Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA11
Dua bulan kemudian.
Tidak tahan dengan tekanan batin akibat cibiran masyarakat tentang etika Maya yang dianggap buruk, Ardi akhirnya mengambil keputusan tegas. Ia menjual seluruh aset yang diperoleh dari Alan, sesuai janjinya. Semua itu demi memulihkan martabatnya sebagai seorang guru dan tokoh masyarakat.
Mobil pribadi, motor besar milik Roy, semua ikut terjual. Akibatnya, Roy terancam tidak bisa melanjutkan kuliah.
“Pak, jangan dikembalikan semua… Roy perlu kuliah!” tangis Maya pecah tak tertahan.
“Diam kau!” bentak Ardi keras. Pria itu tidak mau dikendalikan putrinya lagi.
Sebagai seorang kakak, hati Maya hancur. Ia merasa gagal jika adik lelakinya tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi seperti dirinya.
--
Hampir setiap malam, Maya diteror pesan-pesan dari nomor tak dikenal. Aplikasi chatting aneh muncul tiba-tiba, menampilkan sapaan manis, rayuan intim, bahkan vulgar. Mereka menjanjikan imbalan berupa koin emas yang bisa ditukar dengan uang.
Maya yakin semua itu ulah Alan.
Tidak ingin terhubung lagi dengan masa lalunya, Maya menjual ponsel mahalnya. Ia menggantinya dengan ponsel jadul yang hanya bisa menerima panggilan suara. Laptopnya pun diganti dengan versi standar. Semua akun email dan media sosial ia tutup. Ia ingin memutus semua jejak digital yang mungkin menghubungkannya kembali dengan Alan.
“Prak!”
Alan membanting laptop dan ponselnya hingga hancur. Ia murka. Maya benar-benar memutuskan semua akses. Alan bingung, mengapa Maya tidak lagi peduli pada uang dan kemewahan, senjata yang selalu ampuh untuk menaklukkan wanita.
“Secepat itu kau berubah, Sayang…” gumam Alan dengan kepala terkulai di tepi kasur. Wajah kusut tidak bergairah.
--
“Uhuk... uhuk!”
Suara batuk Ardi menggema di dalam rumah kontrakan kecil yang kini mereka tempati. Kesehatannya semakin memburuk dari hari ke hari, namun ia tetap memaksakan diri berangkat mengajar, meski masa pensiunnya sudah di depan mata.
Sejak semua harta dari Alan lenyap, perlahan pandangan miring masyarakat pun mulai mereda. Beberapa tetangga yang berhati baik mulai kembali menyapa, menguatkan. Namun, hinaan dan pelecehan masih sesekali menghantui Maya, melukai mentalnya. Maya tidak berani melakukan aktifitas di luar rumah.
Suatu hari, Maya meminta Roy menemaninya ke pasar. Ia merasa tidak nyaman berjalan sendiri.
Namun sesampainya di sana, suara-suara tak senonoh kembali menghampirinya.
“Neng Maya… yuk semalam aja sama Mas, puas-puasin deh, nanti Mas kasih duit banyak…” goda pria-pria iseng yang suka mencoleknya.
“Bajingan! Kurang ajar kau!” Roy meledak marah, ingin menghajar mereka.
“Roy! Sudah! Ngapain kamu ladeni mereka? Ayo pulang!” seru Maya menarik tubuh adiknya kuat-kuat.
“Awas kau ya! Mati kau nanti!” Roy membalas ancaman dengan tatapan tajam dan mengacungkan jari tengah ke gerombolan pria yang cukup berkuasa di desa itu. Ia tidak terima kakaknya dianggap wanita penghibur para pria.
“Woi bocil! Kau yang kami buat mati nanti!” balas mereka sambil tertawa mengejek.
“Sudah Roy… sudahlah… kakak mu ini sudah tidak punya uang buat ngurus kamu kalau kenapa-kenapa…” Maya memarahi Roy sambil menangis pilu di atas motor. Roy hanya diam, wajahnya masam.
Kehidupan keluarga itu benar-benar di ambang kehancuran.
Maya menganggur. Roy gagal kuliah. Ardi sakit-sakitan. Maryam menjadi satu-satunya tulang punggung, ia hanya bisa menerima jahitan sedikit karena lambungnya sering bermasalah dan ia tidak sanggup lagi menggaji karyawan. Untuk makan dan beli obat pun, mereka harus menjual sisa-sisa aset yang ada.
Melihat semua itu, Maya tidak bisa tinggal diam. Ia kembali mengirim CV ke berbagai perusahaan di Jakarta. Tapi tidak ada satu pun yang memberi respons. Maya terduduk lesu di depan laptop, raut wajahnya penuh putus asa.
Maya tidak mencantumkan pengalaman di RVC karena enggan meminta surat rekomendasi dari Alan. Ia tahu, Alan pasti akan mempersulit.
"Apa aku coba daftar TKI ke luar negeri saja...? Tapi... mana mungkin Bapak izinkan, apalagi ia sudah sakit begini," gumamnya lirih.
Malam-malam Maya kini hanya dipenuhi tangis dan lamunan. Ia memandangi dompet dan ATM-nya, hanya tersisa receh. Padahal dulu, uangnya tidak pernah habis. Selalu banjir dari Alan.
Hidup Maya benar-benar jungkir balik dan tercekik. Tubuhnya kian kurus. Tidak lagi glowing karena tidak pernah perawatan seperti dulu. Namun, ada satu hal baik dari semua ini: kini ia mulai rutin sholat dan rajin mengaji. Ujian hidup telah mengubahnya.
--
Kantor Pusat PT Anugerah RVC
Gedung bertingkat kaca itu menjulang kokoh di pusat kota. Interiornya mewah, megah, dan teratur; setiap sudutnya mencerminkan kemapanan sebuah korporasi raksasa. Para staf profesional lalu-lalang dengan ritme cepat, tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Namun, di lantai tertinggi, satu ruangan eksekutif terisolasi dari hiruk-pikuk itu tersedia ruang kerja Alan Andrew, pewaris utama RVC Group.
Alan duduk lemas di balik meja kerjanya. Matanya sayu, dua bulan terserang insomnia, cukup membentuk mata panda Alan yang tidak bisa disembunyikan lagi. Wajahnya kusam, tak terurus, dipenuhi brewok.
Setiap kali ada pertemuan penting, Jacob terpaksa memanggil penata rias khusus pria untuk merapikan wajah Alan, agar ekspresi kacau dan lelahnya tidak terbaca siapa pun.
Pintu terbuka pelan. Jacob, sang asisten pribadi, melangkah masuk dengan ekspresi tenang seperti biasa.
“Pak, jadwal makan siang hari ini bersama pejabat dan pengusaha di Hotel Grand City,” lapornya sambil menyerahkan tablet berisi agenda.
Alan memutar kursinya, menatap kosong ke langit-langit, sorot mata Alan kehilangan arah.
Jacob terkejut hebat. Tubuhnya refleks tertarik mundur saat mendapati mata panda Alan semakin parah.
“Jacob…” suara Alan serak, nyaris berbisik. “Sepertinya aku butuh mungkin psikiater. Tenggorokanku seperti dicekik. Dadaku sesak. Ini kebodohan paling besar dalam hidupku.”
Jacob mengerutkan dahi, namun sudut bibirnya nyaris tersenyum. Alan tidak berubah, semakin hari semakin kacau.
Tiba-tiba, Alan berspekulasi sembarangan.
“Apa jangan-jangan... Maya pakai ilmu sihir, dia marah kepadaku hingga membuat aku seperti ini?”
Jacob tersedak tawa yang ia tahan. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
“Ilmu sihir, Pak? Tapi... Maya nggak bawa apa-apa waktu pergi. Bahkan perhiasan pun tidak,” jawabnya pelan jacob, mencoba tetap waras.
Alan mengangguk, kali ini serius tapi tetap kacau.
“Betul juga... Tapi bisa saja, dia sengaja bikin aku jadi gila... supaya aku nyerah... terus luluh... lalu menikahinya. Kau paham kan maksudku, Jacob?”
Jacob berdiri lebih tegak, mencoba mengikuti logika atasannya meski rasanya hampir gila
“Saya mengerti, Pak... Tapi bukankah Bapak sendiri baru mengenal Nona Maya beberapa bulan? Terlalu cepat untuk memikirkan soal pernikahan.”
Alan menunjuk-nunjuk ke arah Jacob dengan semangat.
“Ya! Itu dia! Aku tidak boleh gegabah! Aku tidak boleh menikahi wanita yang baru kukenal! Walaupun... dia terlalu... luar biasa.”
Suasana seketika hening. Hanya dengung AC yang terdengar.
Jacob membungkuk sopan.
“Kalau begitu, izinkan saya menjadwalkan pertemuan dengan psikiater terbaik sore ini, Pak.”
Alan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Suaranya hampir tenggelam.
“Lakukan, Jacob… Sebelum aku benar-benar kehilangan akal karena perempuan itu.”
serendah itukah Maya di matamu key...
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga