Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Menghilang
Di Depan Rumah Sakit – Sore Hari
Boni meremas kertas tagihan rumah sakit yang baru saja diterimanya. Angka yang tertera di sana membuatnya menghela napas panjang. “Sialan, ini bukan jumlah yang sedikit.”
Ia segera merogoh ponselnya, mencari nama Edwin dalam daftar kontak dan menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar… tapi tidak diangkat. Ia mencoba lagi, hasilnya sama. Beberapa kali ia ulangi, bahkan mengirim pesan.
“Jangan bilang dia ngilang,” gumam Boni, rahangnya mengeras.
Khawatir Edwin sengaja menghindar dari tanggung jawab, Boni memutuskan mencari pria itu. "Jika dia nggak mau angkat telepon, aku bakal datangi dia langsung."
Di Kantor Polisi – Malam Hari
Boni berdiri di depan meja seorang polisi berpangkat menengah. Raut wajahnya serius, tangannya mengepal di atas meja.
“Saya mau melaporkan seseorang yang sulit dihubungi. Namanya Edwin…” Boni menjelaskan dengan cepat, berharap bisa menemukan pria brengsek itu sebelum semua biaya rumah sakit jatuh ke tangannya sendiri.
Namun, jawaban polisi justru membuatnya terdiam.
“Edwin? Tuan Edwin yang mana?” polisi itu bertanya, lalu mengakses data dalam sistemnya.
Boni mengangguk. “Ya, Edwin yang terlibat kasus kecelakaan beberapa waktu lalu.”
Polisi itu membaca sesuatu di layar komputernya, sebelum akhirnya menatap Boni dengan ekspresi sedikit ragu. “Tuan Edwin dinyatakan hilang dalam kecelakaan laut tiga hari lalu.”
Jantung Boni serasa berhenti berdetak sejenak. “Apa?!”
“Kapal pribadinya mengalami kecelakaan. Pencarian masih dilakukan, tapi sejauh ini belum ada tanda-tanda dia ditemukan.”
Boni menelan ludah, mendadak merasa ada yang menekan dadanya. Jadi firasat buruk itu benar.
Di luar kantor polisi, Boni mengeluarkan ponselnya lagi, menatap daftar panggilannya yang penuh dengan panggilan tak terjawab ke nomor Edwin. Rasanya aneh—hanya beberapa jam lalu ia masih mengumpat kesal karena Edwin tak bisa dihubungi, sekarang pria itu justru dinyatakan hilang.
Ia mengembuskan napas panjang, lalu memandang ke langit malam. “Jadi lo beneran ngilang gitu aja, Win? Tanpa ninggalin tanggung jawab lo?”
Entah itu ketidakpercayaan, kesal, atau sesuatu yang lain, Boni tahu satu hal—Bayu masih koma, dan sekarang Edwin menghilang.
Dan ini berarti masalah belum berakhir.
Rumah Sakit – Malam Hari
Ruangan rawat Bayu sunyi. Hanya suara alat-alat medis dan hembusan napas pelan yang terdengar. Boni duduk di kursi di samping ranjang, menatap wajah temannya yang masih terpejam.
Di tangannya, ia menggenggam sebuah kotak beludru merah—kecil, tetapi terasa begitu berat di telapak tangannya. Boni membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, sebuah cincin berlian berkilau dalam redupnya lampu rumah sakit.
Ia mengembuskan napas panjang. "Bay... Gue dapetin ini dari polisi setelah lo koma dan urusan sama Edwin kelar." Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap cincin itu lama. "Gue tahu ini buat siapa."
Di dalam kesadarannya yang terkunci, Bayu mendengar suara Boni. Samar, seolah berasal dari kejauhan, tetapi tetap nyata. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya—cincin itu... untuk Laras.
"Lo pasti ingat gimana senengnya lo waktu akhirnya bisa beli ini." Boni terkekeh pelan, tapi suaranya terdengar getir. "Lo kerja gila-gilaan, nyisihin tiap rupiah, nabung, dan akhirnya—akhirnya lo bisa beli cincin ini buat Laras."
Bayu ingin menjawab. Ingin mengatakan kalau iya, ia ingat betul betapa bahagianya saat itu. Tapi tubuhnya tak bergerak, suara pun tak bisa keluar. Ia hanya bisa mendengar.
Boni mengepalkan tangan, lalu menghela napas berat. "Tapi sekarang lo masih koma, Bay." Ia memejamkan mata, frustrasi. "Dan rumah sakit nggak bakal nungguin lo bangun sebelum nagih duit."
Ia menatap cincin itu lagi, lalu mengusap wajahnya sendiri. "Jadi gue pikir… Gue harus jual ini."
Bayu ingin berteriak tidak! Ingin menghentikan Boni. Cincin itu bukan sekadar perhiasan—itu lambang janji yang ingin ia berikan pada Laras. Tapi lagi-lagi, ia hanya bisa terperangkap dalam keheningan.
Boni mengepalkan tangannya. "Maaf, Bay. Gue tahu ini penting buat lo. Tapi nyawa lo lebih penting."
Ia menutup kotak cincin itu dengan keras, seolah ingin menutup rasa bersalahnya sendiri. Kepalanya tertunduk dalam, menunggu… berharap ada keajaiban Bayu membuka mata dan menghentikannya.
Tapi tak ada yang terjadi.
Hanya suara monitor yang terus berdetak pelan.
Bayu tetap terdiam dalam kegelapan. Dan Boni… akhirnya bangkit dari kursi dengan hati yang terasa lebih berat dari sebelumnya.
***
Boni melangkah cepat memasuki rumah sakit, napasnya sedikit tersengal. Dalam genggamannya, bukti pembayaran rumah sakit terasa lebih berat dari yang seharusnya. Bukan karena kertas itu sendiri, melainkan karena harga yang harus ia bayar untuk mendapatkannya. Cincin itu…
Cincin berlian yang dulu dibeli Bayu dengan penuh harapan, yang seharusnya melingkar di jari gadis yang ia cintai… kini telah berubah menjadi alat penyambung hidupnya.
Boni menghembuskan napas panjang sebelum masuk ke ruang rawat Bayu. Namun, begitu pintu terbuka, langkahnya langsung terhenti.
Laras ada di sana.
Gadis itu duduk di samping ranjang Bayu, jemarinya yang mungil menggenggam tangan pria itu dengan lembut. Matanya sembab. Napasnya pelan, hampir terdengar seperti isakan yang ia tahan mati-matian. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Bayu, seolah berusaha menghangatkannya, seolah berharap pria itu merespons.
Boni menelan ludah. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya.
Seharusnya… cincin itu masih ada. Seharusnya, Bayu sendiri yang menyematkan cincin itu di jari Laras sambil tersenyum, bukan dirinya yang menjualnya demi memperpanjang hidup seorang sahabat.
Tapi kalau bukan begitu, apa Bayu masih bisa bertahan sampai sekarang?
Boni mengepalkan tangan, lalu menundukkan kepala. “Gue udah bayar biaya rumah sakit lo, Bay,” gumamnya lirih.
Di ruang kosong tanpa bentuk, Bayu hanya bisa mendengar.
Suara kursi yang bergeser. Suara napas seseorang… Laras.
Ada sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya saat suara itu masuk ke telinganya. Ia ingin membuka mata, menggenggam tangan Laras, bicara dengan Boni, mengatakan bahwa ia masih di sini. Tapi tubuhnya tak bergerak.
Laras mengangkat kepalanya, menatap Boni dengan mata yang masih menyimpan duka. “Kau… menjual sesuatu?” tanyanya, suaranya serak.
Boni tersentak, tapi segera menepis kegugupannya dengan senyum tipis. “Nggak usah dipikirin, Laras. Yang penting, Bayu masih bisa bertahan.”
Tapi di dalam hatinya, Boni tahu itu bohong.
Dan Bayu juga tahu.
Kesadarannya masih gelap, tapi dia bisa mendengar semuanya. Boni menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang penting. Sesuatu yang mungkin berkaitan dengannya.
Apa yang sudah Boni lakukan demi dirinya?
Bayu ingin berteriak, ingin bertanya, ingin menuntut jawaban—tapi ia tetap terperangkap dalam kegelapan.
Lalu suara Boni terdengar lagi. "Bay, lo harus buru-buru sadar sebelum gue kehabisan uang lagi, ya? Gue nggak mungkin jual ginjal gue juga, 'kan?”
Bayu ingin tertawa, tapi tubuhnya tetap kaku. Boni tetap seperti dulu—bercanda di saat sulit. Tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Bayu tak tenang.
Laras menatap Boni lebih lama, seakan ingin mencari tahu apa yang sedang pria itu sembunyikan. Tapi akhirnya ia hanya menarik napas panjang dan menunduk lagi, kembali menggenggam tangan Bayu dengan erat.
Boni menahan napas, berharap Laras tidak akan pernah tahu. Tidak akan pernah tahu betapa besarnya perasaan bersalah yang kini menggerogoti hatinya.
Laras mengeratkan genggamannya di tangan Bayu yang terasa dingin. Suara detak monitor jantung memenuhi ruangan, menciptakan ritme yang lambat—seperti napasnya yang berat.
Dia menunduk, bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya berkata pelan, hampir seperti bisikan, “Maaf… Aku nggak bisa bantu biaya pengobatan kamu, Bayu.”
Di dalam kegelapan yang membelenggunya, Bayu mendengar itu.
Hatinya mencelos. "Kenapa Laras meminta maaf? Seharusnya aku yang meminta maaf karena membuatnya khawatir. Karena membuatnya menangis. Karena membuatnya harus menghadapi semua ini sendirian."
Tapi tubuhnya tetap diam. Ia tetap terkunci dalam kesadarannya yang terperangkap.
Boni, yang berdiri tak jauh dari mereka, menatap Laras dengan tatapan rumit. Ada sesuatu dalam suara gadis itu yang membuat dadanya terasa sesak.
Dia mencoba tersenyum, meskipun hambar. “Nggak apa-apa, Laras. Gue ngerti.”
Laras mengangkat wajahnya, matanya yang sembab menatap Boni dengan sorot penuh duka. “Tapi aku benar-benar ingin membantu… Aku nggak tahu harus bagaimana.”
Boni menghela napas panjang, lalu menepuk bahu Laras dengan lembut.
“Lo udah cukup banyak bantu dengan tetap di sini.” Suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan. “Bayu butuh seseorang yang peduli sama dia, dan itu lebih penting dari uang.”
Bayu ingin berteriak.
"Aku mendengar semuanya, Laras. Aku nggak butuh uangmu. Aku cuma ingin kamu di sini."
Tapi tetap saja, tubuhnya tak bergerak.
Laras menatap Bayu dengan sendu, tangannya menggenggam erat tangan pria itu seolah takut Bayu akan pergi kapan saja. Air mata jatuh tanpa suara.
Dan Bayu… ia ingin menghapus air mata itu.
Namun untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah mendengar—terperangkap dalam dunia gelap yang semakin menyiksanya.
...🍁💦🍁...
.
To be continued