"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25: MIMPI BURUK CHELSEA
Pukul 02:37 dini hari.
Lucian terbangun—entah kenapa, sesuatu membuatnya gelisah.
Ia duduk di tepi kasur, mendengarkan kesunyian mansion.
Terlalu sunyi.
Terlalu—
"TIDAK! JANGAN!"
Teriakan Chelsea.
Lucian melompat dari kasur, berlari keluar kamar—kaki telanjang, hanya pakai kaus dan celana training.
Pintu kamar Chelsea di sebelah—tidak terkunci.
Lucian membuka pintu, masuk—
Chelsea tergeletak di kasur, tubuhnya bergerak gelisah, wajahnya basah keringat dan air mata.
"Papa... papa jangan pergi... papa kumohon..."
Mimpi buruk.
Lucian menghampiri—duduk di tepi kasur, menyalakan lampu tidur dengan cahaya redup.
"Chelsea," panggilnya pelan sambil menyentuh bahu Chelsea. "Chelsea, bangun. Kau mimpi buruk."
Tapi Chelsea tidak bangun—masih terjebak dalam mimpi.
"Papa... maafkan aku... aku anak yang tidak baik... aku jahat... makanya papa tidak sayang sama aku..."
Air matanya mengalir—bahkan dalam tidur, ia menangis.
"Papa jangan mati... kumohon jangan tinggalkan aku sendirian... aku janji akan jadi anak baik... papa kumohon..."
Dada Lucian sesak mendengar itu.
Dia masih mencintai ayahnya. Meski ayahnya tidak pernah memeluknya, meski ayahnya dingin—dia masih mencintainya.
Dan aku... aku yang membunuh ayahnya.
"Kenapa papa dibunuh? Kenapa? Siapa yang bunuh papa?" Chelsea berteriak dalam tidur—suaranya pecah, penuh rasa sakit. "Aku akan balas dendam... aku akan cari siapa yang bunuh papa... aku akan—"
"Chelsea." Lucian menggenggam tangan Chelsea—erat. "Bangun. Ini hanya mimpi buruk."
Chelsea akhirnya membuka mata—napasnya tersenggal, wajah basah air mata, mata merah.
Ia menatap Lucian—bingung, masih setengah sadar.
"L-Lucian?"
"Iya. Aku di sini. Kau mimpi buruk."
Chelsea langsung bangun, memeluk Lucian—memeluknya erat, tubuhnya gemetar hebat.
"Aku mimpi... aku mimpi papa mati lagi... aku lihat dia terbaring di peti mati... dia menatapku tapi tidak bilang apa-apa... dia tidak bilang dia memaafkanku..."
Ia menangis di bahu Lucian—isakan yang keras, yang mengguncang tubuhnya.
"Aku anak yang buruk... makanya papa tidak pernah sayang sama aku... makanya papa mati tanpa bilang dia mencintaiku..."
"Ssshh..." Lucian mengusap punggung Chelsea—gerakan yang menenangkan, yang ia tidak tahu dari mana ia belajar. "Itu bukan salahmu. Ayahmu tidak mati karena salahmu."
Dia mati karena aku membunuhnya.
"Tapi aku tidak sempat bilang aku mencintai papa..." Chelsea terisak. "Waktu papa masih hidup, aku marah sama dia. Aku benci dia karena dia dingin. Aku bahkan pernah bilang 'aku tidak peduli papa hidup atau mati'. Dan sekarang... sekarang papa benar-benar mati... dan aku tidak sempat minta maaf..."
Lucian memeluk Chelsea lebih erat—mencoba menahan kepingan-kepingan yang pecah.
"Ayahmu tahu kau mencintainya," bisik Lucian—meski hatinya berdarah mengatakannya. "Orang tua selalu tahu. Meski anak mereka tidak mengatakannya."
Aku tidak tahu apakah Adipati Guntur layak dapat cintanya. Tapi dia... dia masih mencintai ayahnya. Dan itu yang penting.
Chelsea melepas pelukan—menatap wajah Lucian dengan mata basah.
"Kau pikir begitu?"
"Aku yakin begitu."
Chelsea menangis lagi—tapi kali ini tangis yang lebih tenang.
"Terima kasih, Lucian. Terima kasih sudah di sini. Terima kasih sudah... tidak meninggalkanku sendirian."
Lucian mengusap air mata di pipi Chelsea dengan ibu jarinya—gerakan lembut, hati-hati.
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku berjanji."
Bohong. Suatu hari nanti aku harus pergi. Karena kalau kau tahu siapa aku...
Tapi malam ini—hanya malam ini—Lucian ingin percaya janjinya sendiri.
Chelsea berbaring lagi—tapi tangannya menggenggam tangan Lucian.
"Jangan pergi," bisiknya. "Kumohon. Aku... aku takut mimpi buruk itu kembali."
Lucian seharusnya menolak. Seharusnya kembali ke kamarnya. Seharusnya menjaga jarak.
Tapi ia tidak bisa.
"Aku akan di sini," katanya sambil duduk di kursi samping ranjang. "Sampai kau tidur."
Chelsea tersenyum—senyum lega yang membuat wajahnya terlihat seperti anak kecil.
"Terima kasih."
Ia menutup mata—tapi tangannya masih menggenggam tangan Lucian, seperti takut ia akan hilang.
Lucian duduk di sana—memegang tangan Chelsea, menunggu napasnya teratur lagi.
Satu jam. Dua jam.
Jam menunjukkan pukul 05:00 pagi ketika Lucian yakin Chelsea sudah tidur lelap.
Perlahan, ia mencoba melepas genggaman—
Tapi Chelsea menggenggam lebih erat dalam tidurnya.
"Jangan pergi..." gumamnya—setengah tidur, setengah sadar.
Lucian terdiam.
Lalu ia menyerah—duduk lagi di kursi itu, memegang tangan Chelsea sampai matahari terbit.
Matanya menatap wajah Chelsea yang tidur damai—wajah yang sudah tidak menunjukkan bekas mimpi buruk.
Dan sesuatu di dada Lucian—sesuatu yang sudah mati sejak delapan tahun lalu—berdetak lagi.
Aku jatuh cinta padanya.
Pikiran itu datang tiba-tiba—menghantam seperti petir.
Tidak. Aku tidak bisa jatuh cinta. Aku pembunuh. Aku tidak pantas mencintai siapapun.
Tapi detak jantungnya tidak bisa dibohongi.
Cara dadanya menghangat setiap Chelsea tersenyum.
Cara ia ingin melindunginya dari apapun.
Cara ia rela duduk semalaman hanya untuk memastikan dia tidak mimpi buruk lagi.
Aku jatuh cinta pada wanita yang aku tidak tahu siapa.
Dan itu akan menghancurkanku.
Tapi aku tidak peduli.
Karena untuk pertama kali dalam delapan tahun—aku merasa hidup lagi.
Matahari mulai terbit—cahaya jingga masuk melalui celah tirai.
Chelsea membuka mata perlahan—melihat Lucian masih duduk di sana, memegang tangannya.
"Lucian... kau tidak tidur semalaman?"
"Aku baik-baik saja."
Chelsea duduk—menatap Lucian dengan mata yang berkaca-kaca.
"Terima kasih. Terima kasih sudah menjagaku."
Lucian tersenyum kecil. "Itu pekerjaanku."
"Bukan." Chelsea menggeleng. "Ini bukan pekerjaan. Ini... lebih dari itu."
Mereka saling menatap—terlalu lama, terlalu intens.
Dan sesuatu berubah di antara mereka.
Sesuatu yang tidak bisa diambil kembali.
Sesuatu yang akan membawa mereka ke kebahagiaan—atau kehancuran.
Atau keduanya.