Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Pagi harinya ....
Setelah berpakaian dengan rapi juga berdandan ala kadarnya, Quin langsung menuju ke kamar Damar.
Ia pun mengetuk pintu lalu membuka benda itu.
"Selamat pagi, Mr. Brewok," ucap Quin sekaligus berkelakar. Ia tertawa lalu menghampiri Damar.
"Pagi juga Quin," sahut Damar ikut tertawa merasa lucu.
"Ayo, biar aku membantumu hingga ke kamar mandi. Tapi, harus berjalan sebagai langkah awal untuk melatih otot kaki. Berpeganglah di pundakku jangan ragu," saran Quin.
Dengan patuh Damar menurut. Ia mulai berpegang ke pundak Quin. Sejenak ia memejamkan mata takala mencium aroma parfum yang menyeruak dari tubuh gadis itu.
"Come on, kamu pasti bisa," bisik Quin sekaligus menyemangati Damar.
Quin memundurkan langkah perlahan menyesuaikan gerakan kaki Damar menuju kamar mandi.
Ketika keduanya berada di bawah shower, Quin meminta Damar terus berpegangan di dinding kaca.
"Gunakan air hangat karena itu baik untuk melancarkan aliran darah," saran Quin. "Kamu bisa kan bertahan berdiri selama 5 menit?"
"Aku akan mencobanya. Jika aku nggak tahan, aku pasti akan memanggilmu," timpal Damar dengan senyum tipis.
"Aku yakin kamu pasti bisa," balas Quin. "Jangan lupa tetap semangat, aku akan terus mendukungmu," sambung Quin kemudian menepuk lengan Damar.
"Thanks, Quin." Damar merasa terharu.
Setelah itu, Quin keluar dari kamar mandi lalu menuju ke walk in closet. Menyiapkan pakaian kantor Damar beserta beberapa aksesoris khusus pria.
"Oh God, semuanya serba branded, pekerjaannya apa sih?" gumam Quin bertanya-tanya.
Ekor matanya kini tertuju ke arah miniatur otomotif motor juga mobil sport yang berjejer rapi di satu etalase khusus.
"Ini pasti sangat mahal soalnya limited edition," gumam Quin lagi.
Tak lama berselang Damar memanggilnya. Dengan cepat ia langsung menuju ke kamar mandi.
"Sudah?" tanya Quin sembari tergelak memandangi Damar yang sudah mengenakan handuk.
"Menurutmu." Damar menggelengkan kepala.
"I see." Quin masih saja tertawa kemudian membantu Damar.
Sesaat setelah mendudukan Damar di tepi ranjang. Ia memperlihatkan pakaian yang telah disiapkan. "Panggil aku setelah kamu mengenakan boxer."
Beberapa menit kemudian, Quin kembali ke kamar karena Damar memanggilnya. Ia malah tertawa saat menghampiri pria itu.
Membantunya mengenakan celana sekaligus pakaian atasan. Bak sebuah boneka, Damar hanya bergeming. Akan tetapi, tatapannya seolah enggan beralih dari sang designer.
"Sudah," bisik Quin sembari menyugar rambut Damar yang masih basah. "Sepertinya kita butuh hairdryer untuk mengeringkan rambut gondrongmu."
"Nggak usah," tolak Damar disertai senyum tipis.
"Ya sudah." Quin berjongkok kemudian memijat lembut telapak kaki Damar sembari mengajaknya mengobrol. Sesekali ia menggelitik telapak kaki Damar untuk melihat respon motoriknya.
Suara tawa keduanya yang terdengar hingga ke lantai satu, seketika membuat Bik Yuni penasaran. Seusai menata makanan di atas meja makan, ia pun naik ke lantai dua.
Begitu ia berdiri di ambang pintu, wanita paruh baya itu merasa geram memandangi kedekatan Quin dengan Damar. Keduanya tak menyadari jika sedang diperhatikan.
"Sudah," kata Quin seraya mendongak menatap Damar dengan senyum manis.
"Makasih Quin. Sebaiknya kita sarapan dulu sebelum berangkat ke kantor," cetus Damar.
"Baiklah." Quin perlahan berdiri. Sedangkan Damar mulai menggerakkan tuas kursi rodanya.
Keduanya terkejut saat mendapati Bik Yuni sedang berada di depan pintu. Wanita paruh baya itu seketika menjadi salah tingkah.
"Bik," tegur Damar.
"Den, Bibik baru saja ingin memanggil kalian untuk sarapan," sahut Bik Yuni sedikit gugup.
"Terima kasih, Bik, kami baru saja mau turun ke bawah," kata Damar.
"Damar, kamu duluan saja soalnya aku ingin mengambil sesuatu di kamarku," cetus Quin dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Damar.
Beberapa menit kemudian ....
Ketika Quin dan Damar sedang sarapan, Bik Yuni pun mulai mengutarakan niatnya.
"Den."
"Iya, Bik, ada apa?" tanya Damar.
"Bagaimana jika saya sarankan Naira ke sini sekaligus menjadi terapis untuk Den Damar."
"Sejujurnya bagiku, tidak masalah Bik. Tapi, bicarakan dulu sama mama," kata Damar lalu mengusap bibirnya dengan tisu.
"Menurutku usulan dari Bik Yuni bagus juga," timpal Quin.
Bik Yuni tersenyum sinis mendengar ucapan Quin.
"Karena Quin juga nggak mempermasalahkan, maka lebih bagusnya Bibik bicarakan saja sama mama," sambung Damar.
"Baiklah," balas Bik Yuni dengan senyum puas.
.
.
.
Kediaman Pak Pranata ....
"Mah, Pah, aku duluan, ya," pamit Kinar sambil berjalan terburu-buru.
"Loh, nggak sarapan dulu?" tanya Bu Fitri.
"Nanti di kantor saja. Aku buru-buru soalnya hari ini aku ada pemotretan," tolak Kinar lalu meninggalkan kedua orang tuanya.
Pak Pranata menghela nafas. Rumah itu sudah tak sehangat dulu. Tiba-tiba saja ia teringat saat keluarganya masih utuh.
'Juna, Quin, papa kangen ingin kalian tinggal di sini lagi. Maafkan papa karena sudah membuat kalian berdua kecewa,' batin Pak Pranata.
"Ada apa, Pah? Kok, bengong?" tanya Bu Fitri.
"Nggak apa-apa, Mah. Papa hanya kangen dengan Quin juga Juna," ungkap Pak Pranata.
"Mau bagaimana lagi mereka yang nggak mau tinggal bersama kita. Papa tahu kan, Quin dan Juna sangat membenciku bahkan keduanya belum mau mengakui aku sebagai ibu sambung mereka," timpal Bu Fitri merasa kesal.
Pak Pranata bergeming. Sedetik kemudian ia beranjak dari tempat duduk sekaligus berpamitan.
.
.
.
Kantor Angga ...
Saat berada di ambang pintu otomatis kantor, Kinara langsung menyapanya dengan percaya diri.
Akan tetapi Angga pura-pura tak mendengar melainkan melanjutkan langkah. Tak ingin ketinggalan jejak, Kinara menyusulnya dengan cepat sekaligus mensejajarkan langkahnya dengan pria itu.
Sesaat setelah keduanya berada di dalam elevator, Angga merasa kesal lalu berkata, "Kamu apa-apaan sih, Kinar?! Tolong jaga sikapmu selama kita berada di kantor!"
"Aku kan hanya menyapa," dalih Kinar kemudian memeluk Angga.
"Kinar, stop it!" bentak Angga karena merasa risih. Ia melepas dekapan gadis itu dengan kasar.
Tak lama kemudian benda itu berhenti di tepatnya di lantai tempat Kinara bekerja.
"Aku duluan, sampai bertemu lagi nanti," bisik Kinar.
Angga bergeming tak peduli sehingga pintu lift itu kembali tertutup. Benda itu kembali bergerak naik ke atas.
Sesaat setelah berada di ruangannya, Angga langsung menghubungi Quin.
Quin yang kebetulan baru saja tiba di butik, langsung merogoh tasnya.
"Angga," gumamnya. "Ada apa lagi menghubungiku?!" tanya Quin dengan ketus.
"Aku akan mampir ke butikmu nanti siang," kata Angga to the poin.
"Terserah!" sahut Quin kemudian memutuskan panggilan secara sepihak.
Tak lama berselang, Al menghampiri. "Quin, kamu ke mana saja kemarin? Bahkan sampai sore nggak kembali lagi ke butik," tanya Al.
"Ke rumah majikanku," jawab Quin dengan santai.
"Yang benar saja ... majikan? Apa penghasilanmu masih kurang?" ledek Al sembari tertawa. Oh ya, ini kunci mobilmu." Al menyerahkan kunci mobil itu kepada Quin.
"Thanks ya, Al."
Setelah itu, mereka kembali memulai aktifitas seperti biasa.
Menjelang siang, Quin masih sibuk mengatur pakaian yang akan segera diantar ke pemiliknya.
Setelah selesai memisahkan pakaian kliennya, ia pun merapikan lalu menempelkan nama dimasing-masing paper bag berlogo QA Boutique.
"Finally, kelar juga," gumam Quin lalu kembali ke ruangan kerjanya.
Tak lama berselang ponselnya bergetar. Saat menatap kontak yang memanggil, ia mengulas senyum.
"Hallo Mr. Brewok." Quin lalu tergelak.
"So ... nama kontakku di ponselmu, Mr. Brewok, ya?" tanya Damar.
"Ya gitu deh, ada apa?"
"Aku ingin mengajakmu makan siang di kantor," ujar Damar.
"Maaf, mungkin besok saja. Hari ini Angga akan datang ke butik," tolak Quin.
"Baiklah nggak apa-apa," balas Damar meski merasa kecewa. Ia pun memutuskan panggilan telefon.
"Sayang," panggil Angga seraya menghampiri.
"Angga, cepat juga kamu kemari," balas Quin.
"Takutnya kamu sudah meninggalkan butik. Oh ya, aku sekalian membawa makan siang sekaligus minuman kesukaanmu." Angga meletakkan paper bag makanan ke atas meja sofa.
"Makasih," ucap Quin singkat.
Keduanya kini duduk di sofa. Tanpa banyak kata Quin mulai mengeluarkan box makanan sekaligus menatanya dengan rapi.
"Ayo makan, kebetulan aku sudah lapar," kata Quin.
Sejenak Angga bergeming dengan perubahan sikap Quin yang cukup signifikan. Tak ada lagi kehangatan serta tingkah manja dari tunangannya itu
"Sayang, kenapa kamu merubah password pintu apartemenmu? Lalu, apakah hubungan ini akan benar-benar berakhir?" tanya Angga dengan lirih.
Quin tak menanggapi melainkan menikmati makan siangnya. Sedangkan Angga seolah tak berselera. Nafsu makannya langsung hilang begitu saja.
...----------------...
mu thoor