Amel Fira Azzahra gadis kecil yang memiliki wajah sangat cantik, mempunyai lesuk pipi, yang di penuhi dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Namun sayang kebahagian itu tidak berlangsung lama. Setelah meninggalnya Ibu tercinta, Amel tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Bapaknya selalu bekerja di luar kota. Sedangkan Amel di titipkan ke pada Kakak dari Bapaknya Amel. Tidak hanya itu, setelah dewasa pun Amel tetap menderita. Amel di khianati oleh tunangannya dan di tinggal begitu saja. Akankah Amel bisa mendapatkan kebahagiaan?
Yukk ikuti terus ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aretha_Linsey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 Kesetiaan Dan Harga Perlindungan
Amel nyaris tidak tidur. Kepalanya terasa berat memikirkan pesan Udin:
"Aku tahu kamu bertemu Agus, Rizal, Arif, dan Jalil... Kita perlu bicara tentang kesetiaan. "
la memandang pesan itu berulang kali, mencari nada ancaman, namun yang ia temukan adalah kepastian yang menakutkan. Udin tahu segalanya, tetapi ia menyampaikannya dengan nada yang
menuntut klarifikasi, bukan pembalasan dendam. Ini adalah kontrol psikologis, bukan teror.
la membuang kartu SIM lama, mengambil kartu baru untuk ponsel olshop-nya. Keputusan sudah bulat: ia harus menghadapi Udin, tetapi tidak
sendirian. la segera menghubungi Agus, meminta bertemu di bawah pohon mangga sebelum jam masuk sekolah.
"Dia tahu, Gus. Dia tahu nama kalian semua, " bisilk Amel, menunjukkan pesan itu. Wajah Agus menegang, tetapi alih-alih panik, ia berpikir.
"Dia pasti melihat kita dari jauh, Mel. Atau ada yang melihat. Tapi perhatikan, dia tidak marah, dia hanya minta bicara. Itu artinya dia masih menganggap dia 'menyayangimu' dan ingin kamu'mengerti!-
"Dia ingin aku bicara tentang kesetiaan, " kata Amel."Aku tidak mau pergi sendirian." Agus mengangguk. Tatapannya tegas, menunjukkan bahwa rasa sayangnya yang terpendam telah memberinya keberanian.
"Kita temui dia, tapi bukan di tempat yang dia mau. Kita temui dia di tempat yang ramai.Setelah sekolah. Rizal, Arif, dan Jalil akan ikut, tapi mereka akan menunggu agak jauh, melihat dari warung sebelah. Kita tunjukkan bahwa kamu punya
dukungan, tapi tanpa konfrontasi bodoh".
Amel merasa sedikit lega. la tahu risiko membawa teman-temannya, tetapi ketulusan Agus memberinya pijakan yang kuat.
Siang itu, Amel menghadapi konflik yang jauh lebih nyata dari ancaman Udin-konflik di rumah.
Saat istirahat, Amel buru-buru pulang. la ingin membereskan beberapa paket olshop agar bisa segera diantar. la melihat UIfiana sedang duduk di teras, wajahnya masam.
"Dari mana kau, Mel? Cepat bereskan kamar! Itu tumpukan paket mengganggu pemandangan!" bentak UIfiana.
"Aku baru pulang sekolah, Bak Aku akan bereskan, " jawab Amel, berusaha sabar.
"Tidak ada nanti! Aku sudah muak! Kau kira aku tidak tahu? Semalam ada tetangga sebelah cerita, ada pria dewasa yang sering mengawasimu. Kau sudah besar, Mel. Kau hanya akan membawa aib ke rumah ini! Aku sudah bicara pada Bibi, dan dia setuju. Hari ini, kau pindah. Bawa semua
barangmu. Kami tidak mau menampung remaja yang jadi buah bibir desa. Kau bisa cari kamar kos, pakai uang hasil jual-jualanmu itu! Lagipula,
anakmu itu (Alan) berisik sekali!"
Hati Amel hancur berkeping-keping. Bukan hanya diusir, tetapi diusir dengan alasan yang menyakitkan. Ini adalah puncak dari derita yang ia
rasakan setelah Ibunya tiada. Ulfiana telah mengambil peran Ibu Tiri dalam dongeng, menggunakan gosip desa dan kebutuhan Udin untuk mengusirnya.
Amel berjalan terhuyung, air mata mengalir deras. la kembali ke kamar
mulai mengemas pakaiannya, Alan, dan foto-foto Ibunya. la harus pergi, dan ia hanya punya waktu beberapa jam sebelum malam tiba.
Tepat pukul 15.00, Amel, ditemani Agus, menuju warung makan sederhana. Di dekat pasar desa tempat yang ramai dengan lalu lalang orang. Rizal, Arif, dan Jalil duduk di seberang jalan, berpura-pura menikmati es kelapa. Tidak lama, Udin datang. la mengenakan kemeja rapi, rambutnya tersisir licin. la terlihat tenang dan dewasa, bukan preman.
Udin melihat Agus dan menghela napas, sama sekali tidak marah.
"Amel kamu datang. Kenapa kamu bawa dia? Aku pikir kita perlu bicara empat mata, bukan begini, " kata Udin, nada suaranya lebih ke kecewa daripada mengancam.
"Aqus adalah sahabatku. Aku memintanya datang, Din, " jawab Amel, tangannya sedikit gemetar.
Udin mengangguk, menerima kehadiran Agus.la fokus menatap Amel, dengan sorot mata yang tulus namun intens.
"Aku minta maaf ika pesanku membuatmu takut. Aku hanya terkejut. Aku melihatmu diantar pulang oleh teman-temanmu, dan aku tahu kamu tidak mempercayaiku. Aku hanya ingin kamu tahu, Amel, bahwa aku peduli. Peduli yang tulus."
Udin menarik napas dalam-dalam.
"Aku tahu kamu diusir hari ini, ". katanya pelan
Amel terkejut.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Aku kuli bangunan, Mel. Aku sering bolak-balik desa ini. Aku punya teman di mana-mana. Aku dengar dari istri Pak RT saat aku membeli rokok tadi pagi. Aku tahu Ulfiana selalu memperlakukanmu buruk. Dan aku tahu kamu tidak punya tempat lagi untuk Alan."
Mendengar Udin tahu penderitaannya, hati Amel terasa teriris. Udin tidak menggunakannya sebagai senjata, melainkan sebuah fakta untuk menawarkan solusi.
"Amel, ". lanjut Udin, suaranya melembut
"Aku tahu kamu keras kepala. Aku tahu kamu mau cari uang sendiri. Tapi kamu masih sekolah. Aku sudah bilang, aku tidak mau kamu menderita. Aku mencintaimu, bukan cinta anak muda, tapi cinta pria dewasa yang ingin menenangkan hidup wanita yang ia kagumi. Aku sudah mengagumimu sejak lama, Mel. Sejak kamu mulai jualan olshop untuk menghidupi adikmu. Kamu hebat, tapi kamu terlalu lelah."
Udin mengeluarkan amplop cokelat tebal dari saku jaketnya, bukan diletakkan di meja, melainkan dipegang erat.
"Di sini ada uang untuk sewa kontrakan dua kamar, selama enam bulan.Kamu bisa bawa Alan, hidup tenang, dan fokus sekolah. Aku tidak minta kamu berhenti jualan. Aku hanya minta kamu mengurangi bebanmu. Dan sebagai gantinya, aku hanya minta satu hal. Kesetiaan. Aku ingin kamu
percaya padaku, Amel. Jangan dengarkan teman-temanmu, jangan dengarkan orang desa. Kamu hanya perlu setia padaku, sebagai orang
yang ingin melindungimu. Jangan berhubungan dengan pria lain. Aku akan menjagamu dari jauh, aku janji. Tapi kamu harus bersumpah untuk tidak
meninggalkanku."
Perkataan Udin, alih-alih menakutkan, justru membuat Amel tertekan secara emosional. la tidak diancam, ia ditawarkan kehidupan yang lebih
baik dengan harga yang ia tahu akan sangat mahal: kebebasan dirinya.
Agus berbisik di samping Amel,
"Jangan terima, Mel. Itu jebakan." Amel menatap amplop itu, lalu menatap Alan dalam pikirannya. Alan perlu tempat tidur, Alan butuh makanan. Amel hanya punya beberapa jam sebelum Ulfiana mengunci pintu.
"Aku menghargai ketulusanmu, Din. Tapi aku tidak bisa menerima uang itu, " kata Amel, suaranya serak.
"Aku tidak bisa menjual kebebasanku. Aku akan mencari kontrakan kecil sendiri. Aku akan keria lebih keras."
Kekecewaan yang nyata muncul di mata Udin. la tidak marah, hanya sedih.
"Kamu memilih menderita, Amel. Padahal aku di sini menawarimu jalan keluar dari penderitaan itu. Kamu masih terlalu muda untuk mengerti. Kamu pikir temanmu itu bisa memberimu rumah? Tidak, Amel. Mereka hanya memberimu nasihat kosong."
Udin meletakkan amplop itu pelan di meja.
"Aku tidak akan mengambilnya kembali sekarang. Pikirkan baik-baik. Kamu punya waktu sampai matahari terbenam. Aku akan menaruh amplop ini di kotak surat dekat pos ronda. Kalau kamu mau, ambil saja. Kalau tidak, itu pilihanmu. Tapi ingat, setiap kesulitan yang kamu alami, adalah harga dari penolakanmu ini."
Udin berdiri, menatap Amel sekali lagi dengan tatapan penuh cinta yang terobsesi itu.
"Aku akan pergi ke Jakarta besok subuh. Tapi aku akan selalu tahu kabarmu. Aku mencintaimu, Mel. Jangan tinggalkan aku." Udin pergi meninggalkan amplop itu di meja.
Amel menatap amplop itu. la tahu itu adalah penyelamat Alan. Tapi itu juga adalah rantai yang akan mengikatnya pada pria dewasa yang obsesif.
Agus mengambil amplop itu.
"Kita nggak butuh ini. Kita akan cari kos kosan malam ini. Kita kumpulkan uang kita. Kita bantu kamu."
Mereka bergegas kembali ke rumah Ulfiana. Di teras, tumpukan barang Amel sudah lebih banyak. Ulfiana sudah mengunci pintu rumah dan pergi meninggalkan Alan yang menangis di tumpukan koper.
"Alan!" Amel segera memeluk adiknya.
Amel dan Agus dengan cepat memuat barang-barang Amel ke gerobak yang dipinjam dari Pak Bimo. Agus dan teman-temannya membantu mendorong gerobak itu menuju desa sebelah, mencari kontrakan kecil.
Saat Amel melewati pos ronda, ia menahan napas. Kotak surat itu sepi.
Udin menepati janjinya, tetapi ia menolak iming-iming itu.
Namun, saat mereka berbelok di tikungan, ponsel Amel bergetar.
Nomor Tidak Dikenal (Baru):
"Aku tahu kamu sudah pindah dari rumah UIfiana. Kos-kosan barumu pasti sempit. Aku titip salam untuk Alan. Aku akan kembali lebih cepat dari yang kamu duga. Selamat menjalani hidup baru tanpa Ibu, Amel."
Amel terhuyung, nyaris jatuh. Bagaimana Udin tahu dia sudah pindah, padahal baru lima belas menit berlalu?
Udin memang bukan pria jahat, dia hanya pria desa dewasa yang terobsesi. Dan obsesi itu kini telah berhasil membuat Amel sepenuhnya
terisolasi, tanpa perlindungan orang tua, dan kini dia tahu Amel tidak lagi punya tempat rahasia untuk bersembunyi. Perjuangan Amel untuk hidup
mandiri baru saja dimulai di bawah pengawasan kekasih gelapnya.