Davina memergoki pacarnya bercinta dengan sahabatnya. Untuk membalas dendam, Davina sengaja berpakaian seksi dan pergi ke bar. Di sana dia bertemu dengan seorang Om tampan dan memintanya berpura-pura menjadi pacar barunya.
Awalnya Davina mengira tidak akan bertemu lagi dengan Om tersebut, tidak sangka dia malah menjadi pamannya!
Saat Davina menyadari hal ini, keduanya ternyata sudah saling jatuh cinta.Namun, Dave tidak pernah mau mengakui Davina sebagai pacarnya.
Hingga suatu hari Davina melihat seorang wanita cantik turun dari mobil Dave, dan fakta mengejutkan terkuak ternyata Dave sudah memiliki tunangan!
Jadi, selama ini Dave sengaja membohongi Davina atau ada hal lain yang disembunyikannya?
Davina dan Dave akhirnya membangun rumah tangga, tetapi beberapa hari setelah menikah, ayahnya menyuruh Davina untuk bercerai. Dia lebih memilih putrinya menjadi janda dari pada harus menjadi istri Dave?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Davina Pov
Aku mematung di tempat duduk begitu yakin kalau laki-laki itu adalah Om Dave. Karna bukan hanya suaranya saya yang sama, namanya pun sama.
Aku tak berani menoleh ke belakang, bahkan takut saat mendengar derap langkah yang kian mendekat.
Lebih baik aku menunduk, setelah itu pura-pura tak mengenalnya.
Suara langkah kaki itu berhenti. Dari sudut mata sebelah kanan, Aku bisa melihat kaki Om Dave yang berbalut celana jeans.
"Senang bertemu denganmu Dave." Papa menyambut ramah Om Dave. Dia terlihat berdiri dan berjalan menghampiri Om Dave. Aku hanya bisa melihat langkah kakinya saja karna belum berani mengangkat wajah.
Jantungku berdegup kencang tak karuan, takut Om Dave akan bicara macam-macam pada mereka setelah melihatku nanti. Papa pasti akan marah kalau tau putrinya pergi ke club malam.
"Kamu masih sangat muda tapi sukses memimpin perusahaan." Papa terdengar memujinya.
"Itu berlebihan, saya justru harus banyak belajar dari Mas Edwin."
Aku menelan ludah, bagaimana bisa dengan mendengar suaranya saja sudah membuatku gelisah seperti ini. Rasanya ingin cepat-cepat melihat wajahnya, tapi takut.
"Davina, sini sayang,," Tante Sandra memanggilku.
"Kenalin itu adik Tante." Katanya antusias. Sama saat Tante Sandra mengenalkan Farrel padaku.
Sepertinya Tante Sandra memang ingin aku dekat dengan keluarganya.
Tapi aku tak habis pikir, kenapa harus Om Dave yang jadi adik Tante Sandra.??
Dunia terasa sempit sekali.
Aku terpaksa berdiri dan mengangkat wajah dengan perlahan. Ku buat senyum tipis di wajahku, sangat tipis karna harus menahan takut.
Ku tatap wajah Om Dave dari jarak beberapa meter. Dia juga menatapku, tapi anehnya Om Dave hanya memasang wajah datar dan santai.
Apa Om Dave tidak kaget melihatku yang diperkenalkan sebagai calon keponakan tirinya.?
Bagaimana bisa dia bersikap santai seperti itu seolah tak pernah melihatku sebelumnya.
"A,,aaku Davina, Om,," Ucapku. Ku ulurkan tangan setelah berdiri dekat di depannya.
Om Dave mengangguk pelan.
"Dave." Katanya dan langsung menarik tangan setelah menjabat tanganku.
"Ngobrolnya nanti saja Mah setalah makan malam, aku sudah lapar." Ujar Farrel yang sejak tadi diam di samping Om Dave.
"Ah iya, sebaiknya kita langsung makan saja."
"Ayo Davina,,," Tante Sandra merangkul pundak ku.
"Dapat anak baru, jadi lupa sama anak sendiri." Celetuk Farrel. Aku tau dia hanya bercanda.
"Bukan lupa, tapi kamu yang udah nggak mau di peluk Mama lagi." Jawab Tante Sandra.
"Aku bukan anak kecil lagi Mah. Soal urusan memeluk, bukan tugas Mama lagi."
Farrel tersenyum penuh arti.
"Dasar anak nakal.! Awas saja kalau kamu macam-macam di New York.!" Pekik Tante Sandra kesal. Aku bengong saja, tak paham kemana arah pembicaraan mereka.
"Bukan anak laki-laki kalau nggak nakal, Mah. Om Dave juga begitu." Tutur Farrel acuh. Dia tak takut sedikitpun meski sempat di pelototin oleh tante Sandra.
"Berisik kamu.!" Om Dave menegur Farrel sambil meninju lengannya.
"Sial.! Sakit Om." Farrel menggerutu. Om Dave acuh dan berlalu dari sana, begitu juga tante Sandra yang mengajakku dan Papa ke ruang makan.
...****...
Makam malam ini benar-benar membuatku tak nyaman. Aku tidak bisa fokus, sibuk dengan pikiranku yang berkecambuk. Perasaan takut semakin menyelimuti, terlebih Papa dan Om Dave terlihat semakin dekat setelah membahas bisnis. Bahkan keduanya asik bicara berdua. Sedangkan aku lebih banyak diam.
"Kenapa sayang.?" Tante Sandra menyentuh pundakku. Aku memang duduk di sebelahnya sejak tadi.
"Mama pake nanya segala. Aku aja bosan, apalagi Davina. Dia mana paham dengerin obrolan tentang bisnis."
Aku yang di tanya, tapi Farrel yang semangat menjawab. Meski begitu, aku setuju dengan ucapannya. Tentu sedikit bosan dengan situasi seperti ini, walau sebenarnya lebih banyak menahan rasa takut dan cemas.
"Kamu lihat Davina, kakakmu itu selalu buat Tante kesal. Itu sebabnya Tante deportasi dia ke New York." Tante Sandra tersenyum meledek pada Farrel.
"Davina,, kamu nggak takut punya ibu tiri kejam seperti itu.?" Tutur Farrel.
"Anak kandungnya saja di deportasi, apa lagi anak tirinya." Farrel terkekeh geli.
"Dasar anak kurang ajar." Tante Sandra menggeleng pasrah.
"Jangan dengarkan anak bandel itu sayang,,"
Tante Sandra terlihat cemas, mungkin dia takut aku akan termakan ucapan Farrel. Padahal aku malah iri dengan kedekatan Farrel dan Makanannya. Dia pasti bahagia masih memiliki ibu di sampingnya.
"Nggak masalah tante, aku tau Farrel hanya bercanda." Ucapku.
"Mau ngobrol di taman belakang.?" Tawar Farrel padaku.
"Daripada kamu bosan disini." Bujuknya.
Aku mengangguk setuju tanpa pikir panjang. Pamit pada Tante Sandra dan beranjak dari meja makan.
Aku sengaja tidak minta ijin pada Papa karna masih asik mengobrol dengan Om Dave. Tapi saat aku dan Farrel akan beranjak, ku lihat Om Dave melirik sekilas ke arah kami.
...****...
"Mama nggak pernah bilang kalau calon adik tiriku secantik ini."
Aku menatap Farrel dengan dahi berkerut. Laki-laki itu menatapku lekat.
"Jangan begitu ngeliatinnya." Protesku.
"Nggak lucu kan kalau saudara tiri pacaran."
Aku duduk di kursi taman, di susul Farrel yang juga duduk di sebelahku.
"Nggak lucu, nggak ada larangan juga." Kata Farrel dengan wajah serius.
Aku aku tersenyum kikuk, bingung harus bicara apa.
"Malah bebas kan bisa ngapain aja karna tinggal serumah nanti." Ucapnya lagi. Aku langsung melotot kaget. Apa maksudnya bicara seperti itu.?
"Serius amat." Farrel terkekeh geli sembari mengacak rambutku.
"Aku bisa di cincang hidup-hidup sama Mama kalau macam-macam ke kamu." Tuturnya serius.
"Belum juga resmi jadi kakak kamu, udah di ancam nggak boleh macam-macam. Mana disuruh jagain kamu."
"Aku pikir kamu masih bocah, ternyata segede ini." Manik mata Farrel mengarah pada dadaku.
"Kalo kaya sih nggak perlu dijagain." ucapnya lagi.
"Ya ampun,,!" Aku meninju kesal lengannya.
"Kenapa ngeliatin kesitu." Protesku.
"Pelit banget. Kan cuma liat, bukan pegang." Celetuknya. Aku dibuat melongo. Ternyata memang benar apa yang di katakan oleh tante Sandra, Farrel selalu membuat kesal.
"Pegang aja kalau berani, aku aduin ke Tante Sandra." Sahutku.
"Yakin mau ngadu kalau di pegang.? Yang ada kamu malah ketagihan nanti." Goda Farrel.
"Dasar kadal.!" Suara ketus Om Dave membuat aku dan Farrel menoleh ke belakang. Om Dave sudah berdiri di belakang kami, menatap tajam pada Farrel.
"Ah ngapain kesini sih, ganggu gue aja lu Om.!" Farrel menggerutu.
"Mending lu balik ke meja makan, urus ponsel kamu yang bunyi dari tadi."
"Di suruh kuliah malah koleksi lubang.!" Geram Om Dave.
"Apa.?!!" Seketika Farrel beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke rumah dengan wajah panik.
"Lubang apa Om.? Kenapa Farrel ketakutan begitu.?" Aku menatap heran punggung Farrel yang sudah menjauh dari pandangan.
"Anak kecil nggak usah banyak tanya.!" Om Dave menatap kesal padaku. Memangnya apa salahnya bertanya.? Aku kan hanya ingi tau kenapa Farrel langsung ketakutan hanya karna Om Dave membahas lubang.
"Kemana aja kamu.? Saya pikir kamu nggak selamat sampai rumah malam itu." Ucapnya datar.
"Jadi Om nyariin aku.?" Tanyaku. Satu ketukan mendarat di kening.
"Iiihh, sakit tau." Aku mengusap kening beberapa kali.
"Ngapain saya nyariin kamu." Ketusnya.
"Kalau Om nggak nyariin, terus kenapa tadi tanya aku kemana aja.?"
"Itu kan artinya Om nyariin aku." Ucapku yakin.
"Lupakan saja.!" Serunya kesal. Dia lalu beranjak, namun segera ku tahan tangannya.
...***...