Diana, dia adalah seorang ibu muda beranak satu. Istri yang sangat patuh pada suaminya dan juga memiliki cinta yang besar pada keluarga kecilnya. Tak pernah terbayangkan olehnya, jika sang suami yang terkesan pendiam dan hanya mau berinteraksi pada orang yang telah di kenal bahkan mampu menduakan cintanya.
Diana seorang yatim piyatu, dan hanya memiliki seorang kakak perempuan. Disitulah kesulitan yang akan ia hadapi sendiri, tak ada tempat pengaduan ketika ada luka di hatinya.
Akan kah kisah cintanya dalam berumah tangga bisa bertahan setelah di duakan? Tentu, karena Diana hidup mempunyai prinsip dan juga kepercayaan. Wanita pintar tidak akan kalah pada wanita penggoda.
Dan cerita ini asli karangan author semata, hanya saja sudah sering terjadi di linkungan hidup sekitar kita. Mari simak cerita manarik ini, yang mampu membuat hati tersentuh di setiap pembacanya.
No penjiplakan dan copy paste ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sellamanis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Benar saja, apa yang dikatakan oleh Anton semuanya benar. Diana pagi-pagi sudah menelfon. Ia hanya tersenyum sambil mengangkat telfon.
Padahal Anton belum lagi turun dari ranjangnya, belum sempat cuci muka. Pokoknya asli deh orang yang bangun tidur itu gimana.
"Hallo assalamualaikum adik mas. Ada apa ya pagi-pagi udah nelfon?" Tanyanya pura-pura tidak tau.
"(Mas, Apaan sih maksudnya ngasih Ana oleh-oleh kayak begituan, kenapa Bagas mas belikan jam dan kemeja yang memang asli dibeli dari luar kota. Sementara Ana mas belikan gaun dan alat olahraga juga ada liontin couple lagi! Memang semuanya bagus tapi kan itu bukan oleh-oleh dari luar kota mas, disini juga Ana bisa beliii!!" Omelnya panjang lebar dengan satu nafas.
Anton tersenyum.
"Masih pagi na, kamu ini. Sekarang mas tanya sama kamu. Soal alat olahraga yang mas kasih ke kamu, kamu pakai enggak?"
"(Pakai sih mas, tadi pagi)."
"Nah terus salah mas ngasih kamu gaun bagus itu dari mana? Dari mana salahnya mas?"
Diana lama menjawab di seberang telfon. Mungkin nampak berpikir.
"(Ya mas Ana ngerti maksud mas sekarang. Supaya kalau ana udah langsing bisa pakai gaun itu, gitu kan mas? Sebenarnya Bagas juga Uda jelasin begitu tadi malam cuma Ana mau denger langsung dari mas heheh)."
"Ya udah kalau gitu. Kamu semangat terus oke? Mas tutup iya telfonnya."
"(Eeh mas tunggu dulu. Lalu kenapa mas kasih liontin couple segala untuk Ana sama Bagas. Atau jangan-jangan itu punya kalian ya tapi terbawa kami)."
"Bukan lah. Kamu klik aja tombol dibelakang liontin itu. Nah nanti kamu bisa tau keberadaan Bagas ada dimana. Kalau kalian dekatan hanya dengan jarak hitungan meter liontin kamu bakal bergetar. Itu tandanya Bagas ada di dekat kamu."
Terangnya sambil sesekali menguap.
"(Oh gituuu toh. Tapi kenapa mesti begini? Kayak Ana mau ngelacak Bagas aja mas)."
"Mas ngertilah na. Yang penting pesan mas, selesaikan masalah kamu sendiri jangan libatkan orang lain termasuk kakakmu sendiri. Mas akan bantu dari jarak jauh aja ya?
Selebihnya kamu yang ambil peran. Mas harap kamu mengerti ucapan mas, dan mengenai liontin jangan pernah kamu bilang ke Bagas atau kakakmu. Cukup mas dan kamu aja yang tau. Mas tutup ya masih ngantuk assalamualaikum."
Tutt....
Diana menggaruk kepalanya sendiri. Sepertinya dia masih bingung apa maksud perkataan Anton.
Beberapa menit ia hanya berdiri di depan teras rumah memandang ke depan tapi dengan tatapan kosong.
Apa maksud mas Anton aku harus nyelidikin suami ku? Makannya semua barang yang ia beri termasuk fasilitas utama yang akan ku gunakan ke depan. Aku rasa begitu, baiklah.
Suasana pagi ini sudah tidak seindah hari-hari sebelumnya. Dimana didalam rumah masih ada kehangatan yang hidup di dalam sebuah keluarga. Meskipun kehangatan itu tidak pernah hilang, tidak pernah musnah.
Tapi itu tidak bagi Diana. Baginya keluarga yang kini tampak baik-baik saja hanya karena prinsipnya yang harus berakting pura-pura bodoh. Bukankah jika ia berontak dari kemarin keluarga ini sudah terpecah?
Ada rindu dimana ia ingin mengaduh.
Ada rindu yang sangat tidak tertahankan.
Perlahan air matanya menetes jatuh bersamaan peluh nya setelah selesai berolahraga. Beginikah sakitnya menjadi sabar? Atau memang beginikah sakitnya jika suami mempunyai orang lain diluar?
Terkadang rasa sakit muncul, terkadang juga hanya rasa sabar yang berkobar. Setan selalu membisikkan hal yang berbeda setiap saat.
Ia tampak terus melamun dan sesekali menghapus keringat dan air matanya.
Aku sangat rindu Emak. Aku juga rindu bapak.
Andai kalian ada, dan masih ada. Ana pasti lebih memilih untuk pulang ke kalian dan enggak harus bersabar sesakit ini. Ana juga mikir untuk kebahagiaan Alif.
Saat ia berbalik badan berniat akan membersihkan tubuhnya dan mengajak anak berserta suami sarapan. Tiba-tiba Bagas sudah berdiri di depan pintu.
Entahlah sejak kapan ia ada disana. Mungkin juga ia melihat Diana yang menangis sendu.
Yang jelas saat ini Bagas menatap Diana dengan tatapan yang sulit di artikan.
Diana hanya terus berjalan ke arah pintu. Dan akan masuk, hanya sekedar menyapa untuk sarapan.
"Ayo yah kita sarapan." Berbicara tanpa melihat.
"Ana." Panggilnya. Tidak ikut berbalik badan hanya menyanggah tangan Diana.
Ia terus memegang tangan Diana. Diana tidak bergeming.
"Ana sayang. Maaf." Ucapnya lirih.
"Maaf? Maaf untuk apa yah?"
"Hukum saja ayah." Ucapnya lagi.
"Maksud kamu yah? Udah yah ana udah siapin sarapan tinggal bangunkan Alif aja. Terus kita sarapan bareng. Ana mau mandi dulu. Jangan bahas hal yang Ana enggak ngerti yah. Lebih baik berkata terus terang."
Diana langsung pergi meninggalkan Bagas.
...***...
Selesai membersihkan tubuhnya, Diana membangunkan anaknya dan mengajak mandi. Setelah itu barulah mereka sarapan bersama.
Diana hanya makan 3 telur rebus juga ada 1 jagung rebus. Padahal ia juga memasak makanan yang cukup enak, tapi dengan bismillah ia berniat tidak akan menyentuh makanan itu. Sungguh luar biasa kalau sudah niat ini ya.
Tidak ada yang bicara terkecuali Alif yang berbicara tidak penting mengenai mainan barunya. Wajar lah namanya juga anak kecil.
Bagas melirik ke arah Diana dan melihat menu makanannya. Ia bingung kenapa tidak makan nasi.
"Kenapa enggak makan nasi sayang." Tanyanya amat lembut.
"Biar cepat muat gaun dari mas Anton yah, hehe. Hem Diana nanti pamit mau ziarah ke makam emak sama bapak ya. Soalnya kangen."
Buru-buru ia mengalihkan percakapan kalau tidak Bagas akan memaksanya untuk makan dengan nasi.
Padahal jelas-jelas kalau sudah DEBM ya memang tidak makan nasi, hanya saja di ganti dengan makanan lain yang rendah lemak, seperti rebusan gitu. Intinya jangan sampai tidak makan.
"Ya udah kenapa enggak ajak ayah sih? Ayah perhatikan akhir-akhir ini kamu kalau mau pergi enggak pernah lagi ngajak ayah. Memang nya kenapa? Apa setelah ziarah akan ada yang di jumpai?" Tanyanya ketus.
"Kok gitu sih pikiran ayah. Bukankah akhir-akhir ini ayah yang sibuk? Ana udah enggak mau maksa ayah dalam prihal apa pun sekarang.
Karena malam itu sibuknya ayah , Ana hanya mau ayah makan ayah tega bentak Ana sampai seperti itu. Gimana kalau ngajak pergi dan maksa. Bisa-bisa Ana di banting sama ayah."
Bagas terdiam dan tampak mengeraskan rahangnya. Dia udah mulai tersinggung dengan ucapan Diana.
"Dan sekarang Ana berpikir lebih baik pergi kemanapun sendiri saja. Ya kalau ayah mau ikut terserah tidak juga terserah. Jadi jangan pernah nuduh Ana keluar untuk jumpain orang lain." Tegas nya lagi.
Kali ini Bagas berdiri dari meja makan, meninggalkan makanan yang masih tersisa. Diana udah enggak kaget lagi dia terus melanjutkan sarapannya bersama Alif.
Ternyata Bagas keluar kamar sudah rapi, dengan baju Koko berwarna hitam yang dibelikan Diana sewaktu bulan Ramadhan. Juga sudah lengkap beserta peci nya.
"Ayo berangkat sekarang."
Diana menoleh ternyata suaminya pergi karena siap-siap akan ikut ke pemakaman. Ia langsung berdiri dan membereskan piring beserta meja yang tercecer nasi karena ulah Alif.
...***...
"Nek, semoga nenek tenang disana ya huhu." Suara tangis perempuan muda.
"Yang sabar ya, yang sabar ya." Begitulah ucapan belasungkawa dari para pelayat yang datang.
"Udah nduk ayo kita pulang. Nenek udah tenang disana. Sekarang kamu nyesel kan karena enggak mau nurut sama nenekmu, kamu juga selalu ngebantah apa kata ibumu ini.
Terkadang kamu sepele nduk apa kata orang tua, padahal kalau kami bicara itu ya yang pasti terbaik buat kamu. Ya udah ibu duluan kalau kamu masih mau disini."
Ucap sang ibu seraya pergi meninggalkan anak gadisnya.
Wanita itu tambah mengeluarkan air matanya deras setelah mendengar perkataan ibu nya. Selama ini ia selalu membangkang perkataan ibu juga neneknya.
Tidak pernah menurut, hanya memikirkan kesenangannya sendiri termasuk selalu mengganggu kebahagiaan orang lain.
Jelas itu salah. Tapi setiap kali ibu atau neneknya memberi nasehat dia tidak terima malah milih pergi dari rumah dan tidak pulang selama beberapa hari.
Dan hari ini ketika wanita tua yang selalu ia bantah sudah pergi untuk selamanya, Itu pun tidak sempat melihat nya untuk terakhir kali karena ia pergi dari rumah. Ia merasa sangat menyesal.
Disinilah dia menangisi kepergiannya. Di atas gundukan tanah bertaburkan bunga yang mungkin akan segera mengering.
...***...
Dalam perjalanan ke makam.
"Kita enggak bawa bunga sayang?" Tanya Bagas.
"Nanti di perempatan jalan ada yang jual bunga, berhenti aja disitu yah."
"Alif nanti kalau sampai dirumah kakek dan nenek Alif enggak boleh lasak ya nak." Diana mengingat kan anaknya.
Untungnya Alif termasuk anak yang penurut, sekali di tegaskan ia langsung mengerti.
Setelah sampai pemakaman dan sudah membeli bunga.
"Ramai yah. Ana rasa baru saja ada yang di kuburkan."
Sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Iya mungkin lah sayang. Alif sini nak ayah gendong aja."
Mereka berjalan terus memasuki area pemakaman. Saat melewati kuburan yang mungkin baru saja selesai di makamkan, terlihat ada seorang wanita berkerudung hitam menunduk duduk terisak dan memeluk batu nisan yang masih di pasang dengan kayu.
Bagas dan Diana sama-sama menatap prihatin terhadap wanita tersebut. Begitulah rasanya kehilangan orang yang paling kita cintai di dunia ini, dan begitulah aku dulu sewaktu kehilangan emak dan bapak, pikir Diana dan terus menatap ke wanita itu.
Saat mereka melewati dan akan sampai di pemakaman ibu Diana, mereka serempak melihat wajah wanita itu, Diana biasa saja dan terus berjalan. Berbeda dengan Bagas yang kaget setengah mati karena wanita itu adalah Risah.
Bagas menghentikan langkahnya tetapi dia berpikir kalau Diana curiga bagaimana.
Kenapa dia disini? dan, dan itu siapa yang meninggal? Kasian sekali dia. Bagas.
"Yah kita udah sampai, ini kuburan emak sama bapak."
Bagas yang terus menoleh kebelakang terkaget dan menubruk Diana yang di depannya. Untunglah tidak sampai terjatuh.
"Yaampun yah, kenapa sih? Kalau kita jatuh tadi gimana?" Sentak Diana dan melihat arah padangan suaminya sedari tadi.
"Oh iya maaf sayang. Tadi ayah liat ke belakang siapa tau kelewatan ternyata kamu udah nemuin." Elaknya.
"Masak enggak hafal juga sih yah, padahal kita sering kesini. Kalau udah ada pohon besar dan tiang lampu disitulah makam emak dan bapak, ingat itu yah."
"Iya-iya sayang."
"Alif, doain kakek sama nenek bahagia di surganya Allah ya sayang." Sambil mengelus puncak kepala anaknya.
Mereka pun berdoa bersama. Sesekali Diana meneteskan air matanya begitu juga dengan Bagas.
Lah Bagas juga nangis?
Diana menangis dan mengaduh keluh kesahnya yang selama ini dia alami, walaupun mungkin belum tentu mereka mendengar tapi setidaknya ke galauan yang dia alami terasa sedikit berkurang.
Bagas menangis dihadapan makam mertuanya di karenakan dia meminta maaf karena telah membuat hati putrinya sakit.
Maaf kan Bagas pak Mak. Bagas udah buat ana kecewa. Bagas udah bikin hati ana hancur. Bagas engga tau harus gimana. Berhenti atau lanjut tetap saja Diana akan sakit nantinya.
Mereka sudah selesai berdoa, ketika berdiri dan membalikkan badan, ternyata sosok Risah masih juga belum pergi dari sana.
Bagas pura-pura tidak tau. Saat mereka akan melewati, Risah bangkit dan bruukk. Risah pingsan.
Diana panik dan meminta Bagas untuk menolong sementara dia meminta Alif untuk ia gendong. Keadaan pemakaman sudah sunyi, seluruh kerabat dan keluarganya sudah pulang hanya tinggal ia seorang diri.
Bagas tampak menimang.
"Ayah cepetan kasian yah, udah enggak ada orang lagi disini tinggal kita yah! Udah ayah angkat aja dulu yah bawa ke mobil kita."
Diana berjalan lebih dulu dan menuju mobil. Segera ia membukakan pintu mobilnya untuk Risah.
...***...
Bagas melihat wajah Risah yang amat pucat, bibirnya membiru.
"Yah bagaimana? Mau kita bawa kemana dia?"
Bagas terdiam memikirkan sesuatu.
Aku bingung. Kalau diantar pulang kerumahnya pasti Diana tau kalau aku kenal dan kenapa tadi pura-pura enggak kenal, Tapi kalau seterusnya bilang enggak kenal dan tiba-tiba Risah sadar terus dia manggil aku, aku jadi ketauan kalau ada sesuatu diantara kami. Yaallah beri petunjuk hamba yang jahat ini. Batin Bagas.
"Yah gimana kok diem aja sih, kasian tau yah."
"Haa?? Iya iya kita bawa kerumah sakit aja dia. Sepertinya ayah kenal sama dia, cuma karena tadi dia nunduk ayah sempat enggak ngenali. Nanti kalau dia udah siuman juga bisa ngabarin ke keluarganya."
Akhirnya mereka membawa Risah ke rumah sakit terdekat. Agar Risah segera di periksa.
Bersambung ...
fight dong tp dgn elegan
suami dah celup msh ditrima
ah sungguh egois lelaki
Rama tersirat ada kejahatan dibalik kebaikannya selama ini
cari masalah aja sih