Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 > Di Bawah Perlindungan Varendra
Suara monitor kembali berdentang di ruang operasi, kali ini tidak lagi sekadar bunyi alat medis, melainkan seperti detak waktu yang menuntut keputusan hidup dan mati.
Bip…
Bip…
Bip…
Serene terbaring pucat, bibirnya bergetar, napasnya pendek-pendek. Tubuhnya terasa seperti dihantam ombak tanpa jeda, rasa sakit datang bergulung, membuatnya nyaris kehilangan kesadaran. “Raiden…” panggilnya lirih, suaranya seperti benang rapuh yang bisa putus kapan saja.
Raiden Varendra tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menjawab dengan kehadiran. Tangannya menggenggam tangan Serene erat, begitu erat seolah ingin memindahkan seluruh kekuatannya ke tubuh wanita itu. Tatapannya tidak berpindah dari wajah Serene, meski sudut matanya menangkap pergerakan panik para dokter di sekeliling mereka.
“Dengar aku,” ucap Raiden rendah, penuh tekanan yang menggetarkan. “Fokus padaku. Jangan dengarkan apa pun selain suaraku.”
Serene menatapnya, air mata mengalir deras, matanya merah dan basah. “Aku… aku takut kehilangan mereka…”
Raiden menunduk, ia menempelkan keningnya ke kening Serene, suaranya menurun menjadi bisikan penuh sumpah. “Aku tidak akan membiarkan dunia ini mengambil apa pun darimu.”
Sementara di balik kaca, dokter utama mengusap keringat di dahinya. “Kondisi bayi kedua masih fluktuatif,” katanya kepada tim. “Kita harus mempertahankan kestabilan ibu. Jika tekanan turun lagi-”
“Tidak akan turun.”
Semua mata teralih. Raiden menatap dokter itu dengan sorot mata yang tidak memberi ruang untuk kegagalan. “Lakukan apa pun yang diperlukan,” katanya dingin. “Gunakan seluruh sumber daya terbaik kalian. Jika perlu, datangkan spesialis dari mana pun, sekarang!”
Dokter itu menelan ludah. “Semua sudah kami kerahkan, Tuan Varendra.”
“Kalau begitu,” Raiden melangkah satu langkah lebih dekat, auranya menekan seluruh ruangan, “Pastikan tidak ada satu pun kesalahan.”
Tak ada yang berani menjawab. Karena mereka tahu... di hadapan mereka bukan sekadar suami yang cemas.
Melainkan pemilik kekuasaan yang bisa menentukan masa depan karier, hidup, bahkan keberadaan mereka.
Sementara itu, jauh di bawah lantai rumah sakit, ruang kendali keamanan Varendra bekerja tanpa henti.
Puluhan layar menampilkan berbagai sudut bangunan. Setiap pergerakan dicatat, dianalisis, dan ditindak. Arlo berdiri tegak, rahangnya mengeras. “Laporkan ulang status perimeter,” perintahnya.
“Sayap barat aman.”
“Sayap timur terkunci.”
“Deteksi sisa pergerakan di area parkir bawah tanah.”
Arlo menatap layar terakhir, matanya menyipit. “Zoom.”
Gambar diperbesar... dua bayangan bergerak cepat, mencoba menghindari kamera. “Konfirmasi,” ucap Arlo dingin. “Mereka bukan staf.”
Pengawal di sampingnya mengangguk. “Perintah, Tuan?”
Arlo menekan alat komunikasinya. “Tuan Varendra,” katanya dengan suara rendah namun tegas, “Masih ada dua target aktif.”
Beberapa detik hening. Lalu suara Raiden masuk dengan tenang, bahkan terlalu tenang. “Jangan biarkan mereka mendekati lantai atas.”
“Dan... jika mereka mencoba kabur?”
Raiden tidak langsung menjawab. Namun ketika jawabannya datang, udara di ruang kendali terasa lebih dingin. “Pastikan mereka mengerti satu hal,” katanya. “Kesalahan malam ini… tidak akan terulang.”
Arlo mengangguk. “Mengerti, Tuan.”
Kembali ke ruang operasi. Serene mengerang pelan, tubuhnya menegang lagi saat kontraksi berikutnya datang. “Raiden…” suaranya pecah.
“Aku di sini,” jawab Raiden cepat. “Pegang aku.”
Serene menggenggam tangannya seolah itu satu-satunya jangkar di dunia. Monitor berbunyi lebih cepat. Dokter berseru, “Detak bayi pertama stabil! Bayi kedua... tunggu-naik!”
Satu kalimat itu terasa seperti cahaya di tengah kegelapan. Raiden menghembuskan napas berat yang bahkan ia sendiri tidak sadari ia tahan sejak tadi. Namun kegembiraan itu hanya berlangsung sesaat. Karena tiba-tiba... alarm lain berbunyi.
Alarm itu berbunyi dengan nada yang berbeda. Lebih tajam. Lebih mengancam. “Tekanan darah ibu turun!” teriak seorang perawat.
Serene memejamkan mata, tubuhnya melemah. “Serene!” panggil Raiden keras.
Ia menggenggam wajah Serene, memaksanya membuka mata. “Lihat aku!” perintahnya. “Kau harus tetap sadar!”
“Aku… lelah…” bisik Serene.
Kata itu membuat dada Raiden terasa diremas. Ia menoleh ke dokter, suaranya bergetar oleh amarah yang terkontrol. “Perbaiki. Sekarang!”
Dokter bergerak cepat, instruksi berhamburan. Namun di dalam diri Raiden, sesuatu retak. Ia sudah terlalu lama menahan. Terlalu lama bermain dengan aturan orang lain. Dan malam ini... aturan itu runtuh.
Raiden mengaktifkan jalur komunikasi privat. “Arlo.”
“Ya, Tuan.”
“Siapkan daftar.”
“Daftar apa, Tuan?”
Raiden menatap Serene, kemudian tatapan itu beralih ke arah monitor, lalu kaca ruang operasi. “Semua pihak,” katanya dingin. “Yang memiliki akses ke data medis istriku sejak hari pertama.”
Arlo terdiam sesaat. “Itu… akan melibatkan nama-nama besar.”
“Bagus,” jawab Raiden tanpa ragu. “Aku ingin mereka semua.”
Beberapa jam berlalu seperti mimpi buruk yang lambat. Serene akhirnya tertidur karena kelelahan ekstrem, tubuhnya masih dipantau ketat oleh alat medis. Raiden duduk di sampingnya, jasnya dilepas, kemeja putihnya sedikit kusut-penampilan yang jarang sekali ia perlihatkan di hadapan siapa pun. Ia mengusap rambut Serene dengan lembut, ekspresinya kontras dengan aura dingin yang selama ini melekat padanya.
“Kau kuat,” bisiknya. “Lebih kuat dari siapa pun.”
Dokter mendekat dengan langkah hati-hati. “Tuan Varendra,” katanya, “Kondisi istri Anda stabil untuk saat ini. Kedua bayi menunjukkan respons positif.”
Raiden menatapnya tajam. “Untuk saat ini,” ulangnya.
“Ya,” jawab dokter jujur. “Namun masih ada risiko. Kami menemukan indikasi adanya intervensi medis terdahulu.”
Raiden berdiri perlahan. “Jelaskan.”
Dokter menghela napas. “Ada jejak zat tertentu dengan dosis kecil, tapi konsisten. Dirancang untuk melemahkan kondisi kehamilan tanpa terlihat sebagai serangan langsung.”
Udara di ruangan itu terasa membeku. “Artinya,” lanjut dokter, “seseorang tidak ingin kehamilan ini berakhir cepat.”
Raiden mengepalkan tangan. “Mereka ingin apa?” tanyanya pelan.
Dokter ragu sejenak. “Mungkin… mengendalikan.”
Satu kata itu cukup membuat mata Raiden menggelap. “Mereka salah,” katanya lirih namun mengandung ancaman yang membuat bulu kuduk merinding. “Tidak ada yang bisa mengendalikan keluargaku.”
***
Tidak terasa malam hampir berganti pagi. Cahaya matahari pertama menyusup melalui celah jendela, memantul di wajah Serene yang tertidur. Raiden masih di sana. Tidak bergerak. Tidak meninggalkan istrinya sama sekali.
Tiba-tiba Arlo masuk dengan wajah tegang. “Tuan,” katanya pelan, “kami menangkap satu dari tim bayangan.”
Raiden menoleh perlahan. “Bawa ke mana?”
“Fasilitas bawah tanah,” jawab Arlo. “Dia ingin berbicara. Katanya… dia hanya pion.”
Raiden tertawa pelan namun terkesan dingin, tanpa humor. “Mereka semua pion,” katanya. “Masalahnya… siapa yang menggerakkan papan.”
Arlo menunduk. “Ada satu lagi hal, Tuan.”
Raiden mengangkat alis. “Kami menemukan keterlibatan internal,” lanjut Arlo. “Seseorang dari lingkar medis elit.”
Raiden menatap Serene lagi. Tatapan itu dipenuh sumpah. “Kalau begitu,” katanya pelan, “bersihkan!”
Arlo terdiam sesaat. “Sampai sejauh apa, Tuan?”
Raiden berdiri. Bayangannya jatuh panjang di lantai. “Sampai tidak ada satu pun yang berani menyebut nama istriku tanpa gemetar.” Raiden kembali ke sisi Serene, menggenggam tangannya.
Sementara di luar, dunia mulai bergerak seperti biasa.
Namun mereka tidak tahu-bahwa seorang Varendra telah memutuskan untuk berhenti bersikap sabar. Dan ketika kesabaran itu habis… yang tersisa hanyalah kekuasaan. Serene mulai menggerakkan jari-jarinya perlahan, matanya terbuka sedikit.
“Raiden…?” bisiknya.
“Aku di sini,” jawab Raiden lembut.
“Anak-anak kita…?”
Raiden menunduk, senyum tipis namun penuh keyakinan muncul di wajahnya. “Mereka aman,” katanya. “Dan akan tetap aman.”
Serene tersenyum lemah, lalu kembali terlelap. Raiden menatap wajah itu lama. Di balik ketenangan palsu ruangan itu, pikirannya sudah melangkah jauh ke depan. Karena ia tahu... serangan ini hanyalah awal.
Dan siapa pun yang memulainya… akan segera mendapatkan satu pelajaran penting yaitu kemarahan seorang Varendra tidak pernah datang tanpa kehancuran. Raiden mengangkat ponselnya begitu melihat ada satu pesan masuk. Nama pengirimnya disamarkan. “Kau berhasil menyelamatkan mereka.” “Tapi bisakah kau melindungi semuanya?”
Raiden mengetik balasan singkat. “Perhatikan aku.”
Ia menatap jendela, ke arah dunia yang perlahan terbangun. Dan di dalam dadanya, perang yang sesungguhnya... baru saja dimulai.
***
Perang apa yang Raiden maksud?
Bersambung…