MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayi Besar
Andika terbangun saat semburat jingga matahari senja mulai menyelinap masuk melalui celah gorden sutra yang mahal. Efek obat dari Dokter Gunawan telah meredam badai di dalam tubuhnya. Meskipun kepalanya masih terasa sedikit melayang, rasa nyeri yang menusuk-nusuk sendinya kini berubah menjadi denyutan tumpul yang masih bisa ia toleransi.
Ia menolehkan kepala ke samping, dan pemandangan itu seketika membuat hatinya berdesir.
Rahayu masih di sana. Wanita itu tertidur dalam posisi duduk di kursi kecil samping ranjang, kepalanya bersandar pada tepian kasur dekat lengan Andika.
Napasnya teratur, wajahnya tampak begitu tenang dalam tidur seolah-olah kepahitan hidup dan ketegangan semalam tidak pernah terjadi. Tangan kanannya masih memegang ujung kain kompres yang sudah mengering.
"Dia menungguku sampai ketiduran,"
pikir Andika.
Sebuah rasa hangat yang asing menjalar di dada Andika, mengalahkan rasa dingin sisa demamnya. Sebagai pria yang terobsesi dengan kendali dan kekuasaan, ia jarang merasakan getaran emosional seperti ini.
Ia merasa begitu dicintai, begitu diprioritaskan. Rasa bersalah yang sangat tipis sempat melintas saat ia teringat bagaimana ia menyebut istrinya sebagai "anjing penurut" dalam hatinya tadi pagi.
"Mungkin aku udah terlalu keras sama si buta ini." batin Andika.
"Dia tetaplah Rahayu yang lemah, wanita yang bergantung sepenuhnya padaku."
Dengan gerakan perlahan agar tidak menimbulkan suara, Andika mencoba menggerakkan tangannya. Ia ingin mengusap pipi Rahayu, ingin membalas perhatian yang ia terima. Namun, saat jarinya hampir menyentuh kulit lembut istrinya, ia menyadari sesuatu yang aneh.
Rahayu tidak sekadar duduk. Di bawah jari-jarinya yang tampak lemas di atas pangkuan, Andika melihat ponsel lipat Rahayu berada dalam genggaman wanita itu.
Posisinya sangat strategis, seolah Rahayu siap terjaga dan menggunakan ponsel itu dalam satu gerakan refleks jika ada suara sekecil apa pun.
Tepat saat Andika hendak menyentuhnya, kelopak mata Rahayu terbuka. Tidak ada proses transisi "bangun tidur" yang lambat. Ia langsung menegakkan punggung, wajahnya kembali datar, dan matanya yang kosong menatap lurus ke depan—tepat ke arah posisi wajah Andika.
"Mas udah bangun?" tanya Rahayu. Suaranya jernih, sama sekali tidak terdengar seperti orang yang baru saja terlelap.
"Iya, Ra... kamu tidur di situ dari tadi?" suara Andika sedikit serak.
"Pindah ke kasur saja, nanti punggungmu sakit."
Rahayu tersenyum kecil sebuah senyuman yang bagi Andika terlihat manis, namun tidak mencapai matanya.
"Aku gak ngerasa lelah, Mas. Jagain kamu adalah prioritasku sekarang. Aku udah janji sama Dokter Gunawan, kan?"
"Makasih ya, Ra. Aku... aku merasa jauh lebih baik,"
Andika mencoba duduk bersandar pada headboard ranjang.
"Tapi perutku lapar. Bisa minta tolong ambilkan bubur?"
"Tentu. Aku udah menyiapkannya di dapur bawah. Aku akan mengambilnya untukmu," jawab Rahayu sopan.
Ia berdiri dengan anggun, merapikan dasternya tanpa perlu cermin. Namun, sebelum ia melangkah keluar, ia meletakkan ponsel lipatnya di atas nakas, tepat di samping botol-botol obat Andika.
"Mas, HPmu ada di laci meja kerjamu di ruang tengah, kan? Tadi Dokter bilang kamu harus menjauh dari radiasi dan stres pekerjaan, jadi aku sengaja gak bawa ke sini agar tidurmu tidak terganggu suara notifikasi."
Andika terdiam sejenak. Ia merasa sedikit terisolasi tanpa ponselnya, tapi di sisi lain, ia melihat ini sebagai bentuk perhatian Rahayu yang luar biasa.
"Iya, Ra. Biarin aja di sana. Aku ingin tenang dulu."
"Pilihan yang cerdas, Mas," sahut Rahayu lirih.
Begitu pintu kamar tertutup dan langkah kaki Rahayu menjauh, Andika menghela napas panjang. Ia merasa benar-benar menjadi raja di istananya sendiri yang dirawat oleh ratu buta yang setia.
Pintu kamar kembali terbuka dengan bunyi klik yang halus. Rahayu melangkah masuk membawa nampan kayu berisi semangkuk bubur ayam yang aromanya memenuhi ruangan.
Langkahnya begitu tenang, menghindari setiap sudut furnitur dengan presisi yang menakutkan bagi seseorang yang tidak bisa melihat.
"Ini buburnya, Mas. Masih hangat," ucap Rahayu lembut sambil meletakkan nampan di atas meja nakas.
Andika memperhatikan setiap gerak-gerik istrinya. Kecurigaan yang tiba-tiba muncul di benaknya mulai mengusik rasa hangat yang tadi ia rasakan. Bagaimana mungkin dia bisa meletakkan nampan itu tepat di pinggir meja tanpa meraba dulu? pikir Andika.
Untuk mengobati rasa penasarannya, saat Rahayu hendak meraih mangkuk, Andika tiba-tiba menggerakkan tangannya dengan cepat, melambai-lambaikan jarinya tepat di depan mata Rahayu yang terbuka lebar.
Namun, tidak ada respons.
Mata Rahayu tetap kosong, bening seperti kaca, tanpa ada refleks berkedip atau tarikan otot wajah yang menunjukkan keterkejutan.
Ia justru terus mengulurkan tangan hingga jemarinya menyentuh pinggiran mangkuk, lalu dengan tenang mulai mengaduk bubur itu.
"Kenapa, Mas? Ada nyamuk?" tanya Rahayu datar, seolah ia bisa merasakan pergerakan udara dari lambaian tangan Andika.
Andika tersentak, sedikit malu dengan tindakannya sendiri.
"Eh, bukan. Cuma... sedikit pusing tadi."
Rahayu tidak menjawab. Ia menyendok sedikit bubur, meniupnya dengan lembut, lalu mengarahkannya ke bibir Andika.
"Ayo, makan dulu supaya obatnya bisa bekerja maksimal."
Suapan demi suapan masuk ke mulut Andika. Rasa hangat bubur itu perlahan membuat tubuhnya kembali rileks. Sifat manjanya yang jarang muncul kini mulai mengambil alih. Setelah mangkuk itu kosong, Andika menyandarkan kepalanya ke bahu Rahayu.
"Ra... punggungku pegal semua. Bisa minta tolong tepuk-tepuk pelan? Aku ingin tidur lagi, tapi rasanya gak nyaman kalau tidak digituin," pinta Andika dengan nada merajuk yang tidak biasa.
Rahayu terdiam sejenak, lalu tawa renyah keluar dari bibirnya yang mungil.
"Hahahaha... dasar bayi besar!" Rahayu mengelus rambut Andika sebelum mulai menepuk-nepuk punggung suaminya dengan irama yang teratur.
"Aku pikir kamu pria yang paling gak mau disentuh kalau sedang sakit, sekarang malah minta ditimang-timang."
Andika memejamkan mata, menikmati irama tepukan tangan Rahayu yang menenangkan.
"Hanya untuk kali ini, Ra... hanya karena aku sedang sakit. Demam ini sangat menyiksaku. Mungkin efek jatuh dari motor jauh lebih mendingan."
"Tidurlah, Mas. Aku gak akan ke mana-mana," bisik Rahayu.
Andika tidak menyadari, di balik punggungnya, senyum manis Rahayu perlahan semakin manis.
"Tidur yang nyenyak, Mas," batin Rahayu.
Di rumah megah keluarga Rio, suasana pagi yang seharusnya tenang pecah oleh isak tangis Santi yang dibuat-buat. Di ruang makan, Bu Laura menggenggam gagang telepon dengan buku jari yang memutih, mendengarkan aduan putri kesayangannya itu.
"Dia mukulin kamu, sayang? Si buta itu berani mengangkat tongkatnya ke kamu?" suara Bu Laura naik satu oktav, matanya menyipit tajam penuh kebencian.
"Iya, Ma! Rahayu udah berubah. Dia bukan lagi Rahayu yang bisa kita injak-injak. Dia menyerangku di rumah Andika semalam. Dia merasa udah jadi nyonya besar sekarang!"
Bu Laura menatap dengan kasar. Napasnya memburu. Baginya, Rahayu hanyalah "alat" yang ia jual kepada Andika untuk melunasi hutang keluarga dan menjamin gaya hidup mereka. Melihat alat itu kini berani melawan adalah penghinaan besar.
"Kurang ajar," desis Bu Laura.
"Udah cacat, gak tahu diri pula. Aku memberinya kehidupan mewah dengan menikahkannya pada Andika, dan ini balasannya?"
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏