WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Coklat Dari Uncle-nya Mayra
#10
“Dok, anak saya mengidap penyakit jantung bawaan. Tahun lalu ia sudah menjalani operasi penutupan katup, tapi saya tak tahu kenapa tiba-tiba ia tersengal-sengal lagi.’
Mendengar penuturan orang tua pasien, Dean segera melakukan pemeriksaan pada jantung pasien. Menyadari ada keanehan, Dean pun meminta perawat memanggil Leon.
“Baik, Dok.”
•••
Agnes menginjak pedal gas dengan sekuat tenaga, tujuannya agar mereka bisa segera tiba di rumah sakit.
“M-mom—”
Suara Al mulai melemah, karena nafas yang tersengal.
“Sabar, ya, Nak.” Mama Wina berbisik di telinga cucunya. Sementara Rika, hanya bisa menunduk merapal doa, ia memeluk tas berisi beberapa barang yang mungkin nanti mereka perlukan di rumah sakit.
Karena terlalu diliputi kepanikan, Agnes tak memikirkan bahwa di tokonya ada yang sedang bekerja menurunkan etalase yang akan menjadi rak display kue-kuenya. Hal paling penting hanya bagaimana Al bisa segera mendapat pertolongan.
Agnes mengakui ini salahnya, karena tak pernah mengedukasi Al tentang coklat dan betapa berbahayanya, bila sampai dia mengkonsumsi makanan tersebut. Selama ini ia hanya menghindarkan Al dari coklat, titik.
Kini setelah Al masuk sekolah, sepertinya Agnes harus mengupgrade lagi ilmu larangan makan coklat untuk Al. Apalagi putranya terlalu pintar untuk anak seusianya.
Akhirnya, mobil pun tiba di depan IGD, Mama Wina yang bergegas menggendong Al memasuki IGD, karena Agnes sedang memarkirkan mobil.
“Tolong cucu saya, Dok.”
Dokter yang bersiaga di sana langsung berlari menyongsong pasiennya.
“Baik, Bu. Akan segera kami tangani. Tolong ceritakan apa yang terjadi.”
“Dia, alergi coklat, dan baru saja anak ini memakan coklat tanpa sepengetahuan kami,” lapor Mama Wina dengan wajah pucat ketakutan.
Dokter itu tampak tenang ketika memberikan pertolongan pertama, memasang oksigen di hidung, kemudian menyuntikkan obat anti alergi sesuai dosis yang Al butuhkan.
“Gimana, Ma?”
“Itu, sedang ditangani dokter.”
Agnes bernafas lega setelah melihat dokter yang menangani putranya. “Ma, Al dapat coklat dari mana?”
“Entahlah, Mama juga tak tahu, Rika bilang pulang sekolah tadi, Al langsung masuk kamar, dan dia memakan coklatnya di dalam kamar.”
“Apa mungkin dari sekolah, ya?” gumam Agnes.
“Mungkin juga pemberian temannya.”
Mama Wina menjabarkan beberapa kemungkinan, agar Agnes tak buru-buru berburuk sangka.
Agnes menyibak rambutnya yang sedikit berantakan karena panik.
“Kami sudah memberikan obat anti alergi pada putra Anda, dan mungkin sebentar lagi ia akan segera siuman, untuk sementara biarkan pasien tidur dulu, ya?” tutur dokter yang memberi pertolongan pada Al.
“Terima kasih, Dok.”
“Mari, saya tinggal dulu.”
***
Leon menatap pasien yang baru saja ia tangani dari balik pintu kaca, untung saja ia sedang berada di rumah sakit, jika tidak, mungkin pasien malang ini tak akan bisa diselamatkan.
“Dokter, terima kasih, terima kasih. Karena Dokter datang tepat waktu.”
Ibu pasien kembali mengucap terima kasih, wajahnya terlihat sangat lega, padahal sebelumnya ia begitu panik, hingga tak sadar bahwa ia datang ke rumah sakit mengenakan sepasang sandal yang berbeda.
Beberapa saat setelah Leon keluar dari ruang operasi, wanita itu sudah mengucapkan terima kasih entah berapa puluh kali. Tapi sepertinya itu tak cukup untuk mengungkapkan betapa ia sangat bersyukur karena anaknya kembali bisa diselamatkan.
“Jangan berlebihan, Bu, saya hanya perantara tangan Tuhan, tetap saja tak boleh memungkiri, bahwa Tuhan-lah yang menolong putra Anda.”
Wanita itu tersenyum bahagia, kemudian menggenggam tangan kedua tangan Leon. “Ternyata Anda juga rendah hati, Dok. Iya, kan, Pa?” kata wanita itu pada suaminya.
Sang suami mengangguk, “Kami doakan, semoga kelak dimana saja Anda berada, Tuhan juga berkenan menjaga dan melindungi keluarga Anda, orang tua, kerabat, juga istri dan anak Anda.”
Mendengar doa wanita itu, senyum Leon memudar, istri? Anak? Leon bahkan tak memiliki keduanya. “Maaf, Bu, bukan menolak doa baik Anda. Tapi, saya tak punya istri apalagi anak.”
Wanita itu mengibaskan tangannya, “Sekarang memang belum punya, tapi pria setampan Anda pasti kelak akan bertemu dengan wanita cantik dan baik budi pekertinya.”
Leon hanya mengaminkan doa baik tersebut, karena sejatinya kita tak akan pernah tahu, dari mulut siapa sebuah doa bisa terkabul.
***
“Jadi gitu, Mas. Ah— apa aku sudah menjadi ibu yang buruk untuk anakku sendiri?” keluh Agnes setelah menceritakan kondisi Al pada Rama.
“Itu hanya kecelakaan agar lain kali kita bisa waspada, tak perlu menyalahkan diri sendiri begitu,” hibur Rama pada sang kekasih.
Agnes menangis sedih, manakala kembali teringat bahwa ia hanya memberi larangan pada Al, tanpa memberi penjelasan ketika Al bertanya karena rasa penasaran yang menuntunnya.
“Sekarang juga aku akan pulang, aku akan cari penerbangan tercepat.”
Rama berinisiatif pulang, karena sudah yakin di saat seperti ini, Agnes pasti sibuk menyalahkan dirinya sendiri, alih-alih mengambil hikmah, dari peristiwa yang sudah terjadi.
“Jangan!” Cegah Agnes. “Sebaiknya Mas segera selesaikan urusanmu di sana, aku bisa tangani Al disini.”
“Percuma saja, aku tak akan tenang di sini, karena kepikiran kalian,” sergah Rama.
“Al sudah ditangani dengan baik, dan sekarang sedang tidur. Mas bisa tenang sekarang?”
“Lalu kamu? Aku juga akan terus mengkhawatirkanmu.”
Agnes tersenyum, sedikit bahagia, karena ada pria yang kembali memperhatikan dirinya. Dulu ketika masih menjadi istri, Agnes selalu merasa perhatian suaminya terpecah karena ada Debby yang selalu menempel di sekitar mereka.
Jadi ia merasa selalu was-was, meski dalam seminggu pasti Leon memiliki 1 hari libur. Tapi dalam hal pekerjaan, suaminya kerap menghabiskan banyak waktu bersama Debby di rumah sakit.
Karena itulah, Agnes merasa cemburu, walau Leon menganggapnya berlebihan.
“Terima kasih, Mas. Perhatianmu sangat ku hargai. Tapi sungguh aku tak berbohong, sekarang semua sudah aman terkendali.”
“Begitukah?”
“Iya, Mas.”
“Baiklah, aku akan segera menyelesaikan urusanku di sini, dan segera pulang menjumpai kalian lagi.”
Agnes bernafas lega mendengar ucapan Rama, sungguh, ia tak ingin merepotkan siapa-siapa, karena hubungan mereka baru sebatas kekasih, belum sampai terikat pernikahan.
“Jika begini, rasanya aku ingin segera menyeretmu ke KUA terdekat, karena aku benar-benar tak tahan jika mendengarmu tertimpa masalah. Tak bisa memelukmu, hanya bisa mendengar keluh kesahmu.”
Rama mengerang kesal, karena ia sedang jauh dari dua orang yang paling ia kasihi.
Agnes tersenyum, “Kalau begitu atur saja bersama ayah dan ibu jadwal hari paling baik. Aku akan ikut saja.”
“Benarkah?”
“Benar, Mas.”
•••
Selepas maghrib, akhirnya Al kembali sadar, “M-mom,” rintihnya pelan.
Agnes segera mendongak, meletakkan ponsel di meja lalu menghampiri Al. “Al, gimana? Masih ada yang sakit?” tanya Agnes khawatir.
“Ini mom, s-sakit.”
Al menunjuk lehernya sendiri, “Tidak apa-apa, pelan-pelan pasti sakitnya berkurang, tadi sudah di kasih obat sama Pak Dokter,” hibur Agnes sambil mengusap kepala Al.
“Air,” pinta Al.
Agnes segera menyambar botol air mineral, kemudian memberikannya pada Al.
Beberapa saat setelah minum dan makan bubur lembut, Agnes kembali mengajak Al bicara.
“Bukankah Mommy sudah bilang jangan, kenapa kamu masih memakan coklat?” tanya Agnes pelan, tak ingin membuat Al takut.
“Pengen, Mom. Sepertinya enak, dan kulihat teman-teman juga ada yang bekal kue coklat ke sekolah,” ungkap Al dengan suara lirih perlahan.
Agnes menarik nafas penuh rasa sabar, kemudian mengecup punggung tangan Al yang kini dipasang jarum infus.
“Mommy melarang karena ada alasannya, kalau tidak ada alasan, Mommy pasti akan berikan semua padamu. Apapun yang membuat Al senang.”
Wajah Al mendung dan kedua matanya berkaca-kaca. “Maaf, Mom. Al janji tak akan makan coklat lagi,” ujarnya.
Agnes hanya mengangguk haru, di kecupnya kening Al sedikit lebih lama dari biasanya. “Maafkan Mommy, ya, Sayang. Karena Mommy tak mengatakan padamu lebih awal.”
“Ngomong-ngomong, siapa yang memberimu coklat?”
“Mayra, dia bilang itu hadiah dari Uncle-nya untuk Al.”
Kalimat polos Al terdengar seperti petir di telinga Agnes, dugaannya langsung mengarah pada Leon. Tapi sesaat kemudian Agnes menepisnya, karena sudara sepupu Leon hampir semua laki-laki, jadi kemungkinan itu bisa siapa saja, bukan?
Al mendengar saat Agnes bilang daddy.
sudah gak naik kereta gantung tapi masih digantung thor😂