Selama 4 tahun lamanya berumah tangga, tak sedikit pun Naya mengecap keadilan.
Hidup satu atap dengan mertua begitu menyesakkan dada Naya, dia di tuntut sempurna hanya karena dia belum bisa memberikan keturunan. Di sepelekan, di olok-olok oleh mertua dan juga iparnya. Sang suami cuek dengan keluh kesahnya, bahkan dengan teganya ia menikah kembali tanpa meminta izin dari Naya selaku istri pertama.
Daripada di madu, Naya lebih baik mengajukan gugatan perceraian. siapa sangka setelah ketuk palu, dirinya ternyata sudah berbadan dua.
Bagaimana kehidupan yang Naya jalani setelah bercerai, akankah dia kembali pada mantan suaminya demi sang buah hati?
"Jangan sentuh anakku! Berani menggapainya itu sama saja dengan mempertaruhkan nyawa." Naya Suci Ramadhani.
Woowww... bagaimana kah karakter Naya? apakah dia lemah lembut? atau justru dia adalah sosok perempuan yang tangguh.
Yuk, simak ceritanya jangan sampai ketinggalan 👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berteman
Kurang baik apa selama ini Egi, ia tidak menuntut apapun dari Neti dan juga selalu berusaha menjadi suami dan ayah yang baik di mata anaknya. Tetapi segala kebaikannya tidak ada apresiasi apapun, malah dengan seenaknya Neti dan anaknya memanfaatkan segala kebaikannya itu.
Neti tetap memegangi pipinya yang terasa panas. Sesi keluar dari dalam kamarnya begitu mendengar suara keributan, begitu pun Seni yang membuka pintu kamar sambil menyipitkan matanya.
"Ada apaan sih? Kenapa ribut banget." Ucap Seni berjalan menghampiri kedua orangtuanya dengan suara serak khas bangun tidurnya.
Egi menoleh ke belakang, ia melihat penampilan Seni yang berantakan dan juga bau alkohol menyengat ke indera penciuman Egi. Ayah mana yang tidak marah dan juga kecewa akan hal itu, tanpa berpikir panjang lagi Egi membalikkan tubuhnya menghadap anak perempuannya.
"Mabuk lagi? Mau jadi apa kamu, hm?" Tanya Egi dengan nada membentak.
Seni terperanjat dengan bentakan Egi, matanya langsung terbuka lebar dan kakinya berjalan mundur begitu ayahnya semakin maju kearahnya dengan kilatan penuh amarah.
"Papa tanya sama kamu! Mau jadi apa kalau kayak gini terus? Mau ngikutin jejak ibu kamu? Sering kelayapan, bergaul sama lawan jenis, mabuk-mabukan sampai hamil dan menggugurkan kandungan. Iya!" Kali ini Egi sudah tak bisa menahan emosinya yang sudah di pendam selama bertahun-tahun lamanya.
"P-Papa .." Seni gelagapan. Seorang Egi yang selalu diam kini membentaknya tanpa rasa kasihan, jujur saat ini ia sangat takut sekali.
"Apa?! Kalau kamu masih mau anggap aku papamu, maka mulai detik ini juga ikut Papa. Tidak ada ayah yang rela melihat anaknya seberantakan ini, Papa mau kamu punya tujuan hidup bukan malah merusak masa depan sendiri."
Egi memberi pilihan pada Seni, tidak ada kelembutan lagi dalam membujuk putrinya dan satu-satunya jalan adalah membawanya pergi dari rumah ibunya sendiri.
"Tidak bisa! Seni anakku, kau tidak boleh membawanya kemanapun." Cegah Neti.
"DIAM!!" Egi menunjuk wajah Neti yang langsung berubah pias.
Sesi pun tersentak mendengar suara Egi yang menggelegar di seluruh penjuru ruangan, atmosfer rumah berubah menjadi panas dan penuh ketegangan.
Seni mulai menangis ketakutan, ia menyandarkan tubuhnya ke tembok dan perlahan merosot duduk memeluk lututnya.
Egi dan Neti pun semakin cekcok dan hal itu membuat Seni semakin bergetar ketakutan, kepalanya terasa berisik dan Sesi menyadari hal itu pun segera menghampiri Seni.
"Sen, apa kamu baik-baik saja?" Tanya Sesi khawatir.
"Huhu, diam.. Aku mohon diam." Lirih Seni menarik rambutnya sendiri dengan kuat.
Egi menepis tangan Neti yang hendak mencegahnya berjalan kearah Seni.
"Ayo cepat, kita pergi dari sini!" Tegas Egi menarik tangan Seni yang masih betah memeluk lututnya.
"Pa, tapi kondisi Seni lagi gak baik." Ucap Sesi.
"Diam kau j****g!" Ketus Egi menatap nyalang pada Sesi.
Detik itu juga Seni di bawa keluar dari rumah itu, meskipun Seni menolak tak membuat Egi gentar dengan segala akalnya Egi pun memukul bagian kepala Seni dari belakang sampai tak sadarkan diri. Hanya dengan cara itulah Egi bisa membawa putrinya tanpa adanya perlawanan.
"Ini demi kebaikan kamu, nak." Gumam Egi.
Egi pun membawa Seni masuk ke dalam taxi yang lewat di jalan raya. Begitu mendudukkan putrinya, hati Egi bagai di remas sampai hancur tak berbentuk.
*
*
Arzan, Rhea dan Naya sedang duduk di ruang tamu begitu Baby Khalisa sudah berhasil di tidurkan. Sedikit banyaknya Arzan tahu cerita Naya dari yang ia dengar begitu Rhea meluruskan fitnah yang Neti layangkan, tentunya ada rasa iba yang Arzan rasakan karena ternyata kisah hidup Naya lebih berat daripada kisah percintaannya.
"Kenapa loe sekuat itu? Pas loe nolong gue waktu itu juga loe sama-sama ada masalah kan? Kenapa gak ikut lompat aja bareng gue." Celetuk Arzan.
"Setidaknya gue masih punya kewarasan meskipun dari yang 100% tuh cuman tinggal 20%. Kalo gue ikut loe terjun, gak bakalan gue ngerasain yang namanya jadi ibu, betapa berharganya anak yang udah gue harapkan selama 4 tahun lamanya." Ucap Naya.
"Emang ada gilanya ya, mana ngajak terjun bareng." Rhea tak habis pikir dengan jalan hidup Arzan.
"Emang udah gila. Padahal ya, orangtua baik, kaya raya. Apa sih yang loe harepin? Kalo soal cinta, Tuhan punya skenario lebih indah ke depannya. Jangan melulu stuck di orang yang udah jelas gak pernah kembali lagi, tata hidup loe jadi lebih baik karena ujian hidup loe titiknya ada di situ." Ucap Naya blak-blakan.
"Jadi menurut loe berdua gue gak bersyukur. Begitu?" Tanya Arzan dengan tatapan polosnya.
"Banget!" Jawab Naya dan Rhea bersamaan.
Arzan menggaruk lehernya yang tak gatal, kembali tertampar dengan kenyataan membuatnya kikuk dan berpikir keras.
Ketiganya kembali berbincang dan sesekali tertawa karena celotehan Arzan. Sampai suara pintu terbuka membuat atensi ketiganya teralihkan, Rhea bangun dari duduknya saat melihat Egi menggendong Seni dengan susah payah.
"Loh, Mas. Kenapa Seni? Apa yang terjadi padanya?" Tanya Rhea sambil berjalan mengekor di belakang tubuh Egi.
"Nanti aku jelaskan. Tolong buka pintu kamar kamu, aku numpang tidurin Seni dulu." Ucap Egi.
Rhea lantas membuka pintu kamarnya dengan lebar, ia membantu menyelimuti tubuh Seni saat Egi berhasil membaringkannya.
"Biarkan dia tidur, setelah bangun aku akan membawanya ke pusat rehabilitasi." Ucap Egi.
"Apa Mas yakin?" Tanya Rhea.
"Sangat yakin!" Jawab Egi dengan tegas.
"Baiklah, aku dukung apapun keputusanmu." Ucap Rhea.
Egi dan Rhea keluar dari dalam kamar dan ikut bergabung dengan Naya dan Arzan.
"Maaf ya, nak. Kamu jadi terlibat kejadian tadi." Ucap Egi pada Arzan.
"Tidak apa, mulai sekarang aku dan Naya berteman. Bukankah sudah sepatutnya sebagai teman saling menolong?" Ucap Arzan.
"Gue keberatan temenan sama loe, soalnya loe itu suka seenaknya." Ucap Naya.
"Ah elah lu mah, baperan amat." Ucap Arzan.
Eaakkkk... Eaaakkk...
Suara Khalisa membuat semuanya terdiam, Naya langsung beranjak dari kursinya dan berjalan menuju kamarnya.
Naya membawa Baby Khalisa keluar dari dalam kamar, Arzan menatap Naya yang hendak menyingkap baju kaosnya bersiap menyusui Khalisa.
"Stop! Bisa gak sih lu kalo bayi nangis kasih Asinya di kamar aja, gue gak bisa liat melon lu terpampang naya depan biji mata gue. Burung gue baperan soalnya." Protes Arzan.
Egi dan Rhea sontak tertawa, celetukan Arzan ringan tapi menggelitik perut.
"Dasar cabul loe!" Naya berbalik dan kembali masuk ke kamarnya.
Arzan bisa bernafas lega karena Naya pergi dari hadapannya, ia lelaki normal yang bisa saja terpancing. Tetapi sejauh ini, hanya Naya saja yang mampu memancing bir***nya naik. Di dalam bisnis perempuan penggoda sudah bukan hal rahasia lagi, saat bersama Karina maupun mantannya yang pertama Arzan nampak biasa saja dan bisa menahan semuanya. Sedangkan Naya, baru melihat buah kepala kembar saja langsung on.
Maaf banget up satu, posisinya lagi hujan terus petirnya gede-gede. Mana deket tower, pegang hp aja takut 🙏