Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jebakan yang Menjadi Bumerang
Malam itu, Rachel masih mondar-mandir di kamar besarnya. Lampu meja belajar menyala terang, kertas catatan cheerleader berantakan. Ia meraih ponsel, mengetik cepat, lalu menempelkan ponsel ke telinga.
Tuut… tuut… klik!
“Kenapa sih, my lovely?” suara centil Sherly muncul di seberang, terdengar santai sambil ngemil.
Rachel langsung mendengus, suaranya ketus. “Gua lagi gondok banget, Sher. Gara-gara si Citra itu!”
Sherly mengernyit di ujung sana. “Si anak baru? Halah… kenapa emangnya?”
“Soal Dion, lah!” Rachel hampir berteriak, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Bantal empuk ditekan pakai tangannya.
“Gua udah tau dari tatapan Dion. Dia mulai… mikirin tuh anak. Dan gua nggak bisa diem aja, Sher!”
“Oke, oke. Jadi sekarang lo butuh gua? Mau gua bikin dia kapok?” Sherly langsung duduk tegak, nadanya berubah serius.
Rachel bangun lagi, matanya menyala penuh dendam.
“Iya. Lu ada rencana nggak sih? Gua pengen besok tuh anak nyesel udah sok-sokan narik perhatian Dion. Gue nggak peduli caranya apa—yang penting dia malu.”
Senyum tipis terdengar dari seberang. Sherly mendesis pelan, lalu suaranya terdengar penuh konspirasi. “Ada, sih. Gua udah kepikiran sesuatu… Besok pas OSPEK, kita bikin dia jadi bahan tontonan. Lo tenang aja, gua yang atur semua detailnya. Biar si Citra belajar kalau jangan main api sama Rachel, queen of IPS 2.”
Rachel menyeringai puas, meski nadanya masih tajam. “Good. Besok gua nggak mau liat muka dia tenang. Gua mau dia hancur, Sher.”
“Leave it to me, babe,” jawab Sherly dengan nada yakin.
Klik.
Telepon terputus.
Rachel bersandar lagi, senyum puas muncul di bibirnya. Tangannya meraih boneka beruang putih di meja, tapi genggamannya keras, seakan boneka itu pengganti Citra.
“Besok… lo liat aja, Citra. Lo bakal tau rasanya direbutin Dion sama gua.”
*
*
*
*
Pagi itu, halaman sekolah sudah ramai dengan murid-murid baru. Citra berjalan santai bersama Afifah, masih ngobrol soal yel-yel OSPEK sambil ketawa kecil.
“Cit, hari ini pasti lebih rame daripada kemarin. Gue deg-degan sumpah,” kata Afifah sambil merapikan jilbabnya.
Citra menepuk bahunya. “Tenang aja, Fah. Kita survive kok. Santai aja.”
Mereka berdua melangkah ke arah kelas. Tapi tanpa mereka tahu, tepat di atas pintu, sebuah ember besar berisi air comberan sudah dipasang dengan tali tipis. Sherly dan Rachel bersembunyi di balik lorong, menahan tawa licik.
“Sher, ini bakal epic banget. Begitu tuh anak masuk… byur! Habis dia,” bisik Rachel dengan senyum puas.
Sherly cekikikan. “Siap, queen. Siap-siap lihat muka cupunya jadi bahan ketawaan se-angkatan.”
Tapi tiba-tiba, Raka yang dari tadi nongkrong nggak jauh dari situ, melihat sesuatu yang mencurigakan. Tatapannya langsung tajam ke arah pintu. Dan saat Citra serta Afifah hampir melangkah masuk—
“Cit! Afifah! Awas!” teriak Raka lantang.
Tangannya spontan menarik keduanya menjauh dari pintu. Citra sempat kaget, “Loh, kenapa sih, Rak?!”
Tanpa menjawab, Raka meraih sapu panjang yang bersandar di tembok. Dengan sekali ayunan cepat, dia menghantam ember yang digantung di atas pintu.
BRUK!
Ember itu mental ke depan, dan isi air comberannya tumpah deras—tepat mengenai Rachel dan Sherly yang lagi intip di balik tembok.
“AAARGH!!!” teriak Sherly histeris.
“Ya ampun baju gue! IH BAU BANGET!!!” Rachel terpekik, wajah cantiknya belepotan air comberan hitam kotor.
Sementara itu, Citra dan Afifah melongo, nggak percaya sama yang barusan terjadi.
“Astaga… Rak, lu serius? Itu…” Citra nutup mulut, menahan tawa.
“Hahahha! Gila, karma secepet ini, ya Tuhan.” Afifah malah udah ngakak tanpa bisa ditahan.
Rachel gemetaran, mukanya merah padam karena malu. Beberapa anak kelas lain yang kebetulan lewat langsung menoleh, dan bisik-bisik mulai terdengar.
“Eh itu Kak Rachel sama Kak Sherly ya?” tunjuk Citra.
“Ya ampun, basah kuyup comberan!”
“Wkwk parah banget sih, ketauan banget abis ngerjain orang.”
Rachel menoleh ke arah Citra dengan tatapan membunuh, meski baunya udah nggak ketolong. “Lu… Citra! Lu yang—”
Belum sempet dia nyalahin, Raka langsung nyelutuk dingin, masih pegang sapu di tangannya.
“Jangan nyari kambing hitam. Kalo nggak niat ngerjain orang, lu nggak bakal kayak gini.”
Sherly yang masih jijik sama bajunya cuma bisa manyun, sementara Rachel terdiam, mukanya makin merah karena nggak bisa ngelawan.
Citra menghela napas, lalu menatap Raka dengan senyum tipis. “Thanks, Rak… lagi-lagi lu nyelametin gue.”
Raka pura-pura nyengir santai, tapi matanya jelas nyorot ke arah Rachel. “Santai aja. Gue nggak bakal tinggal diem kalo ada yang main kotor kayak gini.”
Rachel cuma bisa menggertakkan gigi, lalu berlari ke toilet bersama Sherly, meninggalkan jejak air comberan di lantai. Suara cekikikan anak-anak lain terus mengikuti mereka.
Citra, Afifah, dan Raka pun akhirnya masuk ke kelas dengan perasaan campur aduk—tegang, tapi juga puas karena jebakan licik itu gagal total.
Toilet Putri, beberapa menit setelah insiden.
Rachel berdiri di depan cermin, wajahnya kusut, rambutnya basah berantakan, dan blazer putihnya belepotan noda hitam pekat. Bau comberan masih menusuk hidung meski sudah coba disiram air berkali-kali.
“ARGHHH!!! Gue sumpah nggak nyangka bisa SEGAJEH ini!!!” teriak Rachel sambil membanting tisu basah ke lantai.
Sherly di sebelahnya sama-sama sibuk gosok-gosok rok abu-abunya yang basah. “Sial banget sumpah. Tadi gue udah feeling, Rak. Ember itu harusnya jatuhnya ke Citra, bukannya ke kita…”
Rachel menoleh dengan tatapan menusuk. “LO NGAPAIN GAGALIN, SHER?! Kan lo yang jaga tali! Seharusnya timing lo pas banget begitu dia masuk kelas!”
Sherly ikut emosi. “Eh jangan salahin gue doang dong! Tiba-tiba tuh si Raka sok jagoan pake sapu segala, siapa yang sangka dia bisa refleks gitu?!”
Rachel menghentakkan kakinya keras. “ARGH!!! Gue bener-bener malu banget. Semua orang ngeliat gue kayak badut tadi! Padahal gue yang paling anti jorok!”
Sherly pura-pura santai tapi jelas kesal juga. “Udah, Rak. Namanya juga gagal eksekusi. Kita masih punya banyak cara buat bikin si Citra itu nyesel.”
Rachel mendekat ke cermin, merapikan poni basahnya sambil menatap pantulan dirinya. Tatapannya penuh amarah, wajahnya memerah.
Dengan suara dingin, dia berucap pelan, “Oke. Kalo main biasa nggak mempan, kita bikin dia bener-bener jatuh. Bukan cuma jadi bahan ketawaan kayak tadi… tapi sampai dia nggak berani muncul lagi di sekolah ini.”
“Maksud lo?” tanya Sherly menoleh penasaran.
“Lo tau kan besok ada outbond OSPEK? Banyak kegiatan fisik di lapangan sama alam terbuka. Itu momen paling pas buat ngejebak dia. Lebih gampang, lebih natural… dan lebih sakit.” Rachel menyeringai, meski bajunya masih belepotan.
Sherly terdiam sejenak, lalu ikut tersenyum licik. “Hmm… gua suka tuh. Jadi seolah-olah kecelakaan.”
Rachel mengangguk pelan, matanya berkilat penuh dendam. “Tepat. Besok, Citra Asmarani bakal nyesel banget pernah eksis di depan Dion.”
Mereka berdua saling pandang, lalu tertawa kecil meski baunya masih menyengat.
Sementara itu, di luar toilet… ada dua siswi kelas lain yang tanpa sengaja mendengar percakapan itu. Mereka saling pandang dengan wajah kaget.
*