Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Nalea terhuyung, tubuhnya terasa sangat berat dan dingin, seolah energi kehidupan telah terkuras habis bersama darah dan air matanya. Tamparan Ivander tadi tidak hanya melukai fisiknya, tetapi juga menghancurkan sisa-sisa pertahanannya.
Saat ia hampir ambruk, sepasang lengan kuat tiba-tiba menyambut tubuhnya.
Zavian, putra sulung keluarga Hersa itu mengangkat tubuh Nalea dengan sangat perlahan, seolah ia memanggul barang pecah belah. Langkahnya hati-hati, takut si empunya tubuh yang kelelahan itu terbangun.
Jantung Zavian tiba-tiba serasa tertusuk saat melihat darah menetes dari sudut bibir Nalea akibat tamparan Ivander. Dalam keheningan saat pengakuan Nalea, Zavian menyadari kebenaran, Sisilia terlalu berlebihan. Ada keganjilan dalam semua cerita itu. Ia harus melakukan sesuatu.
Zavian membawa Nalea menaiki tangga. Ia mendengar bisikan marah dari Azlan dan rengekan tersedak Sisilia, namun ia mengabaikannya.
Nalea merasakan pergerakan. Ia terkejut dan segera membuka matanya, tangannya yang diperban langsung menangkup, menutupi area dadanya yang tertutup pakaian.
“Apa yang Kakak akan lakukan!” Nalea berseru kaget, tubuhnya menegang.
Tak!
Zavian menyentil pelan dahi Nalea, senyum tipis yang jarang sekali ia tunjukkan, tersungging di bibirnya.
“Cih! Apa kamu pikir aku terlihat seperti orang mesum?” jawab Zavian, nadanya kembali dingin, tetapi ada kehangatan yang tak terduga di dalamnya.
Nalea melihat sekeliling. Ia berada di lorong yang terang benderang. Zavian membawanya masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sebuah kamar tidur yang asing, jauh dari gudang apek.
“Lalu ini di mana?” tanya Nalea bingung, turun dari gendongan Zavian dengan hati-hati.
Zavian mendesah kasar, mengalihkan pandangannya. “Ini kamarmu sekarang. Kamar di lantai dua, sebelah kamar tamu. Maaf atas perlakuan yang kurang baik terhadapmu, Lea.”
Nalea tertegun. Kata ‘maaf’ itu, keluar dari mulut Zavian, terasa seperti keajaiban. Ia ingat, saat Nalea di rumah sakit, Zavian sebenarnya sudah mulai menyadari keganjilan dalam diri Sisilia. Ia telah diam-diam menyelidiki kejadian kecelakaan mobil Sisilia dan menemukan banyak kejanggalan.
Tiba-tiba, suara melengking memecah keheningan yang canggung itu.
“Tuan Muda Zavian! Apa-apaan ini?” Lidya muncul di ambang pintu, wajahnya memerah karena amarah. Ia melihat Nalea berdiri di kamar mewah, dan di sampingnya ada Zavian, tentu jika Sisilia mengetahuinya akan bersedih dan kecewa.
“Kenapa anak liar ini ada di kamar ini? Ini bukan tempatnya! Cepat pergi dari sini, tubuhnya yang kotor akan mengkontaminasi kamar ini?” teriak Lidya dengan arogan, kata-katanya sangat merendahkan.
Wajah Zavian seketika mengeras, terkejut, seorang bibi pembantu berani membentak dan menghina Nalea. Seolah-olah rumah ini merupakan miliknya, Lidya susah lupa siapa majikannya. Ia melangkah maju, berdiri di antara Nalea dan Lidya.
“Berhenti menyebutnya anak liar!” Kali ini, suara Zavian meninggi dan dipenuhi geram. “Bagaimanapun juga, dia anggota keluarga Hersa!”
Lidya terkejut dengan nada bicara Zavian. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi tidak bisa menerima kekalahan ini. Jika Nalea mendapatkan haknya sebagai putri Hersa, posisi Sisilia akan terancam.
“Tapi Tuan Muda! Anak ini sudah menyebabkan banyak masalah! Dia kasar, dia tidak tahu sopan santun! Dia seharusnya tetap di gudang! Kamar ini terlalu bagus untuk anak sepertinya!” protes Lidya, tangannya menunjuk Nalea dengan jijik.
“Apa masalahnya denganmu, Bi?” tanya Zavian, matanya menyipit. “Ini sudah menjadi keputusanku dan Mamah.”
Nalea hanya berdiri mematung. Kepalanya masih berdenyut, tetapi ia merasakan gelombang harapan kecil yang mulai menjalar. Zavian membelanya.
Lidya menggelengkan kepala dengan panik. “Tidak bisa, Tuan Muda! Nona Sisilia tidak akan nyaman! Ini hak Nona Sisilia!”
“Hak Sisilia? Sisilia sudah punya kamarnya, Bi. Kamar ini kosong,” balas Zavian dingin. “Aku tahu kamu khawatir status Sisilia terancam. Tapi jangan berlebihan.”
Zavian melangkah mendekati Lidya, tatapannya menghunus. “Aku menghormatimu, Bi. Aku dan seluruh keluarga Hersa masih menghormatimu karena kamu adalah ibu kandung Sisilia. Tapi ingat, kamu hanya pembantu di rumah ini. Jangan melewati batasan. Ini adalah keputusan keluarga Hersa.”
Wajah Lidya pucat pasi. Ia tahu Zavian tidak main-main. Ancaman untuk kembali menjadi ‘hanya pembantu’ adalah hal yang paling ditakutinya.
“Ini belum berakhir!” Lidya mendesis pelan, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah gusar, membanting pintu.
Nalea menatap Zavian. Dia tidak menyangka kakak tertuanya, yang selalu dingin dan cuek, akan membelanya seperti ini.
“Terima kasih, Kak,” bisik Nalea.
Zavian menghela napas, rasa bersalah terlihat samar di matanya. Ia berjalan ke arah Nalea, menatap luka di bibir Nalea.
“Obati lukamu. Istirahat di sini,” perintah Zavian, nadanya kembali datar. “Aku akan bilang pada pelayan lain untuk menyiapkan air hangat dan membawakan makanan ke sini. Jangan keluar dari kamar ini. Jangan berikan mereka alasan lagi untuk menghukummu.”
“Kenapa… kenapa Kakak melakukan ini?” Nalea bertanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
Zavian memalingkan wajah, menyembunyikan emosinya. “Aku hanya tidak suka melihat keluargaku terlihat bodoh karena dipermainkan oleh… oleh drama. Dan, aku benci mengakui ini, tapi aku tidak suka cara Papa menamparmu.” Zavian mengelus pipi Nalea, bekas tamparan itu terlihat jelas membuktikan seberapa keras Ivander menamparnya.
Ia lalu melihat ke arah Nalea. “Nalea, aku tahu kamu pintar. Gunakan otakmu yang cerdas itu. Tetap di sini. Buktikan apa yang kamu katakan tentang Ayah angkatmu itu benar. Lalu, tunjukkan siapa yang sebenarnya pantas di rumah ini.”
Zavian berbalik, meninggalkan Nalea sendirian di kamar barunya.
Nalea menyentuh bibirnya yang sobek. Kamar yang bersih, nyaman, dan pengakuan tak terucapkan dari Zavian. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Tetapi untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di rumah Hersa, Nalea merasa, ia memiliki satu sekutu.
...******...
Dua tahun telah berlalu. Dalam kurun waktu itu, Nalea bukan lagi gadis yang ringkih. Ia menjadi bayangan yang tenang dan cerdas, menghabiskan waktunya dalam kamar di lantai dua untuk belajar dan merencanakan. Luka fisiknya telah sembuh dan tidak membekas, tetapi luka di hatinya mengkristal menjadi tekad baja.
Suasana di ruang rapat eksekutif Grup Hersa sangat mencekam. Ivander, Zavian, dan Azlan duduk mengelilingi meja, dengan tumpukan dokumen kerugian di hadapan mereka.
“Kerugian ini tidak masuk akal!” geram Ivander, memukul meja hingga gelas air di depannya bergetar. Wajahnya tampak lebih tua dan lelah. “Hampir setengah modal perusahaan raib! Siapa yang menyetujui investasi bodong ini?”
Zavian menghela napas berat. “Laporan keuangan menunjukkan, dana besar dialokasikan ke PT Makmur Abadi. Kita tertipu scam investasi, Pa. Mereka bahkan tidak punya kantor fisik.”
Ivander menatap Azlan dengan tajam. “Azlan! Bagian keuangan ada di bawah kendalimu. Jelaskan! Kenapa kau tidak melakukan due diligence sebelum menyetujui investasi sebesar itu?”
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬