Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata aku cinta pertamanya
Setelah penemuan digital di laptop lama milik Erick, Aluna tahu ia tidak bisa lagi hidup dalam asumsi dan ketakutan.
Rasa bersalahnya yang menjalar, dan rasa ingin tahu masa lalu.
Ia harus melihat kafe itu, tempat dimana cintanya yang sesungguhnya pertama kali bersemi, jauh sebelum ia menyadarinya. Ia harus menemukan akar dari kebekuan yang hampir menghancurkan mereka.
Pagi itu, Aluna harus menenun kebohongan yang rumit untuk bisa lolos dari pengawasan posesif Erick.
“Rick, aku harus bertemu dengan teman lama di luar kantor. Tentang charity lama yang pernah kubuat. Mereka hanya bisa bertemu di daerah kampus.” Aluna berbohong, menatap mata suaminya dengan kehangatan yang meyakinkan. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri, tetapi ini demi kebenaran yang lebih besar.
Erick mengernyit, memproses informasi itu dengan kecurigaan yang tersisa dari trauma penolakan tawaran kerja. Namun, ia tidak berani menolak sepenuhnya. Ia hanya mengencangkan pelukannya di pinggang Aluna.
“Baiklah. Tapi kau harus share location dan telepon aku setiap jam,” perintah Erick, nadanya memohon.
“Kau tidak boleh menghilang, Lun. Tidak boleh.”
Aluna menyetujuinya dengan cepat, mencium pipinya. “Tentu, Sayang. Aku janji.”
Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak hanya melarikan diri dari Erick yang sekarang, ia melarikan diri ke masa lalu Erick, mencoba mengejar bayangan cinta yang terpendam.
Perjalanan ke kafe tua di dekat bekas kampusnya terasa seperti perjalanan melintasi dimensi.
Jalanan yang dipenuhi toko buku usang dan warung kopi kecil itu seolah menolak pengaruh waktu 2025.
Aluna menemukan kafe itu. Namanya Liberia Kopi.
Tempat itu hampir tidak berubah. Rak buku tua, sofa beludru merah yang usang, dan aroma kuat biji kopi panggang yang dicampur dengan kelembapan buku lama. Itu adalah surga sunyi bagi mahasiswa yang mencari pelarian.
Saat Aluna melangkah masuk, lonceng di atas pintu berdenting pelan. Seorang wanita paruh baya, ramah, dengan rambut dikuncir yang sedikit beruban dan celemek denim, muncul dari balik meja kasir.
“Aluna?” tanya wanita itu, matanya melebar tak percaya, seolah melihat hantu.
Air mata Aluna seketika menggenang. Wanita itu adalah bu Liliana pemilik kafe, yang dulu sering memberikannya diskon besar karena melihat betapa kerasnya ia belajar sambil bekerja sambilan.
“Bu Lili,” lirih Aluna, rasa lelah akibat semua kebohongan itu tiba-tiba terangkat oleh kejujuran pertemuan ini.
Mereka berpelukan, rasa kehangatan dan kejujuran di pelukan bu Lili terasa seperti penawar racun dari kebohongan yang ia jalani selama ini.
“Astaga, kau tidak pernah berubah! Hanya lebih elegan,” ujar bu Lili, tersenyum nostalgia.
“Aku sudah lama tidak melihatmu sejak kau… kau lulus dan menikah. Kenapa kau tidak pernah mampir? Kami selalu ingat anak arsitektur yang selalu menulis di buku kulit itu.”
Aluna duduk di kursi dekat jendela, tempat favoritnya dulu. Ia memesan kopi pahit, seperti yang biasa ia minum saat dikejar deadline.
Aluna tahu ia harus hati-hati. Ia tidak bisa menyebut nama Erick secara langsung. Ia harus memancing.
“Bu Lili, saya jadi rindu masa-masa kuliah. Saya ingat, saya sering menulis draft ide desain di sini. Saya ingat dulu saya membawa buku jurnal bersampul kulit.” Pancing Aluna, memegang cangkir kopi pahitnya.
Bu Liliana tertawa kecil, menyajikan kopi.
“Tentu saja! Aku selalu tahu kalau kau sedang patah hati dengan desainmu, kau akan memesan kopi ekstra pahit.”
Aluna mengangguk. “Saya juga penasaran… apakah dulu ada pelanggan tetap yang sering duduk di sini? Saya jarang memperhatikan orang lain.”
Bu Liliana menyeka meja dengan kain, matanya menerawang ke masa lalu yang romantis.
“Oh, banyak. Tapi ada satu yang istimewa. Seorang pemuda. Sangat pendiam, selalu membawa laptop dan dokumen tebal. Dia akan datang setiap hari, dari jam tiga sore sampai kau pergi.”
Aluna merasakan darahnya mendingin. Setiap hari. Sesuai dengan bukti yang ia temukan.
“Dia duduk di mana?” tanya Aluna, menahan nafas.
Bu Liliana menunjuk ke sudut kafe, di balik rak buku, sudut yang jauh dari jendela Aluna, tetapi memiliki pandangan yang jelas ke arahnya.
“Dia selalu duduk di pojok sana,” kata Bu Liliana. “Dia tidak pernah memesan apa pun selain teh hitam. Dia tidak pernah bicara dengan siapa pun. Dia hanya duduk, bekerja di laptopnya, dan… dia akan melihatmu.”
“Melihat saya?” Aluna tidak percaya betapa besarnya cinta stalking ini.
Bu Liliana tersenyum penuh arti. “Ya, Nak. Saat kau sedang menulis, saat kau sedang tertawa dengan teman-temanmu, atau bahkan saat kau menangis karena frustasi dengan desainmu. Dia akan menutup laptopnya, hanya untuk melihatmu.”
Air mata Aluna menggenang lagi. Ini adalah konfirmasi yang brutal dan indah.
Erick yang dingin dan arogan itu, yang selalu menganggap dirinya terlalu sibuk untuk hal-hal remeh, menghabiskan waktu untuk mengamati Aluna secara diam-diam.
“Apakah… apakah dia pernah bicara pada Ibu tentang saya?” tanya Aluna, suaranya nyaris berbisik.
Bu Liliana mendekat, suaranya lebih pelan dan intim.
“Pernah. Hanya sekali. Aku pernah menegurnya karena dia terus duduk di sini, hanya memesan satu teh selama empat jam. Aku khawatir dia tidak punya uang.”
Aluna mencondongkan tubuh, ingin tahu.
“Aku bertanya kenapa dia tidak bicara padamu, dia selalu terlihat murung saat kau pergi. Dan dia bilang…” Bu Liliana berhenti, tersenyum dengan kelembutan seorang ibu.
“Dia bilang…”
“Gadis itu terlalu murni, Bu. Dia terlalu penuh semangat. Saya takut mendekatinya. Saya takut dunia saya yang penuh perhitungan akan menghancurkan idealismenya. Saya hanya butuh melihatnya agar saya ingat apa yang harus saya perjuangkan.”
Aluna merasakan pukulan dahsyat yang menyentuh inti jiwanya. Kata-kata itu. Idealismenya. Semangatnya. Itu adalah Aluna yang diakui dan dicintai oleh Erick yang amnesia saat mereka menonton film.
Erick yang lama tidak membenci Aluna. Ia mencintainya begitu dalam, hingga ia takut untuk memilikinya, dan memilih untuk mengamati dari kejauhan.
Pernikahan mereka terjadi bertahun-tahun kemudian, kemungkinan besar karena ego untuk memiliki trofi yang telah ia amati, mengabaikan cinta yang idealis itu.
Aluna terdiam, mencoba menenangkan napasnya. Kisah yang diceritakan bu Liliana lebih romantis, dan lebih tragis, daripada skenario terburuknya.
“Apakah Ibu ingat namanya?” tanya Aluna, suara tenggelam.
“Oh, aku ingat. Dia sering lupa membawa kartu nama, jadi aku menyimpan foto darinya untuk berjaga-jaga,” kata bu Liliana.
Bu Liliana menunjuk ke dinding di sebelah rak buku. Di sana, di antara foto-foto lama kafe, ada sebuah foto kecil berbingkai kayu, tampak usang dan penuh kenangan.
Foto itu adalah Erick yang masih muda, dengan mata tajam dan canggung yang sama seperti yang dilihat Aluna di folder Archive tadi malam. Foto itu diambil di kafe itu sendiri, di sudut terpencil tempat ia mengamati.
Bu Liliana tersenyum lebar, menunjuk foto itu.
“Dia bilang, dia akan menjadi sukses besar untuk membuktikan dia layak untukmu. Dia bilang, kau adalah semangatnya,” bisik bu Liliana.
“Kau tahu, Nak? Cinta pertamanya adalah melihatmu menulis di kafe ini.”
Air mata Aluna mengalir deras. Ia tidak mencuri hati Erick. Ia telah menemukan kembali cinta yang terpendam itu.
Tetapi, ia juga menyadari, jika cinta itu begitu kuat, mengapa pernikahan mereka berakhir dingin?
Kebenaran itu kini terasa sangat menakutkan, jauh lebih menakutkan daripada yang bisa ia bayangkan.
Masih ada kepingan yang hilang, kepingan yang mengubah cinta obsesif ini menjadi keinginan untuk berpisah.