Menikah karena perjodohan, dihamili tanpa sengaja, lalu diceraikan. Enam tahun kemudian tak sengaja bertemu dengan mantan suami dalam situasi yang tak terduga.
Bertemu dengan Renata dalam penampilan yang berbeda, membuat Mirza jatuh dalam pesonanya. Yang kemudian menumbuhkan hasrat Mirza untuk mendapatkan Renata kembali. Lantas apakah yang akan dilakukan oleh Renata? Apalagi ketika mantan suaminya itu tahu telah ada seorang anak yang lahir dari hasil ketidaksengajaan dirinya di malam disaat ia mabuk berat. Timbullah keinginannya untuk merebut anak itu dari tangan Renata. Apakah Renata akan membiarkan hal itu terjadi? Ataukah Renata memilih menghindar dan membuka hati untuk pria lain?
“Kamu sudah menceraikan aku. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tolong jangan ganggu aku.”
- Renata Amalia -
“Kamu pernah jadi milikku. Sekarang pun kamu harus jadi milikku lagi. Akan aku pastikan kamu dan anak kita akan berkumpul kembali.”
- Mi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Butuh Waktu
PMI 21. Butuh Waktu
“Saya belum selesai, Ren. Saya mau melakukan ini karena saya sayang sama Dito dan kamu. Daripada Dito hanya menganggap saya seperti ayahnya, kenapa saya tidak jadi ayahnya saja? Saya mau, kok, jadi ayah sambung Dito.”
Awalnya Renata terdiam. Kalimat panjang yang didengarnya keluar dari mulut Tony itu seperti sebuah dengingan yang hanya lewat begitu saja dan akan berlalu. Masuk lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.
Namun kemudian Renata terhenyak begitu kalimat terakhir singgah di gendang telinganya. Ia berusaha mencerna kalimat itu.
Sekarang Renata bingung harus berkata apa. Sebab ia tak pernah menyangka Tony akan berkata seperti itu kepadanya.
“Maaf, Pak. Saya kurang ngerti. Maksud Bapak apa, ya?” Renata bingung, juga gugup. Sebab ia tidak permah berharap ada seorang pria yang menaruh hati padanya. Ia cukup tahu diri dengan status yang disandangnya kini. Status yang akan membuat setiap pria mundur dan urung jika ingin menjalin hubungan dengannya.
Tony menghela napas pelan. Menundukkan wajahnya sejenak, memandangi tangannya yang tengah menggenggam jemari Renata. Ia sedang mengumpulkan keberaniannya untuk mengutarakan yang selama ini ia pendam.
“Ren.” Tony mengangkat wajahnya, menatap mata Renata dalam-dalam.
Renata yang ditatap seperti itu merasa canggung dan salah tingkah. Bahkan kesulitan bernapas. Sebab belum pernah ia sedekat ini dengan Tony.
“Sekarang saya mau jujur sama kamu. Selama ini saya hanya bisa memendam perasaan saya sama kamu karena saya menghargai kamu. Ren. Saya sayang sama kamu sebagai laki-laki. Saya jatuh hati sama kamu sejak pertama kali melihat kamu,” ungkap Tony.
Sekarang bukan hanya kesulitan bernapas, tapi rasanya napasnya sudah terhenti. Renata terkejut. Kalimat yang baru saja diutarakan Tony itu terdengar seperti mimpi baginya. Selama ini ia tidak pernah berharap Tony menyukainya dalam artian yang lebih. Bahkan bermimpi bisa bersanding dengan Tony pun, ia tak berani. Ia sadar siapa dirinya.
“Ijinkan saya jadi ayah sambung Dito. Saya tidak akan menjanjikan kamu yang muluk-muluk. Tapi saya akan berusaha menjadi ayah yang baik buat Dito,” kata Tony masih menggenggam jemari Renata.
“Pak, sa-saya ... saya ...” Tidak tahu harus berkata apa, Renata seperti diterbangkan ke alam mimpi. Tony adalah pria yang baik, tampan, juga berkecukupan. Dibanding dengannya, Tony masih bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari dirinya. Di luar sana ada banyak wanita yang bahkan rela mengantri demi bisa bersanding dengan pria itu. Lalu mengapa Tony malah menjatuhkan pilihan pada dirinya yang banyak kekurangan ini?
“Saya tau kamu kaget mendengar ini. Sebenarnya saya sudah lama ingin mengatakan ini sama kamu. Tapi saya tidak berani karena saya menghargai kamu. Saya memilih memendamnya selama bertahun-tahun ini demi kamu nyaman bekerja dengan saya.”
“Pak, saya tau Bapak sayang sama Dito itu tulus. Saya juga sangat berterima kasih atas semua kebaikan Bapak selama ini pada saya dan Dito. Selama bekerja dengan Bapak, saya merasa nyaman. Bapak laki-laki yang baik. Bapak masih bisa mendapatkan yang lebih baik dari saya.” Renata sungguh merasa tidak pantas bersanding dengan Tony. Pria itu layak mendapatkan yang lebih baik dari dirinya, yang memiliki latar belakang yang jelas. Bukan seperti dirinya, yang hanya seorang yatim piatu, tak berpunya, janda beranak satu pula.
“Penilaian manusia itu bisa saja keliru, Ren. Dalam soal hubungan, bukan lagi tentang pantas atau tidak pantasnya seseorang. Yang terpenting bagi saya adalah kenyamanan. Dan saya nyaman bersama kamu.” Memendam perasaan itu selama bertahun-bertahun, Tony sudah bisa menebak jika jalannya mungkin tidak akan menemui hambatan, yaitu soal meyakinkan Renata. Ia tahu hal itu tidak akan mudah, sehingga ia mendekati Renata pelan-pelan melalui Dito.
Memiliki kedekatan dengan Dito, Tony tidak pernah memanfaatkan kedekatan itu untuk mengambil hati Renata. Namun ia berusaha menunjukkan perasaannya melalui perhatiannya selama ini. Ia sudah berusaha mengisi celah dalam kehidupan Renata dan Dito, dengan harapan Renata memahami perasaannya. Ia juga tidak pernah berharap balas budi dari semua kebaikannya selama ini. Yang inginkan adalah Renata memiliki kehidupan yang lebih baik. Sebab menjadi seorang ibu tunggal itu tidaklah mudah.
“Tapi, Pak, saya ...” Renata sungguh bingung harus bagaimana menyikapinya. Jika ia menolak, akan timbul perasaan tak enak hati pada Tony. Sedangkan Tony sudah banyak membantunya. Akan tetapi, jika ia membuka kesempatan, ia tak ingin hal itu terdorong oleh balas budi. Sedangkan ia tidak ingin menjalin hubungan karena balas budi.
“Saya tidak akan memaksa kamu, Ren. Saya juga tahu ini tidak mudah buat kamu. Tapi, saya hanya minta, tolong kamu pikirkan ini baik-baik. Dito butuh sosok seorang ayah. Dan saya siap menjadi sosok itu.”
“Tapi, Pak. Saya ...” Renata menarik tangannya dari genggaman Tony. Ia gelisah, masih tak punya jawaban atas ungkapan perasaan Tony. Yang ia sendiri bahkan masih tak menyangka.
“Apa kamu ragu, Ren? Kamu masih kurang yakin, ya?”
Renata mengangguk. “Maaf, Pak. Saya bukannya ragu dengan niat baik Bapak. Saya hanya ragu dengan diri saya sendiri. Saya takut mengecewakan Bapak kalau nanti saya tidak bisa memberikan yang terbaik,” ujarnya hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Tony.
“Saya paham. Ini memang tidak mudah buat kamu. Tapi saya mau kamu tahu, kalau saya benar-benar serius, Ren.”
“Tapi, Pak. Tolong saya kasih saya waktu untuk berpikir. Saya minta maaf, saya tidak bisa mengambil keputusan tergesa-gesa. Saya hanya takut nanti akan mengecewakan semua orang.”
Tony mengangguk mengerti. “Baiklah. Saya tidak akan memaksa kamu. Kalau kamu memang masih butuh waktu, berapa lama pun saya akan menunggu jawaban kamu.”
“Terima kasih, Pak.”
Tony tersenyum menatap Renata yang tampak canggung.
“Oh ya, saya harus kembali lagi ke kantor. Kamu mau bareng saya?” Tony menawarkan.
Renata malah menjadi semakin canggung setelah Tony mengutarakan perasaannya. Sekaligus malu. Mendadak ia pun menjadi risih berdekatan dengan Tony. Ia merasa dirinya benar-benar tidak pantas untuk pria itu.
“Saya bawa mobil sendiri saja, Pak,” tolak Renata secara halus.
“Ya sudah, tidak apa-apa.” Tony bangun dari duduknya. Kepalanya celingukan mencari Bu Ningsih hendak pamit.
“Saya panggilkan Bu Ning dulu. Saya permisi ke belakang dulu ya, Pak.” Renata hendak ke belakang. Ia sudah berdiri, sudah mengayunkan langkahnya. Tapi tangan Tony cepat menahan lengannya.
“Ren,” panggil Tony.
Renata menoleh, memandangi wajah Tony. “Bapak perlu sesuatu?” tanyanya.
“Saya tau kamu canggung. Tolong setelah ini kamu jangan pernah lagi merasa risih di dekat saya. Dan, saya juga mau kita tidak bersikap formal lagi seperti ini selain di kantor. Maaf kalau saya terlalu banyak meminta.”
Renata tampak berpikir sejenak. Namun kemudian anggukan kepalanya disertai dengan senyuman tipis itu menjadi sebuah jawaban atas permintaan Tony.
Tony pun tersenyum lega. Walaupun belum mendapatkan jawaban yang pasti, ia sudah cukup senang dengan kemajuan yang tipis ini.
****
“Sayang, foto yang ini bagus tidak?” Vanessa melenggang, menghampiri Mirza yang tengah duduk pada sofa memandangi hamparan lautan luas. Pikirannya melambung mengingat obrolannya dengan Tony beberapa jam lalu.
“Ton, apa tidak sebaiknya kamu pikir-pikir lagi mau menikahi seorang janda? Kamu masih bisa dapat yang lebih, Ton. Sebagai teman, aku hanya mengingatkan. Jangan korbankan masa depanmu hanya karena perasaan. Cinta itu omong kosong, Ton,” kata Mirza sebelum Tony pergi ingin menemui seseorang yang menghubunginya beberapa jam lalu.
“Mungkin buat kamu seperti itu. Tapi buatku berbeda. Empat tahun aku memendam perasaan ini untuk dia. Aku tidak ingin menyebut ini sebagai kesempatan. Aku menganggap ini sebagai jawaban atas penantianku. Aku heran kenapa orang seperti kamu masih memandang rendah orang lain dari statusnya. Renata itu berbeda. Aku sudah jatuh cinta padanya sejak pertamakali bertemu,” kata Tony.
Mirza menghela napas panjang mengingat ucapan Tony beberapa jam lalu itu. Mendadak hatinya pun diliputi kegelisahan. Seakan tak rela sesuatu dicuri darinya.
“Sayang.”
“Iya, Ren?” Mirza tersentak kaget saat Vanessa menepuk pundaknya. Sontak ia menoleh dan tanpa sadar malah menyebut nama Renata. Wajah Vanessa mendadak menjadi menyeramkan.
To be continued...
Lebih baik baik sangat dicintai, daripada mencintai sendirian. Sekal lagi jangan bertahu Mirza bahwa Dito anaknya
🐡🐡🐡🐡🐡🐡 untukmu thor