Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nama Wisnubroto
Nama itu tidak diucapkan sembarangan.
Ia muncul pertama kali di ruang rapat kecil Polres, diucapkan pelan oleh seorang penyidik senior yang rambutnya mulai memutih, seolah takut dinding-dinding ikut mendengar.
“Wisnubroto.”
Andre yang duduk di ujung meja langsung mengangkat kepala. Sejak Rima tertembak, ia sudah mendengar banyak nama—penghubung, perantara, kaki tangan—namun nama ini belum pernah muncul langsung di hadapannya.
“Lengkapnya?” tanyanya singkat.
“Wisnubroto Pranala,” jawab penyidik itu. “Pengusaha. Konsultan keuangan. Beberapa yayasan sosial. Bersih di atas kertas.”
Andre menyandarkan punggung ke kursi. Ia tahu jenis orang seperti itu. Yang tak pernah muncul di TKP, tak pernah menyentuh senjata, tapi semua benang selalu berujung pada satu simpul yang sama.
“Dan hubungannya dengan Rima?” Andre menekan.
Penyidik itu membuka map cokelat. Di dalamnya, foto-foto, bagan alur uang, dan salinan dokumen pajak berjejer rapi. “Rima mulai menyentuh jalur dana milik beberapa perusahaan cangkang. Semua jalur itu… berujung ke entitas yang dikendalikan Wisnubroto.”
Andre menghela napas perlahan. “Jadi Rima terlalu dekat.”
“Bukan hanya dekat,” sahut penyidik lain. “Dia hampir membuka semuanya.”
Ruangan kembali sunyi. Nama itu menggantung di udara, berat dan berbahaya.
Di tempat lain, Erlang berdiri di depan jendela kantor sementara kota terbentang di bawahnya. Ponsel di tangannya terasa lebih berat dari biasanya.
Belum ada kabar tentang Feni.
Setiap menit tanpa informasi membuat kepalanya dipenuhi skenario terburuk. Ia sudah mengerahkan semua jalur—keamanan internal, kontak lama, bahkan orang-orang yang seharusnya tak lagi ia hubungi.
Dan semua itu mengarah ke satu nama yang sama.
“Wisnubroto,” gumamnya.
Nama itu muncul dari percakapan terpotong, laporan setengah jadi, dan bisikan orang-orang yang terbiasa bekerja di bayangan. Bukan pelaku langsung. Tapi dalang.
Erlang mengepalkan tangan. Jika benar orang ini berada di balik penembakan Rima dan penculikan Feni, maka bahaya yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang ia perkirakan.
Ponselnya bergetar.
Nomor Andre.
“Kita perlu bicara,” suara Andre terdengar berat. “Sekarang.”
Sementara itu, Feni duduk sendirian di ruangan sempit yang berbeda dari gudang sebelumnya. Tidak ada ikatan lagi di tangannya, tapi pintu terkunci rapat. Ruangan itu bersih, terlalu bersih. Seperti tempat singgah sementara, bukan sel permanen.
Ia memeluk lututnya, mencoba menghangatkan diri dari dingin AC yang terlalu kuat.
Nama itu kembali terngiang.
Wisnubroto.
Ia mendengarnya dari percakapan singkat dua pria yang mengantarnya ke ruangan ini. Mereka menyebutnya dengan nada hormat—bahkan takut.
“Kalau Pak Wisnu tahu kita ceroboh—”
Kalimat itu terputus, tapi cukup.
Feni menutup mata. Jadi inilah orang yang membuat Rima hampir mati. Orang yang membuat Andre kehilangan arah. Orang yang kini memegang kunci hidupnya.
Pintu terbuka.
Seorang pria masuk. Bukan yang sama dengan sebelumnya. Yang ini lebih tua, rambutnya disisir rapi, pakaiannya seperti eksekutif yang baru keluar dari rapat.
“Kamu Feni,” katanya, bukan bertanya.
Feni mengangguk.
“Aku diminta menyampaikan pesan,” lanjutnya. “Selama kamu kooperatif, kamu aman.”
“Aman dari siapa?” tanya Feni pahit.
Pria itu tersenyum tipis. “Dari konsekuensi yang tidak perlu.”
“Dan kalau aku tidak kooperatif?”
“Pak Wisnubroto tidak suka ketidakpastian.”
Nama itu diucapkan jelas. Tanpa ragu. Seolah pria itu ingin memastikan Feni benar-benar mendengarnya.
“Apa yang dia mau?” tanya Feni.
“Ketika waktunya tiba,” jawab pria itu, “kamu akan tahu.”
Andre dan Erlang bertemu di sebuah tempat yang netral—ruang parkir bawah tanah sebuah gedung kosong. Tidak ada kamera. Tidak ada saksi.
“Kita mengincar orang yang sama,” kata Andre tanpa basa-basi.
“Wisnubroto,” jawab Erlang.
Andre mengangguk. “Kalau kamu di sini berarti kamu tahu dia bukan orang sembarangan.”
“Aku tahu,” ujar Erlang dingin. “Dan aku tahu dia memegang sesuatu yang lebih berbahaya dari senjata.”
Andre menatap Erlang tajam. “Feni.”
Nama itu membuat rahang Erlang mengeras. “Dia dijadikan jaminan.”
“Dan Rima dijadikan peringatan,” sambung Andre.
Keduanya terdiam. Dua pria dengan latar belakang berbeda, kini berdiri di sisi yang sama karena satu nama.
“Kita tidak bisa bergerak sembarangan,” kata Andre akhirnya. “Wisnubroto punya pelindung. Politik. Uang. Sistem.”
“Aku tidak butuh sistem,” jawab Erlang pelan. “Aku butuh celah.”
Andre menatapnya lama. “Dan kamu yakin ada?”
Erlang mengeluarkan ponselnya, menunjukkan satu pesan terenkripsi. “Semua orang punya titik lemah.”
Di sebuah rumah besar di pinggiran kota, Wisnubroto berdiri di depan jendela lantai dua. Dari sana, ia bisa melihat taman luas yang terawat sempurna. Segalanya terkendali. Seperti hidup yang ia bangun selama puluhan tahun.
Seorang asistennya mendekat. “Barang sudah di tangan kita.”
“Bagus,” jawab Wisnubroto tanpa menoleh.
“Dan perempuan itu?”
Wisnubroto terdiam sejenak. “Untuk sementara, simpan.”
“Asuransi?”
“Ya,” katanya singkat. “Selalu ada orang yang merasa perlu menjadi pahlawan.”
Ia akhirnya berbalik, wajahnya tenang, nyaris ramah. “Pastikan semuanya rapi. Kita tidak butuh kegaduhan.”
Asisten itu mengangguk dan pergi.
Wisnubroto kembali menatap keluar. Ia tidak tahu—atau mungkin belum menyadari—bahwa dari kejauhan, seseorang juga sedang mengamatinya.
Dan bahwa permainan yang ia kira sepenuhnya ia kuasai… telah menarik perhatian pihak ketiga yang tak bermain dengan aturan apa pun.
...****************...