NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11: Terperangkap Sendiri

Jeritan Kevin yang teredam masih berdengung di telinga Risa, sebuah melodi horor yang merobek malam. Dalam sejemput detik, sosok yang menjadi satu-satunya jangkarnya di tengah badai misteri ini lenyap, ditelan kegelapan pekat di balik lemari usang. Risa berdiri terpaku, darahnya terasa dingin membeku, napasnya tersangkut di tenggorokan. Matanya terpaku pada celah sempit itu, berharap bayangan Kevin kembali muncul, menepis mimpi buruk ini. Namun yang ada hanyalah keheningan memburu, ditemani derit samar, seolah rumah tua itu sedang menyeringai puas.

“Kevin!” Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia melangkah maju, tangannya terulur, seolah bisa meraih Kevin yang sudah tiada. Tapi belum juga kakinya menapak satu langkah, lantai di bawahnya bergetar. Bukan getaran biasa. Getaran itu merambat, seolah-olah sesuatu yang besar dan mengerikan sedang bergerak di bawah sana, di dalam perut bumi yang menjadi fondasi rumah ini. Aroma busuk yang tadi samar kini menyeruak, lebih pekat, lebih menjijikkan, memenuhi paru-paru Risa hingga mual.

Bayangan-bayangan hitam yang tadi melilit Kevin kini kembali. Bukan hanya dari celah lemari, melainkan dari setiap sudut ruangan. Dari bawah meja, dari balik tirai yang terkulai lemas, bahkan dari retakan dinding yang tak pernah ia sadari. Mereka merayap, bergerak seperti ular raksasa yang haus, dengan kecepatan mengerikan menuju Risa. Bukan lagi akar, melainkan tentakel-tentakel gelap yang hidup, mencari mangsa. Mata Risa melebar, liontin kunci di tangannya terasa membakar.

“Kau tidak akan lari,” bisikan berdesir itu kembali, kali ini terdengar lebih dekat, seolah napas busuknya menerpa tengkuk Risa. “Kunci itu... akan kembali padaku. Dan kau... akan menjadi gerbangnya.”

Risa tersentak. Gerbang. Bukan sekadar kunci, tapi gerbang. Ibunya bukan hanya mengunci kekuatan itu, tapi juga mengunci gerbang dimensi lain, dimensi yang coba dibuka oleh entitas ini. Dan Risa adalah kuncinya. Kunci yang, jika salah digunakan, akan membuka malapetaka yang tak terbayangkan.

Ia berbalik, instingnya menjerit untuk lari. Otaknya bekerja cepat, memetakan jalan keluar. Pintu! Pintu kamar itu adalah satu-satunya harapan. Tapi bayangan-bayangan itu sudah lebih cepat. Mereka membentuk dinding gelap, menghalangi jalannya. Risa terpojok. Di depannya, bayangan-bayangan itu memadat, membentuk siluet raksasa yang tidak jelas, tetapi kehadirannya terasa begitu menekan, begitu dingin, seolah-olah udara di sekitar Risa tersedot habis.

“Tidak!” Risa berteriak, entah pada siapa. Pada entitas itu, pada takdirnya, atau pada dirinya sendiri yang kini sendirian. Ia tahu, berdiam diri berarti menyerah. Ia harus berjuang. Demi Kevin, demi ibunya, demi dirinya sendiri.

Kakinya menendang. Bukan ke arah bayangan, tapi ke arah meja kayu jati tua di dekatnya. Meja itu berat, tapi dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Risa mendorongnya. Meja itu bergeser, membentur bayangan-bayangan gelap yang menghalangi. Untuk sesaat, bayangan itu buyar, menciptakan celah kecil. Itu cukup.

Tanpa berpikir dua kali, Risa menerobos celah itu, melesat menuju pintu. Tangannya gemetar saat meraih kenop pintu yang dingin. Putar. Dorong. Terbuka. Ia berlari keluar, tak peduli ke mana arahnya, yang penting menjauh dari ruangan terkutuk itu. Setiap langkahnya terasa seperti melarikan diri dari neraka.

Koridor gelap menyambutnya. Aroma busuk itu masih mengikutinya, tapi tidak sepekat di dalam kamar. Risa tidak melihat bayangan hitam, namun ia bisa merasakan kehadiran entitas itu, mengawasinya dari setiap celah, setiap bayangan. Rumah itu memang hidup. Dan kini, ia menjadi sarang iblis.

Ia memutar pandangan. Lorong itu terasa lebih panjang dari biasanya, setiap bingkai foto keluarga yang tergantung di dinding seolah menyeringai padanya. Cahaya rembulan yang masuk dari jendela utama di ujung koridor tampak menipu, tidak memberikan kehangatan, justru menciptakan bayangan-bayangan bergerak yang menari-nari di dinding. Risa mempercepat larinya, jantungnya berdebar kencang, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya.

“Aku harus mencari Kevin!” pikirnya. Tapi ke mana? Entitas itu menyeret Kevin ke balik lemari, ke tempat yang tidak bisa ia bayangkan. Apakah Kevin masih hidup? Rasa takut itu menusuk, tapi diikuti oleh tekad baja. Ia tidak akan menyerah. Kevin telah menjadi pelindungnya, kini giliran Risa untuk berjuang demi dirinya.

Ia berlari menuruni tangga utama, kakinya nyaris tersandung di setiap anak tangga yang berderit. Ruang tamu. Cermin besar itu. Cermin yang selalu membuatnya merasa diawasi. Cermin yang menyimpan rahasia. Risa melirik ke sana, dan untuk sepersekian detik, ia melihat pantulan dirinya yang pucat pasi, namun di belakangnya, samar-samar terlihat siluet seorang wanita berambut panjang, dengan mata kosong yang menatapnya penuh duka. Ibu?

Risa menghentikan langkahnya, napasnya tercekat. Ia menoleh cepat ke arah cermin, tapi pantulan itu sudah lenyap. Hanya ada dirinya, sendirian, di tengah ruang tamu yang gelap gulita. Apakah itu hanya ilusinya? Atau ibunya mencoba memberi petunjuk? Peringatan?

“Risa...” bisikan itu kembali, lebih pelan, lebih memohon, tapi masih dingin dan menyeramkan. Kali ini, seolah berasal dari cermin itu sendiri. “Jauhkan kunci itu... darinya...”

Liontin kunci di tangannya terasa semakin panas, seolah membakar kulitnya. Risa menatap liontin itu, lalu ke arah cermin. Jika ibunya ingin dia menjauhkan kunci ini, berarti benda ini adalah sumber kekuatan, sekaligus target entitas itu. Entitas itu ingin Risa membukanya. Tapi ibunya ingin Risa melindunginya. Melindungi dari entitas itu.

Sebuah suara gemerisik di belakangnya membuat Risa tersentak. Ia berbalik, dan kali ini, ia melihatnya. Bukan bayangan, tapi sesuatu yang nyata. Dedaunan kering, ranting-ranting kecil, dan gumpalan tanah hitam pekat muncul dari bawah celah pintu utama, merayap masuk ke dalam rumah. Mereka bergerak dengan sendirinya, membentuk untaian-untaian kotor yang menjalar di lantai marmer, perlahan tapi pasti, menuju ke arahnya. Bau tanah basah bercampur busuk yang menyengat kini memenuhi ruang tamu.

Rumah ini bukan hanya hidup, ia juga memuntahkan isinya. Memuntahkan kekuatannya. Risa mundur perlahan, matanya nanar mengamati kumpulan ranting dan tanah yang bergerak itu. Mereka mulai membentuk gundukan, seperti bukit-bukit kecil yang tiba-tiba tumbuh di dalam rumah. Dan dari gundukan-gundukan itu, perlahan muncul serpihan kayu yang tajam, seperti gigi-gigi taring yang mengerikan.

Ia tahu ia harus keluar dari rumah ini. Sekarang juga. Tapi pintu depan sudah dihalangi. Jendela? Terlalu tinggi. Dapur? Ada pintu belakang. Tapi untuk sampai ke dapur, ia harus melewati ruang makan, dan di sana, kegelapan terasa paling pekat.

“Jangan lari,” suara itu kini terdengar seperti bisikan berantai, bergema dari dinding, dari langit-langit, dari lantai. “Kau tidak bisa lari dari takdirmu. Kau adalah gerbangnya.”

Risa menggertakkan giginya. Ia tidak akan menyerah. Ia tidak akan menjadi gerbang apa pun. Ia akan menyelamatkan Kevin. Ia akan mengungkap kebenaran. Ia akan mengakhiri semua ini. Kekuatan di dalam dirinya, yang selama ini hanya berupa firasat aneh dan kepekaan terhadap hal-hal gaib, kini terasa bergejolak, mendesak untuk keluar.

Ia memegang liontin kunci itu erat-erat. Panasnya terasa nyaman, seolah memberinya kekuatan. Risa berlari lagi, kali ini menuju ruang makan. Langkahnya cepat, namun hati-hati. Ia harus melewati rintangan-rintangan yang muncul dari dalam rumah itu. Ranting-ranting tajam yang tadi ia lihat kini menjulang tinggi, menghalangi jalannya, seolah-olah pepohonan tua di taman belakang kini tumbuh di dalam rumah, memperbudak rumah itu sendiri.

Ia melompat, melewati untaian ranting yang mencengkeram. Sesuatu yang dingin dan lengket menyentuh kakinya. Risa melirik ke bawah dan melihat cairan hitam pekat merembes dari lantai, membentuk genangan-genangan kecil. Cairan itu seperti oli, namun memiliki bau yang mengerikan, seperti darah basi bercampur tanah kuburan. Risa bergidik, namun terus berlari. Ia harus mencapai dapur.

Ruang makan itu gelap gulita. Hanya ada sedikit cahaya dari lampu jalan di luar yang menembus jendela, menciptakan siluet-siluet mengerikan dari perabotan. Meja makan yang panjang, kursi-kursi yang berbaris rapi, semuanya tampak seperti monster yang siap menerkam. Risa merasakan hawa dingin yang menusuk, lebih dingin dari sebelumnya. Udara di sekitarnya terasa menipis, seolah semua oksigen telah dihisap habis oleh kehadiran entitas itu.

Ia nyaris berhasil melewati ruang makan, dapur sudah di depan mata. Pintu belakang, harapan terakhirnya. Tapi saat ia akan melangkah ke ambang pintu dapur, sebuah bayangan hitam pekat melintas cepat di depannya, menghalangi jalan. Kali ini, bayangan itu tidak samar. Ia memiliki bentuk. Bentuk manusia. Tinggi, ramping, dengan rambut panjang terurai. Matanya menyala merah dalam kegelapan. Dan di tangannya, ada sesuatu yang berkilat.

Risa terkesiap. Sosok itu, siluetnya, sangat familiar. Tapi itu tidak mungkin. Itu tidak mungkin dia. Bukan ibunya. Namun, liontin di tangannya terasa semakin panas, seolah-olah ia berteriak. Entitas itu, dengan mata merah menyala, perlahan mengangkat tangannya. Di sana, di antara jemarinya yang pucat, tergenggam sebuah pisau dapur yang berkilat, tajam, dan... berlumuran darah.

“Kunci itu... akan kembali padaku,” suara berdesir itu kini terdengar sangat dekat, persis di depannya, dari sosok bermata merah itu. Sosok yang menyerupai ibunya. “Dan kau... akan membuka gerbangnya... selamanya.”

Risa mundur selangkah, napasnya tercekat. Pisau itu. Darah itu. Sosok itu. Kematian ibunya. Semua kenangan traumatis itu menyeruak, menghantamnya telak seperti gelombang pasang. Ingatannya tentang malam tragis itu, yang selama ini kabur, tiba-tiba menjadi jelas. Mata merah. Pisau. Dan tangan yang dingin itu...

Tidak. Ini tidak nyata. Ini adalah tipuan. Tipuan entitas itu untuk menghancurkan mentalnya. Untuk membuatnya menyerah. Tapi penglihatannya terlalu nyata, terlalu menyakitkan.

Ia merasakan ada sesuatu yang dingin dan berlendir melilit kakinya. Bayangan-bayangan hitam yang menjalar dari tanah busuk itu kini sudah mencapai ruang makan, mengelilinginya, membentuk lingkaran. Risa terperangkap. Di depannya, sosok bermata merah dengan pisau berlumuran darah. Di belakangnya, bayangan-bayangan yang siap menerkam. Liontin kunci di tangannya bergetar, panasnya semakin membakar. Kekuatan itu. Kekuatan yang diincar. Kekuatan yang harus ia lindungi. Tapi bagaimana?

Sosok itu melangkah maju, perlahan, seolah menikmati setiap detik ketakutan Risa. Pisau di tangannya terangkat tinggi, memantulkan cahaya rembulan yang samar, menciptakan kilatan mematikan.

“Sudah waktunya, Risa,” bisikan itu, kini terdengar seperti lolongan pilu, namun dengan nada kemenangan yang mengerikan. “Sudah waktunya untuk membuka gerbang...”

Risa menutup matanya, erat. Ia tidak bisa lari. Tidak ada jalan keluar. Ia sendirian. Dan di dalam kegelapan pikirannya, ia mendengar suara Kevin. Suara Kevin yang memanggil namanya, suara Kevin yang menyemangatinya. Tidak. Ia tidak sendirian. Ia tidak akan menyerah. Ibunya telah mengunci kekuatan ini. Dan Risa, dengan liontin di tangannya, adalah kuncinya. Kunci untuk mengunci, bukan membuka.

Dengan tekad membara yang tiba-tiba meluap, Risa membuka matanya. Matanya kini tidak lagi dipenuhi ketakutan, melainkan sebuah kilatan perlawanan yang aneh. Ia tidak akan menjadi gerbang. Ia akan menjadi penjaga. Penjaga kunci itu. Untuk ibunya. Untuk Kevin. Untuk dirinya.

Ia mengangkat liontin kunci di tangannya, menodongkannya ke arah sosok bermata merah itu, seolah liontin itu adalah perisai, atau mungkin, sebuah senjata. Dan saat itu terjadi, liontin itu tidak lagi terasa panas membakar. Melainkan berdenyut, memancarkan cahaya biru samar yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Cahaya itu bergetar, seolah hidup, dan perlahan, mulai menyebar, menyelimuti seluruh tubuh Risa. Sebuah kekuatan, kekuatan yang selama ini tersembunyi, kini mulai terbangun di dalam dirinya.

Sosok bermata merah itu terkesiap, langkahnya terhenti. Mata merahnya yang tadi penuh kemenangan kini menunjukkan sedikit gurat terkejut, bahkan, ketakutan. Bayangan-bayangan hitam yang mengelilingi Risa juga bergetar, seolah terganggu oleh cahaya biru samar itu. Risa merasakan sensasi aneh. Udara di sekitarnya terasa berbeda, lebih dingin, lebih tipis, tapi bukan karena kehadiran entitas itu. Melainkan karena kehadiran yang lain. Kehadiran ibunya?

Cahaya biru dari liontin itu semakin terang, menerangi seluruh ruang makan yang gelap. Sosok bermata merah itu mundur selangkah, pisau di tangannya terjatuh, menimbulkan suara dentingan keras di lantai. Ia tidak lagi melihat Risa dengan tatapan kemenangan, melainkan dengan tatapan horor yang murni. Ketakutan itu nyata. Sosok ini, entitas ini, takut pada sesuatu yang Risa miliki. Sesuatu yang kini terbangun.

“Tidak...” bisikan berdesir itu kini terdengar seperti rengekan, penuh keputusasaan. “Kau... tidak boleh...”

Tapi terlambat. Cahaya biru itu sudah sepenuhnya menyelimuti Risa, membentuk perisai tembus pandang yang berdenyut. Kekuatan itu bukan hanya untuk mengunci, tapi juga untuk melindungi. Dan Risa, kini berdiri di tengah badai horor itu, bukan lagi sebagai korban, melainkan sebagai...

“Risa!” Sebuah suara lain, suara yang dikenalnya, suara yang ia rindukan, tiba-tiba memecah keheningan. Bukan dari dalam rumah, melainkan dari luar. Suara itu terdengar panik, khawatir, seolah-olah ia sedang mencari Risa. Itu suara Bibi Lastri.

Cahaya biru di sekitar Risa meredup sejenak, terganggu oleh suara asing itu. Sosok bermata merah itu memanfaatkan kesempatan. Dengan kecepatan kilat, ia menghilang, lenyap ditelan kegelapan ruang makan. Bayangan-bayangan hitam yang tadi mengepung Risa juga menyusut, merayap kembali ke celah-celah lantai, seolah-olah mereka tidak pernah ada.

Ruang makan kembali gelap, sunyi, hanya menyisakan bau busuk dan ranting-ranting yang tadi muncul. Risa berdiri terpaku, cahaya biru dari liontinnya kini hanya berdenyut samar. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kekuatan itu... telah terbangun. Dan Bibi Lastri, wali yang selama ini tampak baik hati, kini tiba-tiba muncul. Suaranya terdengar semakin dekat, seolah ia baru saja memasuki rumah.

Ada apa ini? Apakah Bibi Lastri benar-benar datang untuk menyelamatkannya? Atau justru... kedatangannya adalah bagian dari rencana yang lebih besar? Pertanyaan itu berputar di benak Risa, menciptakan gelombang kecurigaan yang lebih besar dari sebelumnya. Ia tidak bisa memercayai siapa pun lagi. Terutama, Bibi Lastri. Terutama, setelah melihat mata merah dan pisau berlumuran darah itu.

Bibi Lastri. Sosok bermata merah. Hubungan apa yang tersembunyi di balik semua ini? Dan di mana Kevin? Risa mengepalkan tangannya, liontin itu terasa dingin di telapak tangannya. Perjuangannya baru saja dimulai. Dan bahaya yang sesungguhnya, mungkin baru saja akan terungkap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!