NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:112
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10: PENGAKUAN TANPA KATA

Jumat pagi, Laura bangun dengan kepala yang terasa seperti dipukul palu. Tubuhnya berat, tenggorokannya sakit, dan saat dia mencoba berdiri, dunia berputar.

Flu. Atau mungkin lebih parah—akibat dari kurang tidur, kurang makan, dan stress yang berlebihan selama seminggu terakhir.

Tapi Laura tidak punya waktu untuk sakit. Ada meeting penting dengan investor siang ini. Ada laporan yang harus diselesaikan. Ada—

Ponselnya berdering. Nia.

"Pagi, Lau. Kamu di kantor?" suara Nia ceria di seberang.

"Belum. Baru bangun." Suara Laura terdengar serak.

Hening sejenak. "Kamu sakit?"

"Tidak, aku—"

"Laura Christina, jangan bohong padaku. Aku kenal suaramu selama sepuluh tahun. Kamu sakit."

Laura mendesah, terlalu lelah untuk membantah. "Mungkin flu ringan. Aku akan minum obat dan—"

"Stay home. Istirahat. Aku akan telpon kantormu, bilang kamu sakit."

"Nia, tidak bisa. Aku ada meeting—"

"Meeting bisa di-reschedule. Kesehatan tidak bisa." Nada Nia tidak bisa dibantah. "Aku akan ke sana jam makan siang bawakan makanan dan obat. Jangan kemana-mana."

Sambungan terputus sebelum Laura bisa protes.

Laura mencoba bertahan—mencoba bersiap untuk tetap pergi ke kantor. Tapi saat dia mencoba berdiri, kepalanya begitu pusing sampai dia hampir jatuh. Akhirnya, dengan frustasi, dia kembali ke tempat tidur, mengirim email ke Pak Widodo bahwa dia sakit dan harus izin hari ini.

Sisa pagi dihabiskan dengan tidur yang tidak nyenyak—mimpi-mimpi aneh tentang Julian, tentang Maudy, tentang CCTV yang rusak dan dokumen-dokumen yang hilang.

Siang hari, ketukan di pintu membangunkan Laura. Nia, seperti yang dijanjikan, datang dengan tas berisi sup, obat-obatan, dan buah-buahan.

"Kamu kelihatan mengerikan," komentar Nia begitu melihat Laura. "Sudah berapa lama kamu tidak tidur dan makan dengan benar?"

"Aku tidak tahu," jawab Laura lemah. "Seminggu? Mungkin lebih."

Nia mendesah panjang, duduk di samping tempat tidur, dan menyuapi Laura sup dengan paksa. "Ini karena proyek itu? Atau karena... dia?"

Laura tidak perlu bertanya siapa yang Nia maksud.

"Keduanya," jawab Laura pelan. "Aku tidak bisa berhenti bekerja karena kalau aku berhenti, aku akan berpikir tentang dia. Dan itu... itu terlalu sakit, Ni."

Nia memeluk sahabatnya dengan erat. "Lau, kamu tidak bisa seperti ini terus. Kamu akan sakit sungguhan. Dan untuk apa? Untuk pria yang tidak bisa melihat apa yang ada di depan matanya?"

Laura tidak menjawab. Karena Nia benar. Tapi mengetahui sesuatu itu benar dan bisa berubah adalah dua hal yang berbeda.

Setelah memastikan Laura makan obat dan sup, Nia harus kembali ke kantor untuk meeting sore. "Aku akan kembali malam nanti, check on you," ujarnya sebelum pergi. "Promise me you'll rest."

"I promise."

Laura menghabiskan sisa sore dengan tidur. Tidur yang lebih nyenyak kali ini—obat bekerja dengan baik.

Tapi dia terbangun saat sore menjelang malam oleh ketukan di pintu. Laura mengira itu Nia yang kembali lebih cepat.

Dengan langkah sempoyongan, dia membuka pintu.

Dan membeku.

Julian berdiri di depan pintu, dengan kemeja kerja yang sedikit kusut, lengan digulung, dan ekspresi khawatir di wajahnya.

"Pak Julian?" Laura tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kenapa... kenapa Anda di sini?"

"Anda tidak datang ke kantor hari ini," ujar Julian, matanya menyapu wajah Laura dengan kekhawatiran yang jelas. "Tidak ada yang tahu kenapa. Email Anda hanya bilang sakit tanpa detail. Saya... saya khawatir."

Laura merasa kepalanya berputar—tidak tahu apakah karena demam atau karena shock melihat Julian di depan pintunya.

"Saya baik-baik saja," ujarnya lemah. "Hanya flu. Tidak perlu repot datang—"

"Laura, Anda pucat sekali." Julian melangkah maju, secara instinctif menyangga Laura saat wanita itu sedikit terlihat goyah. "Sudah makan obat?"

Sentuhan tangannya di lengan Laura terasa hangat—terlalu hangat—membuat Laura ingin menangis.

"Sudah. Nia tadi datang, membawakan sup dan obat."

"Boleh saya masuk?" tanya Julian. "Saya ingin pastikan Anda benar-benar okay."

Laura seharusnya menolak. Seharusnya mengatakan dia baik-baik saja dan tidak perlu bantuan. Tapi dia terlalu lelah, terlalu sakit, terlalu emosional untuk bertahan.

Dia mengangguk, mundur untuk memberi Julian ruang masuk.

Julian masuk ke apartemen Laura—apartemen kecil tapi nyaman dengan dekorasi minimalis. Matanya menyapu ruangan dengan cepat—menganalisis, memperhatikan detail. Lalu dia menoleh ke Laura.

"Duduk," perintahnya lembut. "Saya akan buatkan teh."

"Pak Julian, tidak perlu—"

"Laura." Cara Julian mengucapkan namanya—tanpa embel-embel Miss, dengan nada yang lebih personal—membuat Laura terdiam. "Please. Biarkan saya membantu."

Laura duduk di sofa, menatap Julian yang bergerak di dapurnya dengan canggung—pria ini jelas tidak terbiasa di dapur. Tapi dia mencoba, membuka-buka kabinet mencari teh, mengisi ketel air, mencari cangkir.

Ada sesuatu yang surreal tentang moment ini. Julian Mahardika—CEO perusahaan keamanan, mantan tentara, pria yang selalu dalam kontrol—sedang berusaha membuat teh di dapur apartemennya.

Beberapa menit kemudian, Julian membawa cangkir teh hangat dan duduk di sofa seberang Laura.

"Minum," ujarnya, menyerahkan cangkir. "Dan ceritakan apa yang sebenarnya terjadi."

"Apa maksud Anda?"

"Anda sakit karena overworking, bukan?" Julian menatapnya dengan tajam. "Felix cerita dia melihat Anda masih di kantor jam sebelas malam. Dan dari report yang saya terima, Anda hampir tidak pernah pulang sebelum jam sepuluh seminggu ini."

Laura menghindari tatapannya, menyesap teh perlahan. "Proyek ini penting. Ada sabotase. Saya harus—"

"Anda harus jaga kesehatan Anda juga," potong Julian, suaranya lebih keras sekarang. "Apa gunanya menyelesaikan proyek kalau Anda kolaps di tengah jalan?"

"Saya tidak akan kolaps—"

"Laura, lihat diri Anda!" Julian berdiri, frustasi terlihat jelas di wajahnya. "Anda pucat, Anda kurus—kapan terakhir kali Anda makan dengan benar? Tidur lebih dari empat jam? Ini... ini tidak sehat!"

Laura merasakan matanya panas. "Kenapa Anda peduli?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja—tanpa filter, dipenuhi emosi yang sudah dia tahan berhari-hari.

Julian terdiam, menatapnya dengan ekspresi terkejut.

"Kenapa Anda peduli, Pak Julian?" ulang Laura, suaranya bergetar. "Kenapa Anda datang ke sini? Kenapa Anda khawatir? Kita hanya partner bisnis. Anda tidak perlu—"

"Karena saya tidak tahu bagaimana tidak peduli!" Julian memotong, suaranya keras, frustasi. "Karena setiap kali saya melihat Anda bekerja terlalu keras, setiap kali saya melihat Anda memaksakan diri, ada sesuatu di sini—" dia menunjuk dadanya sendiri "—yang tidak bisa diam saja!"

Hening. Laura tidak bisa bernapas, tidak bisa berpikir.

Julian menarik napas panjang, duduk kembali, tapi kali ini di sofa yang sama dengan Laura—lebih dekat.

"Saya tidak mengerti apa yang terjadi," ujarnya lebih pelan sekarang. "Tapi ada sesuatu tentang Anda... sesuatu yang membuat saya tidak bisa berhenti memikirkan Anda. Sesuatu yang membuat saya khawatir saat Anda tidak muncul di kantor. Sesuatu yang membuat saya... datang ke sini meski saya tahu ini melanggar batas profesional kita."

Laura merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. "Jangan," bisiknya. "Jangan katakan hal-hal seperti itu kalau Anda tidak sungguh-sungguh."

"Siapa bilang saya tidak sungguh-sungguh?"

"Karena Anda punya Maudy," jawab Laura, suaranya pecah. "Karena mantan kekasih Anda baru kembali dan Anda... Anda bilang butuh waktu untuk memikirkannya. Itu artinya Anda masih punya perasaan untuknya."

Julian menatapnya dengan ekspresi shock. "Anda... Anda tahu tentang Maudy?"

"Saya mendengar percakapan Anda malam itu. Di kantor Anda. Saya tidak sengaja—"

"Laura..." Julian menggelengkan kepala, tangannya bergerak seolah ingin menyentuh Laura tapi ragu. "Maudy adalah masa lalu. Ya, dia kembali. Ya, dia minta kesempatan kedua. Tapi itu tidak berarti—"

"Anda bilang butuh waktu," potong Laura. "Anda tidak menolaknya."

"Karena saya bingung!" Julian berdiri lagi, tangannya menarik rambutnya dengan frustasi. "Karena lima tahun saya hidup dengan kemarahan pada Maudy karena meninggalkan saya. Dan tiba-tiba dia kembali, minta maaf, dan otak saya bilang ini kesempatan untuk closure. Tapi hati saya..." dia berhenti, menatap Laura dengan tatapan yang membuat napas Laura tercekat. "Hati saya sudah mulai bergerak ke arah lain."

Laura tidak bisa bicara. Tidak berani berharap.

"Saya tidak tahu kapan itu dimulai," lanjut Julian, suaranya lebih lembut. "Mungkin saat Anda menjelaskan proyek dengan passion yang jelas di mata Anda. Mungkin saat Anda bekerja lembur tanpa complain untuk menyelesaikan masalah. Mungkin saat Anda menatap saya dengan kepedulian yang genuine saat saya lelah. Saya tidak tahu. Yang saya tahu, tiba-tiba Anda ada di setiap pikiran saya. Dan itu... itu menakutkan."

"Kenapa menakutkan?" bisik Laura.

"Karena terakhir kali saya membiarkan seseorang masuk, dia pergi saat saya paling membutuhkannya," jawab Julian, suaranya penuh luka lama. "Karena saya tidak tahu apakah saya bisa percaya lagi. Apakah saya bisa... merasa lagi."

Laura berdiri, melangkah mendekati Julian meski tubuhnya masih lemah. "Saya tidak akan pergi," ujarnya dengan yakin. "Saya tidak seperti Maudy. Saya—"

Dia terhenti, menyadari dia hampir mengakui segalanya.

"Anda apa?" Julian menatapnya intens, melangkah lebih dekat. "Laura, selesaikan kalimat Anda."

Tapi Laura tidak bisa. Tidak sekarang. Tidak saat dia sakit, vulnerable, dan Julian berdiri terlalu dekat sampai dia bisa merasakan kehangatan tubuhnya.

"Saya... saya lelah," bisiknya. "Pak Julian, terima kasih sudah datang. Tapi saya perlu istirahat."

Dia melihat kekecewaan berkilat di mata Julian. Tapi pria itu mengangguk, mundur selangkah.

"Okay," ujarnya pelan. "Istirahat. Saya akan... saya akan pergi."

Julian berjalan ke pintu, tapi sebelum keluar, dia berbalik sekali lagi. "Laura?"

"Ya?"

"Jaga diri Anda. Please. Untuk saya."

Dan dengan itu, dia pergi, meninggalkan Laura berdiri sendirian di apartemennya dengan jantung yang berdebar kencang dan air mata yang tidak bisa berhenti mengalir.

Karena untuk pertama kali dalam sepuluh tahun, Julian melihatnya. Benar-benar melihatnya. Tidak sebagai partner bisnis. Tidak sebagai project leader. Tapi sebagai Laura—wanita yang entah bagaimana membuat Julian merasakan sesuatu lagi.

Tapi itu juga membuat segalanya lebih rumit. Karena sekarang Laura harus membuat pilihan: Mengakui perasaannya dan mengambil risiko, atau tetap diam dan membiarkan kesempatan ini berlalu.

Dan malam itu, sendirian di apartemennya, Laura menangis—untuk semua yang sudah terjadi, untuk semua yang mungkin terjadi, untuk ketakutan dan harapan yang bercampur menjadi satu di dadanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!