Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11. Maaf
Dengan kepala tertunduk lesu, aku memasuki ruangan pak Adrian.
"Duduk!" Suaranya yang lembut, membuatku mendongak. Lelaki itu tengah menatapku, intens.Tanpa kata, aku pun duduk di sofa. Berhadapan dengannya, dengan perasaan was-was.
Pak Adrian menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, menyilangkan kedua tangan di dada dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kirinya. Matanya tetap menatap tajam padaku.
"Apa benar, Anya sering menyuruhmu ini itu?" Entah kenapa, suara pak Adrian berubah datar dan dingin.
Mulutku terkatup rapat, rasanya sulit sekali lidahku bergerak mengeluarkan suara. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Kenapa kamu jadi diam begitu? Kamu takut? Tadi sepertinya sangat berani melawan Anya di pnatru, kemana perginya Anna yang beberapa menit lalu melawan?" Lidahku tetap kelu, aku menggeleng lemah. Kepalaku semakin tertunduk dalam.
Segala pikiran buruk berkecamuk di otak. Bagaimana jika pak Adrian menghikumku atas apa yang dilihatnya tadi? Bagaimanapun, aku hanya karyawan baru disini. Sedangkan, si Anya telah lama bekerja di sini. Bagaimana kalau pak Adrian menceritakan kejadian tadi pada bisa David? Ya Tuhan, habislah aku. Lelaki salju itu pasti akan memarahiku habis-habisan. Yang paling mengerikan adalah jika lelaki itu memecatku.
"Jangan Pak, saya mohon maafkan saya. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi. Saya akan lebih bersabar menghadapi para karyawan disini. Tanpa peduli bagaiman mereka memperlakukan saya. Saya janji akan lebih sabar menghadapinya. Maafkan saya."
Cukup sudah ... Air mataku tiba-tiba mengalir tanpa bisa dibendung. Aku membayangkan jika harus dipecat dari perusahaan ini, bagaimana nasibku selanjutnya? Selain aku tidak bisa melanjutkan biaya sekolah adik Perempuanku satu-satunya, aku juga tentu tidak bisa mencari informasi tentang suamiku, status hubungan kami tentu akan semakin rumit.
Akhirnya, beginilah nasibku. Aku menangis, dengan kedua tangan slaing mengatup di depan dada. Mengemis maaf pada pak Adrian. Apakah orang miskin selalu seperti ini? Andai aku bisa memilih, aku akan memilih suamiku mencintaiku, dan aku akan mengabdikan diriku hanya untuk keluarga tanpa harus melibatkan diri pada hal hal seperti ini.
"Hapus air matamu." Suara Pak Adrian terdengar lembut. Seketika, akupun menghapus air mata dengan punggung tangan. "Bagaimana kalau setelah pulang kantor, kita makan malam bersama? Ada yang ingin aku bicarakan padamu."
"Eh, apa? Bagaimana, Pak? Apa maksud Bapak?" Tangisanku langsung berhenti setelah mendengar ucapan pak Adrian. Makan malam bersama, mungkinkah? Tapi ....
" Kita, makan malam bersama. Nanti malam sepulang kantor."
"Itu ...." Jawabku ragu. Aku benar-benar bingung sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Menerima atau menolak? Ah ....
"Ada yang ingin aku bicarakan. Serius." Katanya lagi penuh penekanan.
Setelah keluar dari ruangan pak Adrian, pikiranku tidak lagi fokus pada pekerjaan. Melainkan berkelana pada kemungkinan - kemungkinan yang terjadi, menerka-nerka apa yang mungkin akan pak Adrian katakan padaku.
Beberapa menit berikutnya, tampak Anya menghampiri meja kerjaku. Wanita itu mengulurkan tangan, "Anna, maafkan aku."
Sontak aku berdiri, menatap bingung padanya. Kami berdiri berhadapan dengan perasaan canggung, tampak jelas jika wanita itu gelisah. Wajahnya terlihat begitu khawatir, matanya berkaca-kaca. Apa yang terjadi?
Aku lalu mengulurkan tangan, berjabat tangan dengan tangannya yang dingin. Menganggukkan kepala, " aku juga minta maaf padamu."
Anya tersenyum, kamipun tersenyum bersama. Semoga ini awal yang baik. "Apakah kepalamu sakit?" Anya menjawab dengan gelengan kepala.
Detik berikutnya, suara ponsel terdengar berdering dari dalam tasku. Aku melepaskan uluran kami, lalu duduk dan meraih ponsel.
"Halo ...."
"Anna, kamu di mana? Dari tadi aku hubungi tidak diangkat?"
"Maaf ..."
"Mama menelpon, besok malam meminta kita kerumahnya. Selesai urusanku di Malang, aku segera menyusulmu. Pergilah sendiri kerumah mama dengan diantar sopir. Kamu dengar?"
"Dengar ... Boss."
"Bagus."
Tut
Selalu saja seperti ini. Menghubungi tanpa basa basi. Menanyakan kabar dulu kek, apa kek. Dasar lelaki gunung salju, enggak punya perasaan. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan selingkuhannya.
"Aahh ... Sialan." Aku mengacak rambut frustrasi.
Tanpa sadar, ternyata Anya masih berdiri di depan mejaku. "Anna, ada apa?"
"Eh, itu ... Tidak ada apa-apa. Maaf jika membuatmu bingung."
"Kamu bisa menceritakan apapun padaku. Aku harap kita bisa jadi teman mulai sekarang." Kemudian Anya pergi, kembali di meja kerjanya. Meninggalkanku yang masih menatap tak percaya pada ucapannya barusan.
Apa? Berteman. Aku dan Anya? Mungkin saja jadi hubungan yang baik.
Setidaknya, aku tidak lagi memiliki musuh di sini. jadi bisa lebih fokus pada pekerjaan dan misi penyelamatan atas status pernikahanku. walaupun, rasanya aku pesimis pada hubunganku dan boss David. Mengingat, lelaki itu tanpa mau membuka hatinya sedikitpun padaku. Aku juga tidak bisa lebih sabar menghadapinya. apa aku harus menjadi wanita penyabar yang lemah lembut, menerima segala resiko pernikahan tanpa membatah sedikitpun. apalagi harus berdebat terus menerus dengan suamiku itu?
Entahlah, rasanya aku memang bukanlah tipe penurut, yang bisa dipermainkan seenaknya saja.
Aku sudah terbiasa hidup keras dan menjadi tulang punggung keluarga. itulah yang menjadi dasar kerasnya kepribadianku.
Aku tahu, aku sangat mencintai David, suamiku. Namun, jika terus menerus seperti ini hubungan dan keadaan kami. Siapa yang bisa menjamin, jika hatiku akan terus utuh untuknya?
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat