Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#29 : Topeng Yang Retak
Ravenhollow, pagi hari
Udara dingin menusuk tulang ketika penduduk mulai berkumpul di alun-alun depan balai kota. Selene berdiri di antara mereka, lengannya bersedekap, mengamati wajah-wajah yang menunggu dalam keheningan tegang.
Mereka menanti sesuatu.
Tidak butuh waktu lama sebelum jawabannya datang. Sebuah gerobak besar berhenti di tengah alun-alun, dijaga oleh dua pria bertubuh kekar. Seseorang naik ke atas gerobak, membuka peti-peti kayu yang seharusnya berisi bantuan dari pusat pemerintahan.
Namun yang tampak hanyalah kehampaan.
Kekosongan yang lebih menusuk dari udara dingin pagi itu.
Keheningan sejenak menyelimuti alun-alun sebelum akhirnya pecah oleh suara teriakan.
“Apa-apaan ini?! Di mana bantuan kami?”
“Biasanya sedikitnya masih ada beras atau gandum! Sekarang bahkan tidak ada sebutir pun?!”
Wajah-wajah yang awalnya lelah berubah menjadi marah. Seorang lelaki tua dengan janggut beruban menunjuk ke arah gerobak dengan tangan gemetar. “Ini penghinaan! Kami sudah cukup sengsara, dan sekarang mereka bahkan tidak sudi mengirim sisa-sisa untuk kami?”
Bisik-bisik mulai menyebar, dan segera saja, beberapa orang melirik ke arah Selene dan kelompoknya dengan tatapan curiga.
“Ini terjadi setelah mereka datang.” Seseorang berbisik cukup keras agar semua bisa mendengar.
“Tepat sekali! Jangan-jangan mereka yang membawa nasib buruk?”
Selene tidak bergerak. Ia tetap berdiri tegak, matanya mengamati situasi dengan dingin. Namun, dalam hatinya, ia sudah tahu ke mana arah situasi ini akan berkembang.
Dan benar saja, beberapa orang mulai maju, menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan lebih lantang.
"Kalau kalian memang orang penting, kenapa tidak membawa sesuatu untuk membantu kami?! Bukannya malah datang dengan tangan kosong dan merampas jatah kami?"
Selene mengangkat dagunya, memandang mereka dengan sorot mata yang nyaris menghina. "Aku datang ke sini untuk melihat sendiri kondisi kota ini. Jika aku benar-benar berniat mencuri bantuan kalian, kenapa aku masih berdiri di sini?"
Seorang pria muda maju, wajahnya merah karena emosi. "Mudah sekali bicara seperti itu! Tapi kenyataannya, kami tidak mendapat apa pun! Kalau bukan salah kalian, lalu salah siapa?"
Seketika, suara-suara lain ikut bergemuruh, semakin panas. Situasi hampir lepas kendali sebelum pemimpin kota akhirnya melangkah maju dan mengangkat tangannya untuk menenangkan mereka.
“Sudah cukup! Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi. Kita tidak akan menyelesaikan apa pun dengan berteriak di sini.”
Meskipun orang-orang masih mendengus dan melemparkan pandangan tajam ke arah Selene, mereka akhirnya mundur, meski dengan enggan.
Selene menarik napas pelan, lalu berbalik dan berjalan pergi. Namun, sebelum meninggalkan alun-alun, ia sempat melirik ke arah peti-peti kosong itu sekali lagi.
Vivianne.
Ia bisa merasakan jejak kelicikan yang familiar dalam situasi ini.
Namun, jika Vivianne mengira ia akan duduk diam dan menerima nasib, maka ia sudah meremehkan Selene.
***
Malam Hari, di Kediaman Selene
Di dalam kamarnya yang remang-remang, Selene menulis surat dengan cepat. Tulisan tangannya tajam, setiap hurufnya terukir dengan niat yang jelas.
Begitu selesai, ia melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong hitam kecil. Tanpa membuang waktu, ia memanggil seseorang—seorang pria berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup kain tipis.
“Bawa ini ke ibukota, langsung ke istana,” katanya pelan. “Pastikan hanya tangan kaisar yang menyentuhnya.”
Pria itu tidak bertanya, tidak ragu. Ia hanya mengambil kantong hitam itu, membungkuk singkat, dan menghilang ke dalam bayang-bayang.
Selene tersenyum kecil.
Sekarang, ia hanya perlu menunggu.
***
Keesokan Paginya, Ravenhollow
Ketika suara derap kuda menggema di jalanan utama, penduduk Ravenhollow yang masih terlelap sontak terbangun. Mereka keluar dari rumah mereka, bingung dan waspada, hanya untuk mendapati pemandangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Pasukan kekaisaran.
Bendera istana berkibar tinggi, dan di barisan terdepan, seorang utusan berpakaian biru gelap turun dari kudanya.
“Siapa yang mengirim surat ini?” suaranya bergema di seluruh alun-alun.
Selene melangkah keluar, mengenakan jubah panjang berwarna gelap, matanya menatap lurus ke arah utusan itu.
“Aku.”
Kerumunan terdiam.
Utusan itu memperhatikannya sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi. “Atas perintah Kaisar, kami diperintahkan untuk menilai sendiri keadaan kota ini.”
Dan saat mereka melihat sekeliling—melihat rumah-rumah yang hampir roboh, anak-anak yang kurus kering, penduduk yang bertahan hidup hanya dengan sisa-sisa yang ada—mata mereka sedikit melebar.
Mereka tidak menyangka keadaannya seburuk ini.
Seorang prajurit segera mengeluarkan gulungan perintah resmi, dan dalam waktu kurang dari setengah hari, pasokan bantuan baru datang.
Penduduk Ravenhollow bersorak, beberapa bahkan berlinang air mata. Mereka berbalik menatap Selene, wajah mereka kini bukan lagi penuh kecurigaan, melainkan rasa hormat yang baru lahir.
Mereka telah salah menilainya.
Dan Selene hanya tersenyum tipis.
***
Istana Kekaisaran, Siang Hari
Suasana di dalam aula istana begitu tegang hingga udara terasa berat. Kaisar duduk di singgasananya, matanya yang tajam mengamati dua orang di hadapannya—Lucian dan Emilia.
“Beri aku alasan,” suaranya dingin, “kenapa kalian memotong bantuan untuk Ravenhollow.”
Lucian tetap tenang, tetapi Emilia mengepalkan tangan. “Kami tidak melakukannya.”
Salah satu menteri membentak, “Tapi kenyataannya, rakyat di sana hampir mati kelaparan! Jika bukan kalian, lalu siapa?”
Keheningan menyelimuti ruangan.
Emilia mengangkat wajahnya, matanya menyala dengan kemarahan yang belum pernah terlihat sebelumnya.
“Vivianne.”
Para pejabat saling berpandangan. Kaisar mengangkat alisnya sedikit.
Lucian akhirnya berbicara, suaranya tetap terkendali. “Kami juga baru menyadari bahwa bantuan itu tidak sampai ke Ravenhollow. Tapi kami tidak akan membela diri. Jika kami harus bertanggung jawab, kami akan menerimanya.”
Kaisar menatap mereka beberapa saat, lalu berdeham. “Temukan Vivianne. Aku ingin tahu penjelasannya.”
***
Eriston, Kediaman Vivianne
Vivianne menyesap anggurnya dengan senyum puas. Segalanya berjalan sesuai rencana.
Selene pasti sedang berusaha keras menenangkan penduduk yang marah. Sementara itu, ia bisa berpura-pura tidak tahu-menahu, membiarkan semua tuduhan jatuh pada Redmont.
Sebuah suara mengetuk pintu dengan keras.
Seorang pelayan membuka pintu, dan dalam hitungan detik, Emilia masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat. Matanya membara.
Vivianne baru saja membuka mulut untuk berbicara ketika tiba-tiba—
CRASH!
Gelas anggurnya jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat Emilia tanpa senyum manisnya.
Yang berdiri di depannya sekarang adalah seorang wanita dengan sorot mata tajam dan dingin, yang siap menghancurkan siapa pun yang menghalangi jalannya.