Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Pagi yang tenang di rumah mewah itu. Tania sudah sibuk di dapur sejak subuh, menyiapkan sarapan. Aroma roti panggang dan kopi menguar, mengisi udara, menciptakan ilusi rumah tangga yang normal dan damai. Tania bergerak dengan cekatan, senyum kecil tersungging di bibirnya—senyum yang menyimpan seribu rahasia dan rencana yang matang.
Dika dan Farah menuruni tangga bersamaan, ada sedikit kecanggungan yang tersisa dari malam tadi. Dika menyapanya dengan senyum sok akrab, sementara Farah melirik Tania dengan tatapan penuh tanya dan sedikit kesal. Ibu Dika sudah duduk di meja makan, wajahnya masih terlihat murung dan gelisah.
"Selamat pagi, Mas, Farah," sapa Tania ramah, menata piring-piring di meja.
"Pagi, Tania," balas Dika, mengambil tempat duduknya.
"Wah, Mas, Farah, semalam tidurnya nyenyak ya? Sampai pagi, nggak kedengeran suara apa-apa," ujar Tania, nadanya polos, seolah tidak tahu apa-apa.
Wajah Dika dan Farah sedikit memerah, saling berpandangan. Ibu Dika semakin menunduk, menghindari tatapan mata mereka.
"N-nyenyak kok, Kak Tania. Kamarnya nyaman," jawab Farah, tergagap.
"Oh bagus deh, aku senang mendengarnya," balas Tania. "Ayo sarapan, keburu dingin rotinya."
Mereka pun makan dalam keheningan yang canggung, hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu. Tania makan dengan tenang, mengamati interaksi antara Dika dan Farah.
Beberapa jam kemudian. Dika sudah berangkat kerja, dan Farah sedang santai di kamar tamu. Tania mengunci diri di ruang kerjanya. Ruangan itu kini menjadi kantor pribadinya. Dia memastikan semua alat pengawas aktif dan tidak ada yang mengganggu.
Tania duduk di depan laptopnya, napasnya tenang, siap menjalankan peran barunya sebagai "Ratu Desain". Dia melakukan video conference rahasia dengan Rei. Hubungan mereka murni bisnis. Tania menyalakan kamera, tapi Rei memilih untuk tidak menyalakannya, hanya foto profilnya yang muncul di layar.
"Selamat siang, Pak Rei," sapa Tania profesional.
"Selamat siang, Bu Tania," balas suara Rei dari speaker laptop, nadanya datar dan formal. "Kami sudah meninjau draf desain Anda. Sangat impresif. Kami siap melanjutkan ke tahap produksi massal."
Tania tersenyum puas. "Terima kasih, Pak Rei. Kerahasiaan identitas saya tetap terjamin, kan?"
"Tentu saja," jawab Rei. "Sesuai kesepakatan kontrak. Kami akan menjaga kerahasiaan Anda dengan ketat."
"Bagus. Saya akan mengirimkan revisi terakhir sore ini," ujar Tania.
"Kami tunggu, Bu Tania. Selamat bekerja," tutup Rei, memutus panggilan.
Di ruang kerjanya, Tania tersenyum tipis. Dunia luar tidak tahu, Dika tidak tahu, bahwa wanita rumahan yang mereka remehkan ini diam-diam sedang membangun kerajaan baru yang akan menjadi kehancuran mereka. Tania membuka dokumen-dokumen di laptopnya, siap menjalankan pekerjaannya dengan fokus dan tekad baru.
...----------------...
Panggilan video conference terputus. Di kantornya yang megah dan minimalis, Rei bersandar di kursi kebesarannya. Fotonya sebagai profil di laptop masih terpampang, tapi kini wajah aslinya menunjukkan ekspresi yang jauh dari kata datar. Ada kerinduan yang mendalam dan kekhawatiran yang samar di matanya.
Dia menekan interkom di mejanya. "Rend, masuk."
Beberapa detik kemudian, Renfi, asisten pribadinya, muncul dengan buku catatan di tangan.
"Ya, Pak Dion?"
"Bagaimana hasil investigasi soal Bu Tania? Apa yang terjadi padanya?" tanya Rei, nadanya kembali datar dan profesional, tapi ada urgensi yang tidak biasa di balik kata-katanya. "Sudah beberapa hari sejak saya minta."
Rendi terlihat sedikit tegang. "Mohon maaf, Pak, saya belum mendapatkan informasi yang banyak. Bu Tania menjaga privasinya dengan sangat rapat."
Dion mengernyitkan dahi.
"Minimalisir alasan. Saya mau fakta."
"Saya mengerti, Pak. Beri saya waktu sedikit lagi," mohon Rendi.
"Saya pastikan akan memberikan hasil yang memuaskan dan lengkap."
Rei mengangguk sekali. "Baik. Kembali bekerja."
Rendi mengangguk hormat dan segera keluar dari ruangan itu, meninggalkan Rei sendirian dengan pikirannya.
Selepas kepergian asistennya, keheningan menyelimuti ruangan Rei. Dia menatap layar laptopnya yang kini menampilkan desktop biasa. Pikirannya melayang kembali pada pertemuan mereka tempo hari, saat Tania datang ke kantornya untuk menandatangani kontrak. Tania yang dulu ceria kini terlihat tenang, namun matanya menyimpan kesedihan yang mendalam, meskipun dia berusaha keras menyembunyikannya.
Rei yakin ada sesuatu yang terjadi kepada Tania, sesuatu yang buruk di balik topeng ketenangan itu. Ingin sekali Rei melindungi Tania, menjaganya dari rasa sakit, tapi bagaimana caranya? Tania bahkan tidak mengenalinya, tidak tahu bahwa pria dingin di balik meja CEO itu adalah teman masa lalunya yang dulu diam-diam mencintainya.
Rei menghela napas berat, menatap pemandangan kota Jakarta dari balik jendela kacanya yang tinggi. Aku akan melindungi mu, Tania, janjinya dalam hati, meskipun kamu tidak tahu siapa aku.
...----------------...
Rendi melangkah keluar dari ruangan Rei, menutup pintu di belakangnya dengan tenang. Namun, begitu pintu tertutup, bahunya langsung merosot. Dia menghela napas, pandangannya penuh keheranan.
Dia berjalan menyusuri koridor, kembali ke bilik kerjanya. Pikirannya dipenuhi oleh permintaan aneh bosnya barusan. Ini bukan kali pertama Rei memintanya menyelidiki latar belakang Bu Tania, desainer misterius itu.
Dulu, Rei adalah sosok CEO yang dingin, efisien, dan hanya peduli pada angka-angka dan keuntungan perusahaan. Dia tidak pernah, tidak pernah, peduli pada hal-hal sepele seperti perasaan orang lain atau masalah pribadi karyawan. Rendi telah berteman bahkan bersahabat dengan Rei selama bertahun-tahun dan tahu betul tabiat sahabatnya tersebut.
Rendi duduk di kursinya, menyalakan komputer, tapi fokusnya buyar. Dia membuka file investigasinya di laptop. Foto Tania terlukis di layar, di samping informasi singkat yang berhasil ia kumpulkan: Tania sudah menikah selama tujuh tahun.
Dulu, Rei adalah sosok CEO yang dingin, efisien, dan hanya peduli pada angka-angka dan keuntungan perusahaan. Dia tidak pernah peduli pada hal-hal pribadi. Semua ini tidak seperti Rei yang ia kenal.
Rendi mematikan monitornya, bersandar di kursi dan menatap langit-langit.
"Rei, Rei," gumam Rendi, "sekalinya kamu peduli malah sama istri orang. Benar-benar aneh."
Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. "Orang pendiam memang seleranya di luar nalar."
Rasa penasarannya kini bercampur dengan kekhawatiran baru. Dia tahu ada kisah yang lebih besar di balik permintaan Rei.
Apa yang akan dilakukan Rendi dengan fakta bahwa bosnya jatuh cinta pada istri orang? Dan rahasia apa lagi yang akan terungkap dari masa lalu mereka?
Bersambung...