangan lama-lama, karena selain memasak, kami juga akan melakukan perawatan di rumah.”
“Bagaimana caranya memasak dan perawatan di hari yang sama?” Tanya William tak percaya. Dan Willona pun terkekeh di seberang panggilan.
“Ya, tujuan utamanya perawatan dulu. Memasak hanya kamuflase.”
William berdecak. Tetapi ada bagusnya juga Regina ikut mama dan adiknya perawatan. Wanita pujaan hatinya itu pasti akan semakin cantik.
“Baiklah, tutup telponnya, maka aku akan segera membawa wanita itu ke rumah.”
Panggilan pun berakhir. William kembali menyimpan ponselnya di atas nakas.
“Hon. Bangun. Mama memintamu datang ke rumah.” Ucapnya sembari mengusap lembut pipi sang sekretaris.
Regina perlahan menggeliat. Ia mengerejapkan matanya beberapa kali.
“Kenapa mama mu meminta ku datang?” Tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.
“Mereka mau melakukan perawatan di rumah. Dan mengajakmu juga.”
Netra Regina terbuka sempurna, kala ia mendengar tawaran yang menggiurkan. Perawatan gratis dan sudah pasti menggunakan produk mahal.
“Gratis kan?” Tanyanya polos.
“Tentu. Untuk calon menantu keluarga Sanjaya, apapun gratis.”
Regina mencebik. Pipinya mendadak panas mendengar William mengatakan hal itu.
“Siapa juga yang mau menjadi menantu keluarga Sanjaya?”
“Kamu lah, siapa lagi.”
William kemudian meraup tubuh wanita itu, membawanya ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah membersihkan diri dan bersiap selama 20 menit. Mereka keluar kamar dan menyiapkan sarapan.
Hanya ada roti tawar dan selai kacang. William dan Regina pun menikmatinya. Mereka harus cepat agar tidak memancing kecurigaan keluarga Sanjaya.
Terlihat serasi dengan tampilan santainya, William menggenggam tangan Regina ke arah lift yang menuju parkir bawah tanah.
Keluar dari lift pun, jemari mereka masih bertaut, di selingi dengan obrolan ringan. Tanpa sengaja, Regina menabrak seorang pria dari berlawanan arah. Dan membuat tubuhnya sedikit terhuyung.
“Maaf.” Ucap pria itu.
William menatap tak suka. Ia kemudian merangkul bahu Regina.
“Lain kali, jalan lihat-lihat, bung. Jangan sambil main ponsel.” Peringatnya.
“Upss.. sorry.” Pria itu mengatupkan kedua tangan di depan dada.
William menghiraukan begitu saja, ia menarik Regina, dan meninggalkan pria itu disana.
Hendak masuk ke dalam lift, pria itu kembali memutar badan melihat ke arah dua orang yang berjalan saling merangkul mesra itu.
Alisnya tiba-tiba menyatu. Kala ia merasa mengenali wanita yang di tabraknya.
“Bukannya itu kekasih Alvino? Kenapa bersama pria lain? Apa mungkin aku salah lihat?” Ucap pria itu sembari mengedikan bahunya. Ia pun kembali melanjutkan langkah memasuki kotak besi di depannya.
.
.
.
Bersambung.