Alan ... menikahlah dengan Delila, ku mohon! Aku sangat mencintai anakku Delila, aku paling tidak bisa terima bila dia di permalukan. Nelson Jocelyn
Saya tidak mau karena saya tidak mencintainya. Alan Hendra Winata
Maaf, maafkan aku telah menyeretmu ke dalam masalah besar ini. Delila Jocelyn
Pernikahan yang tak di inginkan itu apakah tumbuh benih-benih cinta atau hanya akan ada rasa sakit yang menjalar di antara keduanya?
Yang penasaran dengan ceritanya langsung saja kepoin ceritanya disini yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bilqies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengingat Kembali
"Delila, kamu ngerasa berat nggak sih pulang?" tanya Alan.
"Sedikit, tapi bagaimana pun juga kita harus menghadapi kenyataan yang ada di hadapan kita," jawab Delila.
Delila sangatlah polos hingga hal seperti itu dia tak paham perihal ucapan Alan padanya. Bukan itu yang di maksud Alan, bukan karena takut menghadapi kenyataan. Melainkan dia akan merindukan tempat ini dan kebersamaan dengan sahabat barunya. Alan sangat yakin hal itu bahwa dia akan merindukan beberapa hari yang telah mereka lalui. Meskipun dia tahu bahwa luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh tapi Alan akui beberapa hari terakhir ini, dia bisa lebih tenang dari sebelumnya.
🌷🌷🌷
Hari kepulangan pun telah tiba, Lucas dan Luna telah sampai di apartemen mereka. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menyalakan kembali ponsel mereka yang sudah lama di nonaktifkan.
Mendadak raut wajah Lucas menegang, entah ada berita apa yang membuat wajahnya berubah seperti itu.
Sedangkan Luna sendiri, dia mendapatkan beberapa pesan dari nomor yang tak di kenal, salah satunya berupa cacian dari Tuan Nelson selaku ayah angkatnya. Luna meraup kasar wajahnya, dia begitu frustasi dengan apa yang menimpanya saat ini. Dan itu semua akibat ulahnya sendiri yang kurang bersyukur atas apa yang telah di berikan keluarga Jocelyn padanya. Hingga dia tega merebut Lucas dari Delila hanya karena status sosial dan juga harta yang di miliki Delila.
🌷🌷🌷
Begitu juga dengan Alan dan Delila, kini mereka baru saja mendarat di bandara Internasional Soekarno-Hatta, mereka tengah duduk berdua menunggu jemputan.
Tak ada sepatah kata apapun yang keluar dari bibir mereka untuk tinggal dimana dan bagaimana. Keduanya terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Saat ini mereka tengah menikmati minuman dingin berharap bisa mendinginkan kepala mereka.
Tak lama kemudian datanglah asisten pribadi Daddy Nelson yang bertugas untuk menjemput mereka. Dan mengantarkan mereka ke rumah baru yang akan mereka tempati. Rumah itu telah di siapkan Daddy Nelson untuk mereka sebagai hadiah pernikahan.
Sebuah rumah dua lantai dengan empat kamar tidur dengan desain yang minimalis modern dan terletak di sebuah kawasan elit kota Jakarta.
"Apa rumah ini yang seharusnya kamu dan dia tempati?" tanya Alan begitu sampai. Terlihat jelas raut wajah Alan yang tak suka.
Delila sempat terdiam beberapa saat, hingga akhirnya dia menjawab pertanyaan Alan yang membuat lelaki itu lega.
"Mmm ... bukan karena seharusnya saat ini aku tinggal di rumah dia ketika kami menikah," jawab Delila.
Benar saja ucapan Delila berhasil membuat Alan bernafas lega. Sebab Alan tak ingin menempati sesuatu yang seharusnya menjadi milik lelaki yang telah dia benci.
"Apa kamu keberatan tinggal disini? Sebenarnya kamu bisa lakukan apapun yang kamu mau. Kamu bisa tinggal dimana pun, asalkan itu membuatmu nyaman. Aku tidak akan menghalangi mu."
Alan terdiam sebentar, tampak dia memikirkan apa yang Delila katakan. Meskipun dia sedikit ragu, tapi kesepakatan antara dia, Delila, dan juga Daddy Nelson mengharuskan mereka tinggal bersama bukan?
"Aku nggak keberatan kok Delila. Setidaknya kita ada teman untuk saling berbagi," jawab Alan.
"Hmm ... baiklah kalau begitu, ayo kita masuk. Kamu bisa pilih kamar manapun yang kamu suka," ucap Delila.
Seketika Alan terdiam, dia tak langsung menjawab pertanyaan Delila. Kini Alan hanya menatap lekat wajah Delila yang begitu teduh. Perkataan Delila berhasil menggangu pikirannya. Ada keraguan di hati Alan namun dia mencoba menepis rasa itu. Sebelum akhirnya Alan memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa kita akan tidur terpisah, Delila?" tanya Alan hati-hati dengan tatapan mata yang tak bisa Delila artikan.
"Mmmm ... a-aku terserah padamu," jawab Delila terbata. Kini kedua telapak tangannya sudah mulai basah akan keringat karena gugup.
'Ya ampun, Delila ... kamu harus tenang ... tenang ... nggak boleh gugup.'
Ucapan Alan membuat detak jantung Delila bekerja ekstra, dadanya berdebar kencang.
Seketika Alan tersentak kaget, lelaki itu mulai sadar dari lamunannya. Melihat Delila gugup tentu saja ucapannya terlalu mengagetkan.
"Mmm ... maaf maksudku nanti siapa yang akan membangunkan ku saat subuh dan menyediakan minum," jelas Alan memberikan penjelasan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. Kini giliran Alan yang merasa detak jantungnya berdetak tidak sinkron.
"Jangan khawatir, aku akan membangunkanmu," jawab Delila cepat.
'Astaga Alan, apa yang kamu lakukan?'
"Maafkan aku Delila ... tentu saja kita akan tidur terpisah. Tapi bolehkah kamar kita berdekatan?" tanya Alan lagi.
"Ten ... tentu Alan. Kamar di lantai atas saling berseberangan. Nanti aku akan membangunkanmu," balas Delila yang masih dengan rasa gugupnya.
"Dan aku tak akan pernah mengunci kamarku," timpal Alan.
Keduanya pun jalan beriringan menaiki anak tangga menuju kamar mereka masing-masing. Dua orang pelayan membawakan koper Alan dan Delila.
Alan memasuki kamarnya yang begitu luas dan rapi dengan nuansa putih yang terlihat menenangkan. Ranjang king size dengan meja kecil di sisi kiri dan kanannya, serta dua jendela besar dengan tirai yang berwarna senada. Terdapat sebuah meja kerja di sana, sepertinya kamar ini khusus di peruntukan baginya.
Alan membuka kopernya dan mengeluarkan satu persatu barang miliknya sembari terus memikirkan apa yang dia ucapkan tadi.
'Ya Tuhan ... apa yang kamu lakukan Alan? Bodoh banget sih, pastilah Delila tidak mau.'
Alan merasa malu sekarang, dia masih ingat jelas bagaimana wajah terkejut Delila tadi dan dia juga tak mengerti kenapa menanyakan hal seperti itu.
Tak sanggup lagi dia membenahi pakaiannya itu, dia memilih duduk di tepi ranjang dengan kepala yang penuh dengan Delila.
Sekilas ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari yang lalu di Bali. Waktu itu siang menjelang sore, sesuai janjinya Alan mengajari Delila berenang.
Alan lebih dulu memasuki kolam renang hanya menggunakan celana boxer dan Delila menyusul dengan memakai baju renang ala penyelam. Tak banyak bagian tubuh Delila yang terlihat, tapi penampilan Delila waktu itu bisa Alan bayangkan dengan sempurna.
"Pegang tanganku Delila," seru Alan.
Delila meraih tangan Alan dan memegangnya erat. Ini kali pertama bagi mereka bersentuhan secara langsung. Meskipun awalnya terasa canggung, tapi lama kelamaan terbiasa.
Cukup lama Alan mengajari Delila, hingga akhirnya Alan melepaskan tangannya karena dia yakin kalau Delila mulai bisa melakukannya. Tapi ternyata hal itu membuat Delila terkejut dan refleks Delila mendekati Alan kemudian mengalungkan tangannya pada leher suaminya itu sebagai pegangan.
Kini giliran Alan yang terkejut dengan apa yang di lakukan Delila padanya. Saat itu jarak mereka sangat dekat membuat Alan bisa menatap dengan intens wajah Delila. Tampak netranya yang berwarna dark hazel dan berbingkai dengan bulu mata lentik yang begitu indah.
Dalam hitungan detik pandangan mata mereka sempat terkunci, hingga membuat Delila lebih dulu sadar dan segera melepaskan rangkulannya.
"M- maaf Alan, aku belum berani melakukannya sendiri," ucap Delila terbata.
"Ngh ... gak apa-apa Delila. Ini semua salahku, seharusnya jangan aku lepaskan dulu," jelas Alan yang entah mengapa dirinya jadi gugup.
Dia kembali meraih tangan Delila dan memegangnya erat.
Alan pun tersenyum ketika mengingat moment itu.
.
.
.
🌷Bersambung🌷
yah dah di pastikan ini mah novel sering tahan nafas 😁😁😁😁
pantes kalau Lucas sma Luna