Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Auditorium pusat konvensi Jakarta dipenuhi oleh gemuruh lowongan dan lampu sorot yang berkilauan. Di atas panggung, para finalis kompetisi nasional Teknik Elektro berdiri di stan mereka masing-masing, tetapi semua mata tertuju pada satu pria: Rayyan Albar.
Wajahnya tampan dan tenang di balik kacamata anti-silau, seperti danau yang permukaannya tenang namun dalamnya penuh dengan arus pemikiran yang kompleks. Di depannya, terpajang sebuah prototipe yang membuat para juri—profesor dan praktisi ternama—berkali-kali mendekat dengan takjub.
Judul proyeknya sederhana namun ambisius: "Sistem Manajemen Energi Cerdas Berbasis AI untuk Kawasan Pemukiman Padat Penduduk."
Bukan hanya konsep, Rayyan mempresentasikan sebuah purwarupa nyata. Dengan suara yang jernih dan terstruktur sempurna, dia memaparkan bagaimana sistemnya menggunakan kombinasi sensor IoT yang dirancang ulang untuk efisiensi biaya, dikendalikan oleh algoritma machine learning yang ia kembangkan sendiri.
"Masalah utama di pemukiman padat adalah pemborosan energi dan ketidakseimbangan beban," ujarnya, pointer laser di tangannya bergerak lancar antar diagram blok di layar. "Sistem ini tidak hanya memantau konsumsi real-time, tetapi juga memprediksi pola penggunaan berdasarkan data historis dan cuaca, lalu mengalokasikan daya secara optimal."
Saat sesi demonstrasi, para juri dibuat terpana. Ketika dia mensimulasikan lonjakan beban akibat penggunaan AC secara bersamaan, sistemnya secara otomatis mengalihkan sebagian daya ke panel surya virtual dan sedikit membatasi daya non-esensial tanpa mematikan peralatan, sebuah solusi elegan yang mencegah pemadaman tetapi tetap nyaman.
Seorang profesor berambut putih bertanya dengan kritis, "Bagaimana dengan akurasi prediksi algoritmamu dalam kondisi ekstrem?"
Rayyan tidak goyah. Dengan tenang, dia mengakses database-nya dan menunjukkan grafik. "Dengan training data selama enam bulan dan model koreksi kesalahan yang saya sematkan di sini," jarinya menunjuk sebuah blok kode di layar, "akurasinya tetap di atas 92% bahkan saat hari terpanas. Margin of error hanya 3,5%."
Juri itu mengangguk pelan, tak bisa menyembunyikan kekaguman.
Keahliannya tidak hanya teoritis. Saat terjadi gangguan teknis kecil pada salah satu sensor di menit-menit terakhir presentasi, Rayyan, dengan wajah tetap tenang, mengambil multimeter dari tasnya. Dalam waktu kurang dari dua menit, dia telah melacak kesalahan ke sebuah solderan yang longgar dan memperbaikinya dengan tangan yang stabil dan presisi. Itu adalah pertunjukan kecerdasan sekaligus ketenangan di bawah tekanan yang membuat seluruh ruangan berdecak kagum.
---
Takdir memang berada di pihaknya. Saat pengumuman pemenang, nama "Rayyan Albar dari Universitas Baratha" bergema keras sebagai Juara 1. Sorak-sorai memenuhi auditorium. Dia berdiri di atas panggung, piala emas di tangannya, wajahnya masih misterius dan dingin, tetapi ada kepuasan kecil yang bersinar di matanya yang seperti dark coffee. Sekali lagi, dia mengharumkan nama almamaternya.
---
Berita kemenangan Rayyan menyebar seperti virus di kampus. "Jenius!" "Luar biasa!" "Bintang kita!" Begitulah bisik-bisik yang terdengar di setiap sudut. Namanya menjadi buah bibir, sebuah legenda hidup di kalangan mahasiswa.
Di kantor dekan yang mewah, Pak Toto dengan wajah berseri-seri menyuguhkan kopi terbaik kepada Adi Sadewo.
"Rayyan juara kompetisi lagi ya, Pak?" tanya Adi, sudah menduga jawabannya.
"Betul, Pak!" sahut Pak Toto antusias. "Sepanjang kompetisi tahun ini, Rayyan terus yang memenangkan juara umum. Konsistensinya luar biasa."
Adi mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya yang tegas. "Nggak salah kita kasih beasiswa unggulan untuk Rayyan. Tolong penuhi juga semua kebutuhan kuliah dan penelitiannya ya, Pak. Apapun yang dia butuhkan."
"Baik, Pak. Sudah pasti," jawab Pak Toto dengan patuh.
---
Sore itu, begitu Adi Sadewo sampai di rumah mewahnya, kedamaian langsung pecah.
"Papi!" teriak Jessy, wajahnya merah dan mata berkaca-kaca, berlari menghampiri ayahnya yang baru saja melepas jas.
Adi menghela napas, sudah bisa menebak arah pembicaraan. "Ada apa lagi?"
"Papi harus keluarin anak yang namanya Era dari kampus!" ujar Jessy, tanpa basa-basi.
Adi melepas kacamatanya dan mengusap pelipisnya. "Kamu bikin masalah apa lagi?"
"Kok aku yang bikin masalah sih?" gerutu Jessy, tangan di pinggang. "Yang bikin masalah itu namanya Era!"
Adi menjatuhkan tubuhnya ke sofa leather yang empuk. "Nanti Papi pikir-pikir dulu."
"Nggak bisa, Pi! Papi harus segera keluarin Era!" seru Jessy, suaranya melengking.
Mendengar nada perintah putrinya, Adi akhirnya kehilangan kesabaran. Dia duduk tegak, tatapannya menjadi tajam dan berwibawa.
"Jessy," ujarnya, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Tiap kali kamu bermasalah sama orang di kampus, pasti kamu bakal ngadu ke Papi dan teriak-teriak untuk ngeluarin mereka." Dia jeda, memastikan kata-katanya masuk. "Kalau kamu bermasalah sama seluruh orang di kampus, bisa jadi kampus mati nanti Baratha. Apa itu yang kamu mau?"
"Tapi Pi... Era udah keterlaluan!" bantah Jessy, tapi suaranya sudah sedikit melemah.
Adi menyilangkan kakinya. "Sekarang coba cerita ke Papi. Bagian mana yang keterlaluan?"
Pertanyaan itu membuat Jessy terdiam membatu. Pikirannya berputar cepat. Bagian mana yang bisa dia ceritakan? Bagaimana dia bisa mengeluh bahwa seorang gadis tak sengaja menumpahkan jus? Atau mengakui bahwa amukannya ini bersumber dari cemburu buta melihat Rayyan—pria yang terus menerus menolaknya—bersikap lembut dan protektif pada gadis lain?
Dia tidak bisa mengatakannya. Mengakuinya berarti mengakui kelemahannya, mengakui bahwa Rayyan memiliki kekuatan untuk melukainya.
Melihat putrinya terdiam dan berjuang dengan dirinya sendiri, Adi tahu ada sesuatu yang lebih dalam terjadi. "Kenapa diam?" tanyanya, lebih lembut.
Jessy menatap ayahnya, campuran rasa malu, marah, dan frustrasi membanjiri dirinya. Dia tidak punya jawaban yang bisa membuatnya menang.
"Nggak tau lah, Pi. Jessy malas ngomong sama Papi!" ujarnya akhirnya, suaranya bergetar sebelum berbalik dan berlari kembali ke kamarnya, meninggalkan Adi Sadewo yang hanya bisa menggeleng.
***
Kamarnya bagai sebuah benteng yang terbuat dari sutra, beludru, dan lampu kristal. Jessy Sadewo tergeletak di atas tempat tidur baldu yang luas, dikelilingi oleh boneka-boneka mewah yang seolah menatapnya dengan tatapan tak mengerti. Di tangannya, ponsel mahal memancarkan cahaya terang, menerangi wajahnya yang sedang dilanda konflik batin yang dalam.
Dengan gerakan frustrasi, jarinya mengetik dengan cepat di sebuah aplikasi AI chatbot.
Jessy: Gimana sih caranya naklukin cowok yang dingin banget dan cuek?
AI: Cobalah untuk menunjukkan ketertarikan yang tulus pada minat dan dunianya. Beri dia ruang, jangan terlihat terlalu desperate.
Jessy mendengus. "Tulus? Minatnya cuma buku dan kabel-kabel listrik," gumamnya sinis. Dia mengetik lagi.
Jessy: Tapi dia selalu nolak aku. Apa aku yang kurang cantik?
AI: Kecantikan bukan segalanya. Cobalah pendekatan yang lebih halus. Tanyakan tentang harinya, dengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Dengarkan? Dia aja hampir nggak pernah mau ngobrol sama aku!" keluhnya pada diri sendiri. Dia menggulir layar, mencari saran lain.
Jessy: Gue dikasih saran buat kasih dia ruang. Tapi kalau dikasih ruang, dia malah diambil cewek lain!
AI: Pria seperti itu biasanya menghargai kemandirian dan kecerdasan. Fokuslah pada pengembangan dirimu sendiri.
"Sumpah,saran-saran ini bikin pusing," gerutunya. Dia melemparkan ponselnya ke bantal. "Jadi gue harus begini ke Rayyan?" gumamnya, mencoba membayangkan dirinya bersikap lembut dan 'tidak desperate'. Tapi bayangan itu langsung diusirnya.
"Ih, nanti gue dikira ngejar-ngejar dia banget lagi. Gengsi, kan." Dia meremas bantal dengan kesal. Di satu sisi, keinginannya untuk 'memiliki' Rayyan membara seperti api. Di sisi lain, harga dirinya sebagai Jessy Sadewo—yang selalu dikejar, bukan mengejar—berteriak menentangnya.
Frustrasinya memuncak. Dia menjerit pelan ke dalam bantal. "Coba Papi mau keluarin dia dari kampus, pasti gue nggak perlu semenderita ini kalo ketemu sama dia." Tapi bahkan saat mengucapkannya, hatinya menyentak. Mengusir Rayyan? Itu berarti tidak akan pernah melihatnya lagi, tidak akan ada lagi kesempatan untuk menaklukkannya, untuk membuatnya jatuh hati.
Dia berjalan mendekati cermin panjang berbingkai emas di sudut kamarnya. Dia menatap bayangannya—gadis cantik dengan tubuh seksi, wajah yang sempurna, dan segala kemewahan yang bisa dibeli uang.
"Dan lo!" hardiknya pada bayangannya sendiri, jari telunjuknya menunjuk ke arah cermin. "Bisa nggak, nggak usah punya perasaan sama cowok jutek itu? Mana harga diri lo!"
Tapi bayangan di cermin itu hanya membalas tatapan dengan wajah yang sama bingung dan terluka. Harga diri? Rasanya sudah tercabik-cabik oleh setiap penolakan Rayyan. Dan anehnya, justru penolakan itulah yang membuatnya semakin terobsesi.
---
Berbeda jauh dari kemewahan kamar Jessy, di sebuah kosan sempit di pinggiran Jakarta, Rayyan duduk di lantai yang dingin. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari laptop gaming baru yang memancarkan cahaya biru muda ke wajahnya.
Laptop itu adalah paradigma yang hidup di atas mejanya yang sederhana. Perangkat yang begitu kuat, dengan spesifikasi yang dia impikan untuk mengembangkan proyek-proyek besarnya, namun hadir dari sumber yang paling tidak dia harapkan: Jessy Sadewo.
Jarinya menelusuri pinggiran laptop yang ramping. Pikirannya berkelana. Dia membenci Jessy. Dia membenci kesombongannya, caranya memperlakukan orang lain, dan kenangan pahit tentang ibunya yang terhina.
Tapi kemudian, sebuah pengakuan jujur yang tak diinginkan muncul dari dalam benaknya: Jessy cantik. Sangat cantik. Bahkan dengan segala kesombongannya, dia tidak bisa menyangkal fakta fisik itu. Setiap kali dia mendekat, wanginya, senyumnya, bahkan tatapannya yang menantang, semuanya meninggalkan jejak.
Dia menggeleng keras, mencoba mengusir pikiran itu. "Inget! Dia tukang bully!" desisnya pada diri sendiri, suaranya bergetar di kamar yang sunyi. Dia mengingat wajah Era yang ketakutan, wajah ibunya yang terluka. Itu adalah tameng yang selama ini melindunginya.
Tapi tameng itu mulai retak. Laptop ini adalah simbol dari kompleksitas perasaannya. Dia membenci pemberian itu, tapi dia juga membutuhkannya. Dia membenci pemberinya, tapi... tidak bisa sepenuhnya membencinya lagi. Ada sesuatu tentang ketekunan Jessy, tentang kerentanannya yang kadang tersembul, yang mulai menggerus kebenciannya.
Dia menatap layar laptop yang masih bersih. Di satu sisi, ada kebencian dan prinsip. Di sisi lain, ada seorang gadis cantik yang menyebalkan namun tak terbantahkan, dan sebuah laptop yang merupakan kunci masa depannya. Perang di dalam hati Rayyan Albar mungkin lebih rumit daripada sirkuit mana pun yang pernah dia rancang.
kudu di pites ini si ibu Maryam