Misteri Kematian Istriku
“Enak ya, pagi-pagi udah nyantai,” sindir Ibu Mertua Diana saat wanita itu baru saja menjatuhkan tubuhnya di tempat duduk. Diana tengah menguraikan rasa pegalnya setelah melakukan banyak sekali pekerjaan rumah tangga pagi ini setelah suaminya pergi ke kantor.
Sebenarnya ada asisten rumah tangga di rumah ini, namun entah kenapa, ibu mertua terus saja menyuruhnya. Memberikan banyak tugas-tugas yang cukup berat.
Di tegur demikian membuat Diana segera beranjak. Dia tidak ingin dikata menantu yang tidak tahu diri, tidak tahu sopan santun atau apalah kalimat sejenisnya jika dia tak menghormati keberadaan ibu mertuanya. Dengan menunduk, dia pun mengatakan, “Ma-maaf, Bu. Apa masih ada pekerjaan lagi yang harus Diana lakukan?”
Suara Diana gugup dan gemetar. Dia adalah gadis lugu yang takut dengan tatapan tajam wanita tua yang bergelar mertuanya itu. Ah, seharusnya Diana tidak perlu takut. Diana bisa saja pergi dari rumah besar ini. Namun, selain harus bisa bertahan demi perasaan cintanya kepada sang suami, Diana harus bisa membuktikan bahwa dirinya bisa menaklukkan hati ibu mertuanya. Diana yakin, Nurul masih mempunyai sisi baiknya sebagai seorang ibu. Ya, Diana mengira Nurul hanya cemburu karena setelah Rian dewasa dan menikah, pria itu lebih mencintai dirinya dan perhatian kepadanya di bandingkan dengan ibu kandungnya sendiri.
“Cucian baju udah numpuk! Belum dicuci. Kok malah enak-enakan di sini? Bantu orang dapur. Nggak ada yang boleh jadi nyonya di sini. Semuanya harus kerja. Aku aja yang sudah tua-tua begini masih kerja. Enak saja,” katanya sangat ketus.
“Tapi selain pakaian kotor milik Mas Ryan kan, tugasnya Mba Yuni, Bu. Dan Diana sudah mencucinya tadi pagi,” jawab Diana amat hati-hati mengatakannya. Meskipun dia merasa jawaban ini salah. Karena setiap perkataan yang keluar dari mulutnya adalah salah.
“Tugas Yuni itu banyak! Apa kamu nggak mau membantunya? Sudahlah, kerjakan saja! Jangan banyak bantah!”
Tak ingin perdebatan semakin panjang, Diana pun mengiyakan titah ibu mertuanya. Lalu berlalu ke belakang. Mengambil detergen dan mengisi air di dalam ember besar. Kemudian memasukkan pakaian kotor milik ibu mertuanya yang tidak bisa di cuci menggunakan mesin.
Beginilah keseharian Diana sehari-hari setelah menikah dengan Ryan selama dua bulan belakangan ini. Tetapi setelah Ryan berangkat bekerja. Karena saat Ryan masih di rumah, Nurul tidak begitu menunjukkan sikap tak terpujinya di depan putra semata wayangnya tersebut.
“Sini, biar saya bantuin, Non.” Yuni menyelinap diam-diam menuju ke tempat pencucian baju untuk membantu majikannya yang malang.
“Eh, nggak usah Mba. Nanti kalau ketahuan Ibu, Mba Yuni bisa dimarahin.”
“Yang penting jangan sampai ketahuan,” balasnya sambil bersikap waspada. “Non pasti capek banget. Tega banget Si Ibu nyuruh-nyuruh Non terus. Kerjaan beginian mah harusnya emang jadi tugas saya, Non.”
“Nggak papa, Mba. Mungkin udah jadi jalan hidupku begini.” Diana menatap kosong. Pikirannya menerawang. Meratapi masa lalunya yang sesungguhnya jauh lebih indah sebelum dinikahi oleh pria kaya dan yang datang ke kampung halamannya.
Seandainya dia tak mengenali Ryan, seorang arsitektur bangunan yang pada saat itu hendak membeli tanah neneknya untuk dibangun menjadi sebuah tempat wisata, pasti kejadiannya tak akan seperti ini. Namun apa hendak di kata dan apa yang mau di sesali? Semua sudah terjadi dan waktu tidak mungkin bisa terulang kembali.
“Jangan putus asa, Non. Raih hatinya. Buktikan bahwa Non Diana itu pantas menjadi menantunya.” Yuni mencoba mengobarkan semangat Diana, meskipun ia tahu itu tak akan mungkin. Sebab Yuni tahu bagaimana sikap majikannya itu karena dia sudah lama bekerja di sini. Sakit watuk (batuk) itu bisa di obati, tapi kalau sudah watak, biasanya sejatinya.
“Awalnya pikir ku juga seperti itu, Mba. Tapi saat ini ... setelah aku jalani, aku berubah pikiran. Rasanya sulit banget buat sabar. Ibu tetap nggak suka sama aku meskipun aku sudah melakukan banyak hal untuknya. Apapun yang aku tunjukkin di depannya, nggak ada yang bisa membuatnya senang. Semuanya salah.” Diana sudah mulai hampir putus asa. “Aku harus gimana?”
“Maaf, kalau boleh ngasih saran, sih. Sebaiknya, Non Diana minta pisah rumah saja. Biarpun mungkin kalian hidup lebih sederhana, tapi saya jamin, kalian akan jauh lebih bahagia daripada hidup sama mertua galak seperti Ibu Nurul. Itu sih, hanya pendapatku aja, Non. Coba Non Diana bicarakan sama Pak Ryan. Insyaallah beliau pasti mau ngerti, kok. Pak Ryan kan orang baik, beda 180 derajat sama ibunya.”
“Aku udah bicarain ini sebelumnya sama Mas Ryan,” jawab Diana membuat Yuni langsung menyela sangat ingin tahu, “terus jawabannya apa?”
“Mas Ryan minta aku sabar karena dia nggak mungkin meninggalkan orang tuanya yang tinggal satu-satunya, Mba. Karena setiap kali Mas Ryan bicara sama beliau tentang rencana kami pindah, Ibu selalu nunjukkin kalau beliau sedang sakit keras supaya nggak ditinggalkan olehnya.”
“Hanya akting nggak sih? Ya maklum, orang kelihatannya sehat. Kalau teriak aja kerasnya minta ampun. UPS!” Yuni langsung membekap mulutnya. “Non jangan bilang-bilang aku omong kek gini. Bisa dipecat akunya.” Yuni tertawa kemudian.
“Ya nggak lah. Aku nggak seember itu, Mba.” Jeda sejenak, Diana melanjutkan, “Ambil pelajaran ini untuk kamu juga Mba, jangan nikah sama orang kaya. Sebab bisa gini akibatnya. Kalau suami baik, belum tentu orang tuanya mau terima.”
“Jangan mandang semua orang kaya itu sama karena apa yang Non alami sekarang. Ada juga mertua kaya yang baik dan tulus, kok. Cuma Non aja yang kebetulan lagi kurang beruntung.”
“Tapi seenggaknya keluarganya juga nggak ada yang bisa merendahkan kalau pasangan kita sepadan.”
“Yuni! Yuni!” teriakan Nurul yang terdengar menggelegar membuat Yuni buru-buru melompat dari tempat pencucian pakaian dan segera menghampiri sumber suara. Meninggalkan Diana sendirian di sana agar dia tak terkena lagi omelannya.
“Lagi ngapain kamu di sana?” hardik Nurul begitu Yuni mendekati wanita itu. “Habis bantuin Diana?”
“Saya lagi makan, Bu,” jawab Yuni sekenanya.
“Makan melulu! Bikinin saya kopi!”
“Tapi Ibu kan nggak boleh minum kopi sama Mas Ryan,” Yuni membantah.
“Nggak menantu, nggak pembantu, sama-sama tukang bantah. Bikinin cepat! Aku ngantuk! Kerjaanku masih banyak ini,” suara Nurul makin meninggi. Benci sekali dia dengan semua orang di dalam rumah ini, terlebih dengan menantunya, istri kesayangan putranya itu. Gadis kampung yang sama sekali tidak pantas bersanding dengan anaknya. Menyebalkan! Seolah tidak ada lagi wanita di dunia ini sehingga Ryan malah memilih gadis kampung seperti Diana.
Padahal, banyak kenalan anak-anak sosialitanya yang cantik-cantik dan berpendidikan tinggi, tetapi Ryan malah memilih gadis kampungan dan bodoh seperti Diana yang entah di dapat dari mana. Karena tahu-tahu, pulang bawa istri. Nurul pun heran dengan selera anaknya yang sangat jauh dari angannya selama ini. Apa dia sudah di guna-guna oleh perempuan itu?
“Baik, Bu. Saya bikinin sebentar.” Yuni segera berlalu untuk membuatkan pesanannya dengan gerutuan di hati. Dia bahkan ingin sekali memasukkan racun sianida ke dalam kopi buatannya agar dia cepat mati saja karena orang seperti itu; tidak ada gunanya hidup di dunia selain bikin sakit hati orang saja.
***
Hai, aku balik lagi. Ini pindahan dari Kabeem, ya. aku up di sini karena banyak yg gak punya aplikasi nya. Yuk dukung karya ini dengan like komen dan masukkan ke rak buku kalian, ya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
inayah machmud
ngeselin banget tuh nenek peot...
2023-06-14
0
tiara officiall
mbak ana yang di terminal terakir boleh donk pindah sini....
2023-01-04
0
rinny aphrystanti
nenek nenek cerewet bener ya....
2022-11-08
1