Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 11.
Di sudut ruang tamu rumah besar bergaya elegan milik keluarga Mahendra, Jakarta diguyur hujan deras sore itu. Erika duduk di hadapan Nyonya Dita, ibu kandung Rama dengan wajah lelah tapi tetap berdandan sempurna seperti biasa. Namun, tak ada kosmetik yang bisa menutupi getir di matanya.
“Kamu gagal membawa Rama pulang!” Suara Nyonya Dita meledak, memecah keheningan ruangan yang megah. “Tante sudah mempertaruhkan segalanya demi kamu! Bahkan... ikut menyusun rencana kotor mu untuk menjebak Alina dengan pria lain. Semua itu, hanya agar Rama membencinya dan menceraikannya. Tapi apa hasilnya? Lima tahun berlalu dan kamu tetap bukan siapa-siapa bagi Rama!”
Erika menghela napas dalam-dalam. “Tante, sejak awal aku sudah bilang. Rama itu bukan laki-laki yang bisa diatur, apalagi dipaksa mencintai. Bahkan saat Tante melarang dia menikahi Alina, dia tetap melakukannya. Karena cintanya... memang hanya untuk perempuan itu.”
“Lalu apa gunanya semua ini?!” bentak Nyonya Dita, berdiri dari kursinya dengan mata membara. “Kita sudah menghancurkan hidup seorang wanita, Erika! Tante... bahkan tega menutup mata atas darah daging Tante sendiri. Cucu kandung Tante!”
Ya, sebenarnya Nyonya Dita tahu. Sejak awal ia tahu, bahwa bayi yang dikandung Alina adalah anak Rama, cucu kandungnya sendiri. Tapi demi memaksakan kehendak agar Erika, anak dari sahabatnya menjadi menantunya, ia rela mengkhianati kebenaran.
Nyonya Dita ikut menyusun skenario busuk, merusak rekaman CCTV. Membiarkan Erika mengatur agar Alina terjebak dalam satu kamar dengan Zidan. Lalu, menghadirkan Rama di waktu yang tepat... untuk menyaksikan kebohongan yang mereka desain bersama.
“Aku juga sama, Tante bukan satu-satunya yang mengorbankan segalanya. Aku... menjual harga diriku! Harga diri sebagai wanita, hanya demi mencuri hati pria yang tidak pernah mencintaiku. Aku tahu apa yang kulakukan salah, tapi aku terlalu dalam... terlalu terobsesi untuk jadi istri Rama.”
Mata Erika memerah, bukan karena penyesalan semata tapi karena luka yang ditinggalkan oleh penolakan diam-diam Rama selama lima tahun terakhir.
“Aku tinggal di sisinya, Tante. Aku jaga dia saat dia hancur ditinggalkan Alina. Tapi yang kulihat setiap hari... hanyalah bayangan Alina di mata Rama. Tak ada ruang untukku, bahkan tidak sekalipun.”
Nyonya Dita terdiam sejenak, emosinya mereda berganti dengan ketegangan yang lebih mengerikan yaitu kesadaran bahwa segala upaya mereka ternyata hanya membentuk jurang kehancuran yang lebih dalam.
“Kamu mau menyerah?” Suaranya kini rendah, namun tetap mengandung tekanan. “Setelah Tante menyingkirkan Alina, setelah aku melepas cucuku sendiri... hanya agar kamu dan Rama bersatu?”
Erika menatap wanita yang selama ini berdiri di belakangnya. “Aku tidak menyerah, Tante. Aku hanya... mengakui kekalahan yang seharusnya kita sadari sejak dulu. Karena sejak awal, Rama tidak pernah menjadi milikku.”
Dan dalam diam, hujan masih turun deras di luar sana seolah langit pun turut berkabung atas kejatuhan dua wanita yang telah menghancurkan cinta antara Alina dan Rama... atas nama obsesi dan ambisi.
.
.
.
Sementara di Yogyakarta, di kediaman Mahesa ibu kandung Davin pun menghadapi kesulitan luar biasa dalam menggali informasi mengenai Alina. Seolah ada tirai tak kasat mata yang membatasi setiap langkah pencariannya. Tanpa sepengetahuan Alina, Davin sendiri yang diam-diam menjadi benteng tak terlihat menutup rapat seluruh akses terhadap data pribadi perempuan itu. Sebuah langkah yang tidak hanya menyiratkan perlindungan, tapi juga kendali yang nyaris mutlak.
Nyonya Ayunda tampak gusar, wajahnya mengerucut tak puas setelah usahanya mencari informasi berujung nihil. Di sampingnya ada sang suami, Tuan Yudhistira Mahesa. Pria dengan wajah lembut itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum maklum.
"Sayang, tak usah terlalu penasaran begitu. Serahkan saja semuanya pada Davin..." ucapnya tenang, dengan nada yang menenangkan.
Tuan Yudhistira memang dikenal sebagai ayah sambung yang luar biasa. Ia tak pernah membeda-bedakan anak-anak dari pernikahan terdahulu Nyonya Ayunda. Meski dulu pernikahan mereka sempat ditentang keluarga karena status Ayunda sebagai janda dua anak, tapi dengan keteguhan dan kelembutannya, ia berhasil meraih restu.
Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang putri yang kini masih kuliah.
Nyonya Ayunda mengerucutkan bibir, separuh sebal dan separuh gemas. “Pah, Mama ini cuma terlalu excited. Davin itu... dari dulu nggak pernah kelihatan dekat sama perempuan mana pun!”
Dengan sabar, Tuan Yudhistira menarik istrinya ke dalam pelukan hangat. “Lalu?”
“Lalu, Papa tolong bantu Mama dong. Cari tahu siapa perempuan itu... tapi pakai cara Papa." Bisiknya, matanya menyipit penuh siasat.
Pria berambut warna abu-abu itu terkekeh pelan. “Loh... Davin yang bikin ulah, kenapa Papa yang disuruh kerja? Terus kalau gagal, Papa juga yang disalahin? Nggak adil banget.”
Nyonya Ayunda akhirnya tertawa, wajahnya mencair dengan senyum penuh arti. “Tapi kalau Papa berhasil, Mama kasih jatah dobel loh.”
Tatapan Tuan Yudhistira langsung berbinar penuh semangat, seolah baru saja diberi misi kenegaraan. Meski usia mereka tak muda lagi, hubungan keduanya tetap hangat dan penuh kejutan kecil yang membuat cinta tak pernah hambar.
Esoknya...
“Mah! Dapat!” seru Tuan Yudhistira sambil tersenyum lebar, wajahnya memancarkan semangat yang jarang terlihat. Ia segera duduk di sisi istrinya, membagikan kabar yang baru saja ia peroleh.
“Dia seorang janda, anak satu. Anaknya laki-laki, usianya sekitar lima tahun.”
Nyonya Ayunda menaikkan alis.
“Jangan bilang Mama akan menolak?" Tuan Yudhistira menambahkan cepat, seolah ingin menutup kemungkinan perdebatan.
Ayunda terkekeh pelan. “Tentu saja tidak, Pah. Mama juga dulunya janda waktu kenal Papa, janda dua anak malah.”
Ucapan Nyonya Ayunda ringan, tapi nadanya tajam menyiratkan bahwa ia tak pernah lupa masa lalunya.
“Bagus,” gumam Tuan Yudhistira lega.
Namun Nyonya Ayunda tampak tak puas. “Itu saja informasinya? Bagaimana latar keluarganya? Nama lengkapnya, nama anaknya? Mama butuh kejelasan, Pah.”
“Namanya Alina, anaknya Daffa. Ia bercerai, dan setahu Papa tak punya keluarga dekat. Ayahnya meninggal waktu dia baru 13 tahun, ibunya menyusul saat dia berusia 22. Sekarang... hanya ada dia dan anaknya.”
Ayunda menyipitkan mata. “Asli orang sini?”
“Bukan, Jakarta.”
“Hm.” Ada jeda sebelum pertanyaan berikutnya meluncur, lebih hati-hati. “Dan, mantan suaminya?”
Yudhistira menarik napas pelan, seolah sedang memilih kata. “Orang Jakarta juga. Tapi... Papa kurang tahu banyak. Dari dokumen yang Papa temukan, Alina tinggal di kota ini sejak lima tahun lalu. Tak ada informasi lebih lanjut soal mantan suaminya. Sepertinya, dia sudah lama hidup hanya berdua dengan anaknya.”
Ayunda tak bertanya lagi, namun sorot matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang belum terpuaskan.
Sementara itu, Yudhistira hanya bisa mengalihkan pandangan. Ada ketegangan yang samar di balik sorot matanya, sesuatu yang tak ia ceritakan. Ia tahu pasti siapa mantan suami Alina dan mengapa informasi itu sebaiknya tidak diketahui oleh istrinya.
Karena jika Nyonya Ayunda tahu bahwa Alina pernah menikah dengan Rama, anak kandung dari pria yang dulu menghancurkan hidup istrinya itu. Dan juga... saudara satu Ayah dengan Davin, sepertinya akan timbul masalah.
Saat Tuan Yudhistira meneguk teh di genggaman, gerakan tangannya sedikit gemetar.
Tuan Yudhistira belum siap melihat luka lama itu kembali berdarah. Ia pikir jika istrinya tahu kebenarannya, maka luka lama yang sudah nyaris membatu itu akan terbuka kembali. Maka ia memilih diam, setidaknya untuk sekarang.
Karena ada kalanya, kebenaran harus menunggu giliran untuk muncul ke permukaan.
Usai itu, Tuan Yudhistira segera menemui Davin untuk memperingatkan anak sambung nya. Ia tak ingin rahasia mengenai Rama sampai ke telinga Nyonya Ayunda, sang istri. Setidaknya, untuk saat ini hal itu harus tetap disimpan rapat-rapat.