NovelToon NovelToon
Twelves Trials Of Fate (Myth Vs Human)

Twelves Trials Of Fate (Myth Vs Human)

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Akademi Sihir / Perperangan / Action / Mengubah sejarah / Iblis
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: See You Soon

Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.

Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.

Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.

Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,

“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertandingan Kedua : Naga Berkepala Dua vs Pemadam Kebakaran

Asisten pribadi sang presiden, Johan, menatap wajah pemimpinnya yang pucat di bawah cahaya arena. Suara gemuruh sayap naga di atas mereka membuat udara bergetar.

Dengan nada lembut namun mantap, ia berkata,

“Kita pasti bisa, Pak. Aku yakin itu.”

Presiden menoleh perlahan, matanya merah menahan putus asa.

“Tapi dia memanggil naga, Johan! Kau tahu sendiri—rudal-rudal kita tak mampu menembus sisiknya!”

Johan menarik napas panjang. Ada senyum kecil di wajahnya—bukan sombong, tapi percaya diri yang dingin.

“Aku tahu siapa yang bisa, Pak. Tapi izinkan aku memberi saran... Untuk panggungnya, biarkan aku yang bernegosiasi dengan Ancient dan Virgo.”

Presiden hanya mengangguk pasrah, menepuk bahu Johan dengan berat hati.

“Baiklah… urus semuanya. Semoga kau benar.”

Ruang Istirahat Kubu Mitologi – Setelah Pertarungan

Udara di ruangan itu terasa hangat dan beraroma dupa bunga peony.

Cahaya lembut dari batu kristal berwarna kuning keemasan menetes dari langit-langit, memantul di dinding-dinding berukir tulisan kuno yang melambangkan kekuatan dan umur panjang.

Huli Jing duduk di atas dipan batu giok yang diselimuti kain sutra merah tua.

Tubuhnya masih berbalut luka bakar halus dan goresan ringan di lengan, sisa duel sengit melawan Elaina Voss.

Meski sembilan ekornya tampak indah berkilau keperakan, gerakannya lesu — seperti bunga musim dingin yang belum siap mekar lagi.

Di sampingnya, seorang dwarf berwajah ramah sibuk mengusap luka dan kotoran di tubuh sang siluman rubah dengan ramuan herbal kental berwarna hijau tua.

Setiap usapan menimbulkan aroma hutan lembap dan tanah setelah hujan.

“Berhentilah mengerutkan kening, Nona Rubah,” gumam sang dwarf tanpa menatapnya. “Luka di tubuh bisa sembuh… tapi luka di dada hanya akan makin dalam kalau kau biarkan diam.”

Huli Jing tak menjawab.

Matanya menatap kosong ke permukaan air di kolam kecil di depannya.

Di sana, bayangan dirinya terpantul — cantik, berwibawa, namun tampak… rapuh.

“Aku seharusnya merasa puas,” katanya lirih. “Aku menang, bukan? Tapi kenapa… seperti ada ruang kosong di sini.”

Ia menepuk dadanya perlahan. “Seolah kemenangan itu… tidak pantas kumiliki.”

Sang dwarf berhenti mengusap, lalu menunduk sopan.

“Kau bertarung terlalu keras untuk alasan yang tak kau yakini, mungkin,” ujarnya pelan sebelum mundur, meninggalkan Huli Jing sendirian di ruangan beraroma dupa itu.

Beberapa detik keheningan berlalu.

Lalu dari balik tirai bambu, suara langkah ringan terdengar — tap, tap, tap — pelan tapi berwibawa.

Muncullah seekor Huli Jing tua, bulu putih keperakannya mengalir seperti salju yang disinari rembulan.

Matanya lembut, memancarkan kebijaksanaan yang lahir dari ratusan tahun pengembaraan.

“Aku mencarimu,” ujarnya pelan sambil berjalan mendekat.

“Kau bertarung dengan baik, anakku. Tapi wajahmu bukan wajah pemenang.”

Huli Jing muda menunduk, ekornya perlahan menyentuh lantai.

“Aku tak mengerti, Nenek Bai Zhen. Aku melakukan semua yang harus kulakukan. Aku menaklukkan manusia itu… tapi rasanya seperti aku menaklukkan diriku sendiri.”

Sang rubah tua tersenyum samar.

Ia duduk di sebelahnya turut menatap kolam yang memantulkan wajah dua generasi siluman rubah.

“Itulah beban kemenangan, Yue,” katanya lirih.

“Kadang, kemenangan bukan tentang siapa yang berdiri di akhir, tapi siapa yang tetap murni setelah semuanya selesai.”

Huli Jing muda menoleh, matanya bergetar.

“Murni…?”

“Ya,” jawab Bai Zhen lembut.

“Kau bukan makhluk buas yang hanya ingin menang. Kau diciptakan dari cahaya bulan dan kelicikan bumi — seimbang. Tapi bila kemenanganmu lahir dari amarah, maka cahaya itu akan pudar sedikit demi sedikit.”

Ruangan itu hening.

Suara dupa yang terbakar halus terdengar seperti napas panjang dari langit-langit.

“Lalu apa yang harus kulakukan, Nenek Bai Zhen?”

Sang Huli Jing tua menatapnya lama, lalu mengangkat tangannya dan menepuk pelan kepala sang rubah muda.

“Istirahatlah. Jangan pikirkan kemenangan atau kekalahan. Dengarkan bisikan ekormu sendiri.

Jika kau benar-benar ingin tahu siapa dirimu, jangan dengarkan tepuk tangan… dengarkan sunyi.”

Sang Huli Jing tua berjalan pergi perlahan, langkahnya nyaris tak terdengar.

Sementara Yue kembali menatap kolam yang kini bergoyang lembut, memantulkan bayangan dirinya yang mulai samar oleh air mata yang jatuh diam-diam.

“Sunyi…” gumamnya. “Mungkin memang di sanalah aku harus bertemu diriku yang sebenarnya.”

Setelah Bai Zhen meninggalkan ruangan, keheningan turun seperti kabut.

Hanya terdengar gemericik air dari kolam kecil di tengah ruangan, memantulkan cahaya lentera yang menari lembut di dinding batu.

Yue duduk bersimpuh, tatapannya kosong menembus bayangan dirinya di permukaan air.

Kata-kata sang tetua masih terngiang di telinganya — berat, berlapis makna, seolah setiap kalimat menyimpan teka-teki tentang takdir.

“Hingga kau memahami arti kehilangan, Yue… kau takkan mengenali makna sejati dari kekuatanmu.”

Yue menunduk lebih dalam, jemari mungilnya menyentuh permukaan air yang memantulkan sosoknya sendiri —

namun sesuatu tampak ganjil.

Air bergetar, memecah pantulan tubuhnya…

dan di sana, ia melihatnya: salah satu ekornya menghilang.

“Tidak… mustahil…” bisiknya parau.

Ia memutar tubuh, menghitung satu per satu dengan gemetar.

Satu… dua… tiga… hingga delapan.

Tak ada kesalahan — ekor kesembilannya benar-benar lenyap.

Yue menatap kosong ke arah dinding, rasa takut perlahan menyusup ke dalam hatinya.

Dalam kepercayaan rasnya, hilangnya satu ekor berarti hilangnya sebagian jiwa, atau tanda bahwa ia sedang kehilangan keseimbangan antara roh dan tubuh.

Entah karena pertarungan sebelumnya… atau karena hatinya sendiri yang retak.

Sebelum sempat ia menenangkan diri, monitor di ruangan menyala dengan suara mendesis halus.

Cahaya biru memancar, menampilkan adegan baru dari Colosseum Langit.

Dari layar itu, tampak sosok raksasa dengan dua kepala naga yang berdiri di tengah kobaran api dan badai debu.

Kedua kepala itu begitu kontras — satu menyalakan amarah, dengan mata merah membara dan gigi berderit;

sementara yang lain tampak tenang, bijak, dan penuh wibawa, seperti biksu naga yang telah melewati seribu zaman.

Mata Yue membulat.

“Shen Long…?” gumamnya lirih.

Warna wajahnya pucat seketika.

“Jadi… dia yang akan bertarung berikutnya? Tidak… manusia itu takkan punya kesempatan melawan dia…”

Ia berdiri cepat, kimononya berdesir mengikuti gerak tubuhnya yang panik.

Langkahnya tergesa menuju pintu, hendak keluar menuju balkon atas untuk melihat langsung pertarungan dari kejauhan.

Namun sebelum tangannya menyentuh pegangan pintu, suara itu datang.

Sebuah geraman berat, rendah namun mengguncang dinding —

getarannya seperti napas petir yang menembus batu dan udara.

Pintu di depannya bergetar keras, lentera di dinding padam satu per satu.

Yue terpaku.

Dada kecilnya naik turun cepat, ekor-ekornya yang tersisa berdiri tegak penuh kewaspadaan.

Ia tahu betul…

itu bukan suara naga biasa.

“Dia… sudah tiba…” bisiknya dengan ngeri.

Dari jauh, gema suaranya — raungan ganda Shen Long — mengguncang seluruh Colosseum Langit.

Bahkan para penonton di tribun pun merasakan tanah bergetar, dan langit tampak bergetar bersama dua napas besar yang bersatu dalam satu amarah purba.

Naga berkepala dua mendarat dengan keras, membuat tanah bergetar dan udara tersedot dari seluruh arena. Suara desisnya menggema panjang, bagai dua petir yang bersahutan di lembah neraka. Namun meski beringas, ia tetap menundukkan kedua kepalanya memberi hormat pada The Ancient One dan Virgo, sang pengadil.

Virgo, yang berdiri di tengah cahaya lembut, menatap presiden di kejauhan dengan sorot mata khawatir.

“Makhluk sebesar itu... dan manusia sekecil itu... bagaimana mereka akan melawannya? Atau lebih tepat, manusia macam apa yang mampu menandingi naga sekuat itu?” gumamnya lirih.

Tiba-tiba, langkah kaki Johan terdengar mendekat. Ia menghampiri Virgo dan Ancient One, membawa sebuah usulan di tangannya.

Ancient One terkekeh pelan, suaranya bergema di langit,

“Menarik. Baiklah, manusia kecil. Aku terima tantanganmu.”

Virgo hanya menatap sinis—antara kagum dan waspada—pada sikap congkak sang burung tua.

Dalam sekejap, arena berubah total. Lantai marmer itu berganti menjadi hamparan perkebunan hijau luas, dengan jalur setapak, sungai kecil yang berkelok di antara dedaunan, dan kabut lembut menggantung di udara.

Presiden, yang tadinya murung, mendadak menatap tajam ke arah bawah.

“Kebun itu… jangan-jangan—” ia berhenti, wajahnya menunjukkan secercah harapan.

Sementara itu, salah satu kepala naga menatap sekeliling dan tertawa nyaring.

“Pohon? Tanaman? Jadi manusia menyiapkan bahan bakar untuk membakar dirinya sendiri?”

Kubu mitologi tertawa terbahak-bahak mendengarnya, yakin bahwa manusia telah kehilangan akal sehat.

Namun di antara kubu manusia, terdengar bisikan dan tawa kecil penuh percaya diri.

“Sialan. Ini bahkan makanan sehari-hariku. Jadi begini wujud ladangnya?”

Tawa naga mendadak terhenti.

Suara sirene meraung tajam menembus udara. Dari kejauhan, sebuah mobil pemadam kebakaran melaju kencang, debu beterbangan di belakangnya. Empat sosok dengan seragam anti-panas, helm reflektif, dan selang besar melompat turun dengan gaya penuh semangat.

Mereka berdiri sejajar, menghadap sang naga raksasa yang masih mendesis.

Layar monitor raksasa di setiap sudut tribun menampilkan nama mereka dengan suara berat dan tegas:

“Pertandingan Kedua: The Twin-Headed Dragon vs Fire Fighter Squad.”

Sorak sorai membelah langit.

Kubu mitologi menertawakan kebodohan manusia.

Kubu manusia menahan napas—antara gugup dan bangga.

Virgo menatap ke arah Johan, yang berdiri tegak di balik Presiden.

Ia hanya mengangguk kecil, seolah berkata:

“Mari kita lihat... apakah api bisa dikalahkan oleh mereka yang hidup di dalamnya.”

1
Mizuki
Gak betah ama em dashnya
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Mizuki
Emdash sebanyak ini pasti perkara dirimu langsung maksa di proofreading ama gpt.

Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
Chimpanzini Banananini: iya mas. nanti kurevisi lagi perkara em dashnya. untuk bab² tinggi udh kuperbaiki kok
total 1 replies
Mizuki
Ini pasti referensinya dari Record of Ragnarok
Chimpanzini Banananini: bener wkwk
total 1 replies
Mizuki
pagi-pagi banget udah high-telling kek gini. Yang kek gini biasanya di showing di tengah atau di akhir, dan itu lewat plot, atau prespektif sisi satunya, potensi kehilangan hook gede banget
Chimpanzini Banananini: oke mas. nanti kurevisi yang bab2 awal.
total 3 replies
🌹Widianingsih,💐♥️
hai hai kak ...!
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !
Chimpanzini Banananini: bener kak. thanks udh mampir
total 1 replies
Anul (PPSRS)
ini mirip alur valkyrie ga sih👍
Anul (PPSRS): itulah pokoknya 🤣
total 2 replies
Anul (PPSRS)
lambang Amerika kah?
Chimpanzini Banananini: bukan heh
total 1 replies
Anul (PPSRS)
ancient one ini apa sih🤣
Anul (PPSRS): okee😍
total 2 replies
@🌹..AIS....🌹🍭
aku udah mampir kak han
@🌹..AIS....🌹🍭: sama sama kk cantik
total 2 replies
Anul (PPSRS)
ancient one ga tuh🤣
Anul (PPSRS)
widih, jadi paradoks berarti... makhluk mitologi ternyata ga punah, tapi kebawa ke masa depan🤣
Anul (PPSRS)
kasih santen, gula merah, air, gula pasir, daun pandan, rebus sampai mendidih... jadi deh bubur goblin hijau👍
Chimpanzini Banananini: ape bende ni woi?
total 1 replies
ꜱᴀʀɪꜰᴀʜ ᴀɪɴɪ
Gila, ini bapaknya udah pasang badan banget demi keluarga🔥 Tapi shotgunnya nggak ada peluru? Aduh, semoga aja ada cara lain buat ngalahin goblin-goblin itu! 😭
Chimpanzini Banananini: duhh gimana ya bilangnya? mereka semua meninggoy dan damai sebagai npc hiks
total 1 replies
ꜱᴀʀɪꜰᴀʜ ᴀɪɴɪ
serem banget! 😱 Udah goblinnya nyeremin, kelakuannya lebih nyeremin lagi.
Cesium-136
Cek komentar buat detailnya
Chimpanzini Banananini: baik. akan dikembangkan lebih baik dan lebih baik lagi. aku juga berusaha untuk membuat setiap judul diawal bab, foreshadowing, cliffhanger, pasti tidak akan mudah ditebak oleh para pembaca. btw thanks udh mau repot² baca ceritakuu❤❤
total 5 replies
Sang_Imajinasi
pertarungan nya bab selanjutnya
Chimpanzini Banananini: iya kaka. tapi aku bakalan crazy up dan bab selanjutnya bakalan up malam ini.
total 1 replies
Ai'zana
semangat thor
Fitur AI
ada kata kata mutiara nih
Fitur AI
wah bagus , ini keknya dia di palak pereman kah?!/Slight/
DF. aldo syarudin
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!