Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan Ancaman di Tengah Malam
Besok harinya.
Hari itu hujan turun deras. Seolah langit pun turut menangisi luka yang mengoyak dada Vanesa. Di depan ruang IGD, ia terduduk lemas, bajunya basah oleh air hujan . Koper kecil berada di sampingnya, basah kuyup, nyaris terlupakan.
"Papi... bertahanlah..." bisiknya lirih, suaranya terendam isak yang tak bisa ditahan. Dokter baru saja membawa Papinya ke ruang operasi setelah memastikan jantung pria tua itu membengkak akibat serangan mendadak.
Vanesa memeluk tubuhnya sendiri. Dingin. Bukan hanya karena cuaca, tapi karena ketakutan dan kegelisahan yang menggigit dari segala arah. Matanya kosong menatap layar ponsel yang tiba-tiba menyala.
[Waktumu hanya tersisa beberapa jam lagi.]
Tenggorokannya tercekat. Nomor asing itu... bagaimana mereka bisa menghubunginya? Belum sempat ia berpikir, pesan berikutnya masuk.
[Jika besok pagi kamu tidak membawa satu miliar, ayahmu yang berbaring itu akan jadi mayat.]
Jantung Vanesa berdegup kencang. Dunia seperti memutar terlalu cepat. Ia menatap layar ponsel seperti menatap kematian. Tangannya gemetar.
[Apa kamu mendengarku? Kenapa kamu diam saja?]
Satu tarikan napas panjang.
[Baik, Pak.]
Suaranya tercekat ketika ia melihat wajah Papinya yang lemah lewat kaca ruang ICU. Ia berdiri perlahan, menyeka air mata yang mulai memburamkan pandangan.
"Aku akan cari bantuan, Pi... aku tidak akan biarkan mereka menyakitimu lagi."
*
Di sisi lain.
Gudang tua di pinggiran Jakarta Timur dipenuhi aroma besi berkarat dan oli. Di sanalah Zein, adik Vanesa, disekap. Kaki dan tangannya terikat. Wajahnya lebam, namun sorot matanya tetap tajam.
Salah satu preman mengacungkan batang besi. "Kau pikir kau jagoan ya, bocah? Masih bisa senyum setelah dihajar?"
Zein menyeringai, darah segar merembes dari sudut bibirnya. "Kalian boleh pukul aku, tapi itu nggak akan menambah uang sepeser pun."
Preman itu tertawa, memukul dinding dekat kepala Zein. "Berani juga kau. Tapi nyawamu tak semahal mulutmu."
Zein menarik napas dalam. "Kalau kalian lepaskan aku, aku akan bayar utang Papi. Tapi kalau kalian terus begini, kalian cuma makin nambah masalah."
Laki-laki botak yang duduk di sudut ruangan hanya tertawa kecil. "Liat nih bocah. Nggak ada takutnya. Tapi sayangnya, bos kami bukan tipe orang yang sabar."
Sementara itu, di lantai tertinggi sebuah apartemen mewah , Gavin menatap langit dari balik jendela kaca besar. Tangan kanannya memegang gelas wine, sementara sebelah kirinya menggenggam ponsel.
"Felix," suaranya dalam dan dingin. "Cari tahu apa yang dilakukan Vanesa. Aku ingin tahu dalam satu jam."
"Siap, Bos. Tapi... wanita itu menolak bantuan kita kemarin."
Gavin memejamkan mata. Wajah Vanesa terbayang jelas. Luka, dingin, kecewa. Bukan karena Gavin, tapi karena pengkhianatan hidup yang bertubi-tubi.
"Aku tidak peduli. Aku bilang cari tahu, maka cari tahu."
"Baik, Bos."
Gavin menyandarkan kepala ke kaca. Malam terlalu sunyi, namun pikirannya gaduh. Ada sesuatu dalam diri Vanesa yang membuatnya tak bisa pergi. Ia sudah bersumpah tidak akan menawarkan bantuan lagi. Tapi jika perempuan itu hancur, hatinya pun tak akan selamat.
"Vanesa... kalau kau terus menolak, aku sendiri yang akan menyeretmu kembali ke hidupku."
Pagi menjelang. Hujan semalam menyisakan aroma tanah basah. Vanesa berjalan terburu-buru meninggalkan rumah sakit. Rambutnya dikepang seadanya, matanya merah karena semalaman tak tidur.
Ia menyusuri gang kecil menuju alamat yang dikirim orang misterius itu semalam. Sebuah rumah tua, berpagar besi berkarat, dan gerbang kayu yang nyaris roboh.
Di depan gerbang, seseorang berdiri. Wajahnya tak asing. Felix.
"Nona Vanesa, Anda harus ikut saya."
Vanesa menatapnya dengan mata tajam. "Aku tidak butuh bantuan siapa pun. Pergi!"
"Kami tahu tentang pesan itu. Kami tahu siapa yang menyekap adik Anda. Bos kami—"
"Bilang pada Gavin, aku bukan bagian dari permainannya lagi. Aku akan menyelesaikan ini sendiri."
Felix menghela napas, lalu menekan tombol di earphone-nya. Tak lama, suara Gavin terdengar samar.
"Beri dia telepon."
Felix mengulurkan ponselnya.
Vanesa ragu, tapi akhirnya menerima.
"Apa lagi, Gavin?"
Suara Gavin terdengar dingin. "Jangan bertindak bodoh. Ayahmu butuh pengobatan segera. Kau mau menjual organmu?"
"Kalau perlu."
"Kau keras kepala, Vanesa."
"Dan kau pengontrol. Aku bisa urus diriku sendiri."
"Salah satu dari kita harus menyerah. Dan kau tahu, aku tidak pernah kalah."
Klik. Vanesa menutup telepon itu dan mengembslikanya pada Felix.
Sementara itu, Gavin menatap layar laptopnya. Lokasi gudang tempat Zein disekap sudah ditemukan. Ia mengetik perintah singkat ke sistemnya.
“Lakukan sesuai rencana jangan bertindak bodoh. Jangan sampai dia tahu kalau ini perbuatanku. Buat dia yakin kalau hidup keluarganya dalam masalah. Aku ingin bocah itu hidup.”
Felix dan tim mengangguk patuh. Mobil-mobil hitam meluncur seperti panah menuju arah gudang.
*
Zein menatap jam tangan kecil yang masih ada di pergelangan kirinya. Detiknya terasa seperti hukuman. Ia tak tahu berapa lama lagi ia akan bertahan.
Tiba-tiba, suara mesin mobil menghentak dari luar. Para preman berdiri sigap. Satu dari mereka membuka jendela kecil.
“Mobil hitam... banyak!”
Sebuah granat asap dilempar ke dalam. Seketika ruangan penuh kabut putih. Tembakan peringatan terdengar, membuat semua orang panik.
Zein hanya mendengar suara orang bertarung. Lalu seseorang membebaskannya. Ia hanya bisa melihat bayangan—dan mendengar suara Felix.
“Tenang, kami membawamu dari sini.”
Vanesa kembali ke rumah sakit. Namun setibanya di sana, perawat menyodorkan pesan dari seseorang yang mengaku kenal dengannya.
Kertas kecil itu bertuliskan:
“Nyawamu ditunda, bukan diselamatkan. Kita belum selesai.”
Jantungnya nyaris copot.
*
Di malam yang sama, Gavin kembali ke apartemennya. Duduk di depan meja makan, sendiri. Angin dari balkon membawa bau hujan dan malam yang membatu. Lalu ponselnya berdering.
"Bos, Vanesa tetap menolak bantuan kita."
Gavin menghela napas. "Baiklah. Tapi pastikan dia tidak mati. Ikuti dia diam-diam. Kalau ada yang mendekat, hancurkan. Lakukan pada adiknya,saya yakin dia akan menyerah.”
Gavin berdiri, menatap langit gelap. Pikirannya berkelindan.
“Wanita itu mungkin keras kepala... tapi keras kepala itulah yang membuatnya menarik.”
Vanesa menatap ke luar jendela kamar rawat Papinya. Malam mulai larut. Ia tahu tak ada waktu.
Lalu ponselnya berbunyi lagi. Kali ini bukan pesan. Sebuah video.
Zein. Terikat lagi. Kali ini di tempat berbeda. Seseorang menyentuh dagunya, mendongakkan wajahnya ke kamera.
“Buktikan sayangmu pada keluarga. Waktumu tinggal satu hari.”
Vanesa menjerit dalam diam. Ia tak tahu siapa lagi yang bisa ia percaya. Tak tahu ke mana harus pergi.
Ia bigung, panik dan otaknya seolah mogok untuk berpikir. Ia berjalan mondar-mandir seperti setrikaan.
“Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin adikku mati. Pada siapa lagi aku harus minta tolong?”
Vanesa merasa otaknya ingin meledak. Tiba-tiba ia berhenti, mengingat hanya ada satu nama. Tempat satu-satunya untuk dia minta tolong.
Gavin.
“Baiklah aku akan menelan ludahku sendiri, aku mengingkari janjiku, semua demi adikku, iya… ini demi adikku,” ucapnya menyakinkan diri sendiri.
Vanesa menghela napas, memejamkan mata. Ia mengeluarkan ponselnya. Dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan singkat.
[Kalau kamu masih peduli, tolong temui aku. Satu kali saja. Gavin.]
[ Baik, datanglah]
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini