NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 — Keputusan yang Ditenangkan Akal

Zahwa duduk di ruang tunggu sebuah kantor hukum yang tenang, bersih, dan jauh dari kesan menyeramkan seperti yang selama ini ia bayangkan. Tangannya bertaut di pangkuan, jari-jarinya dingin meski pendingin ruangan tak terlalu menusuk. Di hadapannya, sebuah map cokelat tergeletak rapi di atas meja kaca map yang berisi surat cerai dari Farhan.

Belum ia tanda tangani.

Ia menatapnya lama. Bukan dengan amarah, bukan dengan tangis. Lebih pada rasa lelah yang sudah mencapai titik sunyi. Lima tahun pernikahan. Lima tahun sabar. Lima tahun menyingkirkan diri sendiri.

“Ya Allah…” lirih Zahwa. “Tunjukkan aku jalan yang paling Engkau ridai.”

Pintu ruang konsultasi terbuka.

“Bu Zahwa, silakan masuk.”

Pria berkacamata dengan wajah tenang itu berdiri dan menjabat tangannya dengan sopan.

“Rangga Mahendra. Saya temannya Daniel.”

Zahwa mengangguk kecil. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”

Di dalam ruangan, Rangga tidak langsung membahas dokumen. Ia justru bertanya pelan namun tegas, seperti memastikan pondasi sebelum membangun keputusan.

“Ibu datang ke sini atas kehendak sendiri?”

“Iya.”

“Tidak ada tekanan dari pihak suami atau keluarga?”

“Tidak.”

“Dan Ibu paham konsekuensi dari keputusan apa pun yang akan diambil?”

Zahwa mengangguk. “Saya sudah memikirkannya lama.”

Rangga lalu menjelaskan semuanya—hak Zahwa sebagai istri, kemungkinan mediasi, hak gono-gini, dan pilihan untuk menunda jika Zahwa belum siap. Ia tidak mengarahkan, tidak memprovokasi. Hanya membuka semua pintu, lalu membiarkan Zahwa memilih sendiri.

“Kalau saya memilih untuk tidak menuntut apa pun?” tanya Zahwa akhirnya.

Rangga menatapnya cukup lama.

“Boleh. Asal keputusan itu datang dari kekuatan, bukan rasa takut atau sungkan.”

Zahwa tersenyum tipis.

“Saya tidak takut. Dan saya tidak sungkan. Saya hanya ingin selesai… dengan cara yang bersih.”

Rangga mengangguk perlahan.

“Itu keputusan yang dewasa.”

Ia mendorong map ke arah Zahwa.

“Kalau Ibu sudah yakin, silakan tanda tangan. Saya akan mengurus sisanya.”

Zahwa menggenggam pulpen. Tarikan napasnya dalam.

Lalu satu goresan tinta tercetak jelas di atas kertas.

Zahwa Aulia.

Tidak ada air mata.

Hanya rasa lega yang hening.

---

Di luar gedung, Daniel berdiri di dekat mobilnya. Ia tidak masuk. Tidak ingin mengintervensi ruang paling personal itu. Ia hanya menunggu, memberi Zahwa kendali penuh atas hidupnya sendiri.

Arvino, asistennya, berdiri sedikit di belakang.

“Pak,” ucap Arvino pelan, “jujur… saya jarang lihat Bapak setenang ini tapi juga segelisah ini dalam waktu bersamaan.”

Daniel tersenyum samar. “Karena ini bukan tentang bisnis.”

Arvino mengangguk.

“Dan… Ibu Bapak tadi pagi nanya lagi soal perempuan yang Bapak ceritakan kemarin.”

Daniel menghela napas pelan.

“Ibu selalu cepat membaca.”

“Beliau hanya khawatir,” lanjut Arvino. “Beliau senang Bapak peduli lagi.”

Daniel tidak menjawab. Matanya tetap tertuju ke pintu gedung.

Beberapa menit kemudian, Zahwa keluar.

Ia mengangguk kecil. Daniel langsung paham.

“Sudah?”

“Iya.”

Daniel tidak menyentuhnya. Tidak memeluk. Tidak memberi simpati berlebihan.

Ia hanya berkata pelan, “Keputusanmu dihormati.”

Dan entah kenapa, itu jauh lebih menenangkan daripada seribu kalimat penghiburan.

---

Sore itu, Zahwa memutuskan satu hal terakhir.

Ia ingin pamit.

Ia datang ke rumah yang dulu ia sebut rumah. Rumah yang ia desain dengan cinta. Rumah yang ia rawat dengan sabar. Rumah yang kini terasa asing.

Begitu Zahwa melangkah masuk, Bu Nina menatapnya datar.

“Oh… datang juga. Mau ambil apa?”

Rita tersenyum miring. “Hati-hati ya, Bu. Jangan sampai ada yang ilang.”

Abang pertama Farhan bersedekap.

“Biasanya perempuan begini ujung-ujungnya minta harta.”

Zahwa berdiri tenang. Tidak membela diri. Tidak menyerang.

“Saya sudah tanda tangan surat cerai,” ucapnya lembut. “Saya datang hanya untuk pamit.”

Bu Nina mendengus. “Syukurlah. Farhan pantas dapat yang lebih patuh.”

Zahwa menunduk. Ia tidak menjawab.

“Saya hanya ingin mengambil satu barang,” lanjutnya.

“Apa?” Rita langsung siaga.

Zahwa melangkah ke lemari sudut. Tangannya mengambil sebuah buku tebal bersampul kain polos—buku catatan berisi resep frozen food, perhitungan modal, ide usaha, dan doa-doa kecil di setiap halaman.

“Ini saja,” kata Zahwa mantap. “Buku resep saya.”

Rita tertawa kecil. “Cuma itu?”

“Iya,” jawab Zahwa. “Karena semua yang ada di rumah ini… bukan lagi urusan saya.”

Ia menatap Bu Nina dengan sopan.

“Terima kasih pernah menjadi ibu mertua saya. Semoga selalu sehat.”

Lalu Zahwa berbalik. Melangkah keluar. Tanpa menoleh.

Di luar, Daniel menunggunya.

“Sudah selesai?”

“Iya.”

Daniel membuka pintu mobil.

“Kalau begitu… mari kita pulang.”

Zahwa duduk, memeluk buku resep itu di dadanya.

Ia tidak tahu pasti ke mana hidupnya akan berjalan.

Tapi ia tahu satu hal:

Ia melangkah maju. Dengan kepala tegak. Dengan hati utuh.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!