Gendhis... Gadis manis yang tinggal di perkampungan puncak Sumbing itu terjerat cinta karena tradisi perjodohan dini. Perjodohan itu disepakati oleh keluarga mereka saat usianya delapan bulan dalam kandungan ibunya.
Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana itu, dijodohkan dengan Lintang, anak dari keluarga kaya yang tersohor karena kedermawanannya
Saat usia mereka menginjak dewasa, muncullah benih cinta di antara keduanya. Namun sayang, ketika benih itu sudah mulai mekar ternyata Lintang yang sejak kecil bermimpi dan berhasil menjadi seorang TNI itu menghianati cintanya. Gendhis harus merelakan Lintang menikahi wanita lain yang ternyata sudah mengandung buah cintanya dengan Lintang
Seperti apakah perjuangan cinta Gendhis dalam menemukan cinta sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N. Mudhayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang di Ruangan Pak Agung
Libur sekolah telah usai. Saatnya kembali berjumpa dengan teman-teman di sekolah. Tak terkecuali Gendhis, sedari pagi sudah sibuk mempersiapkan keperluan sekolahnya. Apalagi rutinitas Gendhis setiap pagi di rumah sebelum berangkat cukup padat. Dan kali itu, dia bersiap lebih awal. Biasanya Lintang yang menunggu Gendhis di depan pintu, kali ini dia putuskan untuk menunggu Lintang.
Setelah lima belas menit menunggu, Lintang pun datang dengan motornya. Berhenti di halaman rumah, tanpa memanggil kekasihnya.
Gendhis yang sedari tadi sudah menunggu ahirnya segera keluar dan mereka berangkat bersama seperti biasa.
Gendhis sedikit canggung membonceng Lintang. Apalagi semenjak berangkat tak sepatah kata pun ia ucapkan hingga mereka tiba di gerbang sekolah.
"Kring... kring... kring..."
Bel masuk berbunyi. Semua siswa bergegas menuju lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Setelah upacara selesai, mereka masuk ke kelas masing-masing.
"Dis... apa kamu baik-baik saja?" Tina bertanya setelah melihat Gendhis yang terlihat murung.
"Iya... Tin... aku nggak papa." Kata Gendhis.
"Maafin aku yaaa... harusnya waktu itu aku nggak ninggalin kamu sendirian." Tina menyesal.
"Nggak papa, Tin... aku yang salah. Harusnya aku nggak dengerin ucapan Mas Riko dan langsung turun. Tapi apa?" Gendhis tampak menyesal.
Keduanya pun hanya terdiam. Dalam hati Tina berkata, dialah penyebab masalah ini. Ingin sekali dia mengatakan hal yang sebenarnya, tapi dia bingung harus mulai dari mana.
Beberapa saat kemudian, Pak Agung masuk ke dalam kelas mereka.
"Bagi siswa yang namanya saya panggil, silahkan ikut ke ruangan saya sekarang..., Gendhis Manis Ayunindya dan Tina Almira." Kata Pak Agung.
Semua siswa terheran-heran, sepertinya ada masalah. Terlihat dari wajah keduanya sedikit muram. Semua siswa saling bertanya satu sama lain, tapi tak satupun yang tahu alasan sebenarnya Pak Agung memanggil mereka ke kantor.
Dengan langkah pelan, Gendhis dan Tina berjalan di belakang Pak Agung menuju ruangannya. Terlihat Riko sudah duduk di kursi ruangan Pak Agung. Tak lama kemudian Lintang datang.
"Duduk semuanya...!" Pinta Pak Agung.
Mereka duduk dalam satu ruang, seolah hendak menjalani sidang perkara.
Pak Agung mulai berbicara,
"Bapak yakin, kalian sudah tahu kenapa Bapak panggil kalian ke sini. Bapak ingin kalian jelaskan kenapa... hal yang mencoreng nama baik sekolah kita bisa terjadi." Kata Pak Agung.
"Siapa yang mau bicara duluan?" Tanya Pak Agung, Tak ada satupun dari mereka yang menjawab.
Ahirnya, Pak Agung menunjuk Riko sang Ketua OSIS selaku penanggung jawab utama kegiatan LDK.
"Riko... jelaskan pada Bapak apa yang terjadi, atau orang tua kalian yang akan menjelaskannya di sini."
Mereka terkejut, ahirnya Riko mulai bicara.
"Waktu itu, saya lagi jalan-jalan lihat sunrise dari puncak, lalu saya lihat Gendhis sedang duduk sendirian di sana. Karenanya..., saya putuskan untuk ngobrol dan itu cuma sebetar. Tiba-tiba Lintang datang... dan tanpa alasan yang jelas dia pukul wajah saya." Ucap Riko.
Lintang geram mendengar ucapan itu. Andaikan saat itu bukan di ruangan Pak Agung, pasti sudah terjadi perkelahian ronde dua.
"Lintang... apa itu betul?" Giliran Pak Agung bertanya pada Lintang.
"Pak, saya mendengar ucapan Riko dari jauh. Dia ingin berbuat sesuatu pada Gendhis dengan menarik paksa lengan Gendhis. Untung saya datang di saat yang tepat, kalau tidak..." Lintang tak melanjutkan perkataannya.
Riko lantas memotong ucapan Lintang.
"Kalau tidak apa? Itu hanya karangan dia saja, Pak... Saya sangat menghormati Gendhis, dan saya nggak mungkin melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya." Bela Lintang.
Gendhis tertunduk, ingin rasanya menitikkan air mata. Melihat dua laki-laki baik-baik harus bersiteru kernanya.
Ingin rasa hati Tina mengatakan hal yang sebenarnya pada Pak Agung saat itu, tapi dia nggak enak sama Riko.
"Gendhis... jawaban mana yang paling benar menurutmu? Karena Bapak yakin, kamu nggak akan mungkin bohong." Pinta Pak Agung.
Pertanyaan Pak Agung seolah makin menyudutkan posisinya. Kalau dia membenarkan perkataan Lintang, kesannya kejadian di puncak itu adalah benar, bahwa Gendhis sudah dengan sengaja mencari waktu berdua dengan Riko. Tapi kalau Gendhis membenarkan ucapan Riko, otomatis... Lintang akan semakin menjauhinya, dan Gendhis tak mau hal itu terjadi.
"Pak... saya yang salah... harusnya pagi itu saya tidak berada di tempat itu dan masalah ini tak akan pernah terjadi." Ahirnya Gendhis bicara.
Perkataan Gendhis makin membingungkan Pak Agung. Dia makin tak bisa melihat siapa sumber perkelahian ini. Tapi setidaknya sudah ada titik terang. Intinya, memperebutkan satu cewek.
"Lintang... Kamu sudah kelas XII, nggak lama lagi kamu lulus dari sini. Prestasi kamu cukup bagus dari kelas X. Apalagi dengan kejuaraan yang sudah sering kamu raih bersama teman-teman mu di tim basket, bisa membuat sekolah kita lebih dikenal dengan prestasinya. Dan sekarang... apa yang terjadi? Sebagai kakak tertua di sini, harusnya kamu bisa ngemong adik-adik kamu..." Nasihat Pak Agung.
Lintang hanya tertunduk.
Pak Agung melanjutkan perkataannya.
"Dan kamu, Riko... Kamu kan seorang ketua OSIS. Kamu juga yang menghendel acara LDK agar berjalan lancar. Tapi apa coba? Kamu malah memberikan contoh yang tidak baik untuk anggota mu. Bapak benar-benar kecewa dengan kejadian ini..." Lanjut Pak Agung.
"Maafkan kami, Pak... kami nggak akan mengulanginya lagi..." Riko meminta maaf.
"Dan kamu, Lintang... apa kamu bisa memastikan hal seperti ini tidak akan pernah terulang lagi?" Pak Agung ingin mendengar jawaban Lintang.
"Baik, Pak... kami nggak akan mengulanginya lagi." Ucapan Lintang hanya berlaku di mulut saja, tapi tidak untuk hatinya. Apalagi jika Riko mencoba mendekati kekasihnya lagi.
Pak Agung lega mendengar jawaban dua murid kesayangannya itu.
"Ya sudah, Bapak pegang omongan kalian. Kalau sampai hal seperti ini terulang lagi, maka Bapak nggak segan-segan panggil orang tua kalian ke sini. Apa kalian paham?" Tanya Pak Agung.
"Iya, Pak..." Jawab keduanya.
Setelah hampir satu jam mereka diinterogasi di ruang Pak Agung, ahirnya mereka diperbolehkan kembali ke kelas masing-masing. Demikian halnya dengan Gendhis dan Tina. Saat keduanya berjalan menuju ruang kelas, Tina berhenti lalu berkata,
"Dis... kamu jalan ke kelas duluan aja ya... aku mau ke toilet."
Alasan yang selalu Tina ucapkan.
"Ya, Tin... aku duluan..." Jawab Gendhis sambil berjalan meninggalkan Tina sendirian.
Sat Tina memastikan Gendhis tak melihatnya, Tina segera kabur. Bukan menuju toilet siswa, melainkan kembali lagi ke ruangan Pak Agung.
Tina melihat dari depan pintu. Dan untunglah, Pak Agung belum beranjak dari ruangannya. Segera ia masuk dan menemui Pak Agung.
"Permisi... Pak... boleh saya masuk..." Tina minta izin.
Pak Agung terkejut melihat Tina tiba-tiba sudah berada di ruangannya. Padahal belum lama dia meminta ke empat siswanya untuk masuk kelas.
"Tina... ada apa? Kamu masih di sini?" Pak Agung heran.
"Iya, Pak... maaf... ada yang mau saya sampaikan sama Bapak." Wajah Tina tertunduk karena takut.
Pak Agung menyuruh muridnya itu untuk duduk dan mengatakan apa yang ingin dia katakan. Tina lantas bercerita tentang semua yang telah terjadi saat diperkemahan. Mulai dari Riko yang meminta bantuannya agar bisa bicara dengan Gendhis, hingga kedatangan Lintang yang tiba-tiba tanpa bisa dicegah, lalu terjadilah perkelahian antara keduanya.
Pak Agung menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan Tina.
"Tina... Tina... kok ya nggak kamu ceritakan dari awal?" Tanya Pak Agung.
"Maaf, Pak... saya takut... kalau bisa... Bapak jangan ceritakan masalah ini pada siapapun, termasuk Kak Riko... saya takut kena marah Kak Riko." Pinta Tina.
"Tenang... Tin... rahasiamu aman sama Bapak. Setidaknya, sekarang Bapak tahu kronologi sebenarnya." Kata Pak Agung.
"Terimakasih, Pak. Saya permisi ke kelas dulu." Tina meminta izin.
Pak Agung pun memperbolehkan Tina untuk kembali ke kelasnya. Tina merasa lebih baik, seolah separuh beban berat yang ia pikul sendirian, telah ia letakkan. Sekarang dia tinggal mencari cara, bagaimana menceritakan hal yang sebenarnya kepada Gendhis, agar Gendhis mau memaafkannya.
*****
Gandis juga baru lulus SMA kok bisa langsung jadi guru?