Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 – Ada yang Tidak Kita Sadari
Kami nggak ingat persis kapan berhenti lari. Seolah kaki bergerak sendiri, cuma ngikut naluri buat menjauh dari suara itu. Nafas ngos-ngosan, dada sakit, tapi rasa takut jauh lebih besar daripada capek.
Lintang yang paling dulu ngeh akhirnya berhenti duluan. “Stop! Stop! Jangan lari asal!” teriaknya.
Kami semua ngerem mendadak, hampir saling tabrak. Kabut mulai menipis—nggak hilang, tapi nggak seperti tadi yang nutup muka. Hutan perlahan kelihatan lagi, meski cahaya headlamp bikin semuanya tampak kontras.
Dimas nyandar ke pohon, suara napasnya kasar. “Gue… sumpah… kita turun. Kita turun sekarang,” katanya sambil nahan mual campur takut.
Sari cuma nangis kecil tanpa suara. Arif duduk lemas sambil nutup wajah dengan dua tangan. Aku sendiri rasanya mau muntah, tapi perut kosong.
Lintang masih berdiri, menatap ke jalur belakang. “Kalau kita lari tanpa lihat peta, bisa-bisa malah makin masuk ke dalam.”
“Lah terus kita ngapain tadi, Lin?” Arif menatapnya putus asa.
Lintang nggak jawab. Dia sadar dia juga panik tadi.
Cahaya headlamp memperlihatkan papan kecil di batang pohon tua di dekat kami—papan penanda untuk pendaki. Hurufnya kehapus sebagian, tapi masih kebaca:
> → POS 2
← BASECAMP
Kami semua nahan napas. Lintang langsung cek arah panah. Yang bikin kami tambah pucat:
Arah yang kita lari barusan bukan mengarah ke basecamp.
Kita justru lari ke arah pos dua.
“Jadi… kita malah makin naik?” gumam Sari, hampir nggak percaya.
Nggak ada yang jawab. Karena jawabannya udah jelas.
Arif bangkit. “Yuk. Balik ke bawah. Sekarang.”
Dimas menarik ranselnya, udah siap turun. Tapi baru dua langkah… dia berhenti.
“Aneh,” gumamnya.
“Apa lagi?” tanyaku, frustrasi.
Dimas mengambil ponsel dari saku samping ranselnya. Aku pikir dia cuma mau cek waktu—tapi bukan itu.
“Jamku mati,” katanya.
“Ya mungkin baterai habis,” jawab Arif.
“Jam tangan gue bukan digital, Rif.”
Semua langsung diem.
Aku spontan cek jamku sendiri. Jarumnya diam di jam 19:57 — sama persis kaya tadi waktu kita masih duduk di tengah kabut.
Sari buru-buru lihat HP. Layarnya nyala, tapi jamnya juga 19:57. Padahal kita udah lari lama banget, pasti lebih dari tiga menit.
Lintang pelan-pelan buka tutup kopernya dan ambil jam kecil kompas yang biasa dia bawa buat navigasi. Jarumnya muter perlahan lalu berhenti… di posisi 19:57 juga.
“Ini nggak masuk akal,” katanya.
Sari mulai panik lagi. “Jadi… waktu berhenti? Di gunung? Apa maksudnya?”
Dimas nutup mata sebentar. “Nggak… ini mungkin cuma gangguan sinyal elektromagnetik atau—”
Aku memotong, nggak tahan. “Dim, lu masih mau jelasin semua pake logika? Dari tadi kita dengar suara, kabut turun tiba-tiba, jejak kaki aneh, bayangan, langkah tambahan—”
Lintang nimpalin, dingin, “Dan sekarang waktu berhenti.”
Nggak ada lagi yang coba ngejelasin pake sains.
Kami memutuskan istirahat dulu, bukan karena mau, tapi karena badan udah lemes banget buat ambil keputusan. Kalau jalan sambil panik, tambah kacau.
Beberapa menit kemudian, Arif memperhatikan sesuatu yang bikin darahku dingin.
“Guys…” suaranya serak. “Satu dari kita bajunya beda.”
Kami semua spontan lihat pakaian masing-masing.
Sari jaket merah
Arif jaket hitam
Dimas jaket biru
Aku jaket abu-abu
Lintang… jaket hijau
“Yang beda siapa?” tanya Sari panik.
Arif menggeleng cepat. “Bukan gitu maksud gue.”
Dia nunjuk ke tanah, tepat di belakang kami.
Jejak kaki.
Yang baru.
Dan… jumlahnya enam.
Jejak sepatu kami berempat jelas. Jejak Lintang juga ada. Lalu satu lagi—jejak sepatu besar, bentuk tapaknya beda, jaraknya panjang, langkahnya teratur.
Arif lanjut dengan suara serak, “Yang aneh bukan bentuk jejaknya… tapi dari mana dia mulai.”
Lintang jongkok buat lihat lebih dekat.
Jejak tambahan itu nggak datang dari samping.
Nggak muncul dari hutan.
Nggak dari arah jalur depan atau belakang.
Jejak itu pertama kali muncul tepat di tengah-tengah jejak kami berlima—seolah satu sosok tiba-tiba “muncul” di antara kami tanpa datang dari mana pun.
Aku bener-bener merinding sampai tangan dingin.
Sari udah nggak nangis lagi. Air matanya habis. Yang tersisa cuma shock.
“Kita harus kembali ke basecamp,” katanya lirih. “Entah gimana caranya. Aku nggak peduli harus muter jauh.”
Lintang akhirnya ambil keputusan. “Oke. Kita turun. Tapi harus rapat. Jangan ada yang paling depan atau paling belakang sendirian. Formasi U. Dimas sama aku depan, Raka sama Arif tengah, Sari belakang tapi diapit.”
Semua setuju. Kami atur ulang tas, headlamp, dan mulai ambil langkah pelan ke arah yang menunjuk BASECAMP.
Dua menit pertama lancar. Nggak ada suara aneh. Kabut makin tipis.
Sampai tiba-tiba… Sari berhenti.
“Apa lagi?” Dimas memutar badan.
Sari nggak jawab. Dia cuma nunjuk ke papan penunjuk arah di dekat kami.
Awalnya aku nggak ngerti apa yang dia maksud.
Lalu aku sadar.
Itu papan yang sama seperti sebelumnya.
Posisi pohon sama. Arah panah sama.
Tulisan samar → POS 2
dan ← BASECAMP
Arif langsung mundur. “Nggak… nggak mungkin… kita tadi udah jalan lurus.”
Lintang ngusap wajahnya stres. “Nggak mungkin kita muter. Kita jalan lurus tanpa belok.”
Sari tiba-tiba bicara pelan, nada kosong, seperti ucapan orang yang akhirnya menyerah.
“Mungkin kita nggak nyasar ke hutan… tapi hutan yang narik kita.”
Waktu aku mau menyangkal… hening itu datang lagi.
Angin hilang. Serangga hilang. Semua suara hilang.
Lalu terdengar langkah kaki.
Pelan… mantap… pasti…
Langkah kaki keenam.
Dari belakang.
Lintang langsung teriak, “Jangan nengok! TERUS JALAN!”
Tapi rasa penasaran dan ngeri bikin tubuhku spontan menoleh sedikit… cuma sedikit.
Dan aku ngelihat.
Enam orang sedang jalan.
Bukan lima.
Di belakang Sari… ada sosok tinggi. Badannya hitam oleh bayangan. Langkahnya lambat tapi konsisten. Kepalanya sedikit miring seolah mengamati kami satu per satu.
Yang paling bikin otakku seperti berhenti bekerja:
Dia jalan tanpa suara sama sekali.
Tapi suara langkah kaki keenam itu tetap terdengar.
Bukan dari langkah kakinya.
Seolah suara itu bukan berasal dari fisik… melainkan mengikuti dia.
Sari nggak sadar apa pun. Dia nggak lihat sosok itu.
Aku mau teriak tapi tenggorokan seperti terkunci.
Lintang juga ngelihat. Aku tahu dari sorot matanya yang tiba-tiba hancur.
“Raka,” bisiknya tanpa menoleh, “jangan bilang apa-apa. Kalau dia tahu kita sadar, habis.”
Kami terus jalan.
Sosok itu ikut di belakang Sari, tanpa memedulikan kami yang panik hampir pingsan.
Sampai akhirnya kabut menutup lagi dan sosok itu… menghilang begitu saja.
Tapi langkah kaki keenam masih terdengar.
Dan baru di titik itu, aku sadar hal yang paling menakutkan malam itu bukan karena ada “yang mengikuti kami”.
Tapi karena sejak awal pendakian…
dia selalu bersama kami.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor