Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Merasa ingin dicintai
Alghazali menutup bukunya perlahan, menatap Nayla dengan mata tajam namun tetap tenang. “Itu tidak perlu dijawab, Nayla. Terlalu pribadi.”
Nayla mengernyit, merasa tidak puas. “Kenapa? Aku kan istrimu, setidaknya aku punya hak untuk tahu.”
Alghazali menghela napas, lalu berdiri. “Pernikahan kita bukan karena cinta, kan?” tanyanya dengan nada datar.
Kata-katanya membuat Nayla terdiam. Ada sedikit perasaan tidak nyaman di hatinya. Ia ingin membantah, tapi ia sadar, sejak awal memang ia yang menetapkan batasan dalam pernikahan ini.
Namun, rasa penasaran tetap mengganggunya. Siapa gadis itu? Kenapa Alghazali terlihat enggan membahasnya?
Saat Nayla hendak bertanya lagi, tiba-tiba ada ketukan di pintu. Seorang santri laki-laki masuk dan memberi salam. “Ustadz, sudah waktunya untuk kelas berikutnya.”
Alghazali mengangguk dan mengambil kitabnya. Sebelum pergi, ia menatap Nayla sekilas. “Tunggu di sini atau ikut ke kelas? Terserah.”
Nayla hanya bisa mendesah kesal. Rasa ingin tahunya masih membara, tapi ia tahu Alghazali tidak akan menjawabnya dengan mudah.
Nayla menimbang sejenak sebelum akhirnya memutuskan, "Aku ikut ke majelis saja."
Alghazali mengangguk tanpa banyak bicara. Ia lalu berjalan lebih dulu, sementara Nayla mengikuti di belakangnya.
Saat mereka tiba di majelis, para santri wanita yang sudah duduk rapi langsung menundukkan kepala, beberapa tampak berbisik-bisik sambil sesekali melirik Nayla.
Nayla menghela napas. Ia tahu pasti mereka membicarakan dirinya—istri seorang ustadz yang dulunya liar dan sering kabur dari pesantren. Tapi entah kenapa, kali ini ia tidak terlalu peduli.
Ia mengambil tempat di barisan belakang, mendengarkan pengajian dengan saksama. Suara Alghazali yang tegas namun menenangkan membuatnya tanpa sadar benar-benar fokus.
Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu dalam hatinya yang sedikit berubah. Mungkinkah ia mulai nyaman berada di tempat ini?
Sejak melihat foto gadis berjilbab syar'i itu di laci Alghazali, Nayla merasa ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Siapa dia? Kenapa Al menyimpannya dengan begitu rapi?
Sepanjang pengajian, pikirannya tak bisa lepas dari bayangan gadis itu. Ia menatap dirinya sendiri—berpakaian lebih sopan dari sebelumnya, tetapi masih jauh dari kesan anggun dan lembut seperti gadis di foto itu.
Saat pengajian selesai, Nayla kembali ke ruangan Al dan tanpa sadar memperbaiki hijabnya di depan cermin. Ia bahkan mengecek pantulan dirinya berkali-kali. Apakah Al lebih menyukai wanita seperti itu? Yang lemah lembut dan penuh ketenangan?
"Apakah aku pantas, menjadi istri Ustad Al?" Nayla dengan tatapan kosong.
Malamnya, Nayla mulai membaca buku-buku agama yang ada di rak Al, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia juga mulai memperhatikan cara berbicara dan sikapnya di depan suaminya.
Bukan karena ingin berubah sepenuhnya, tapi karena hatinya kini terasa aneh setiap kali melihat Al. Sesuatu yang selama ini tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Alghazali melirik sekilas ke arah Nayla yang duduk di sebelahnya di dalam mobil. Biasanya, perempuan itu selalu mengeluh sepanjang perjalanan, entah karena jalanan yang berdebu, udara yang panas, atau bahkan hanya karena bosan. Tapi kali ini, Nayla diam. Terlalu diam.
“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Al akhirnya, memecah keheningan.
Nayla menggeleng, masih memandang keluar jendela. Namun, jelas ada sesuatu yang mengganggunya. Al menunggu, tapi Nayla tetap tidak berbicara.
Sesampainya di rumah, Nayla langsung masuk ke kamar tanpa banyak bicara. Al hanya menghela napas dan membiarkannya. Namun, ketika ia melewati meja kecil di ruang tamu, ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya, buku yang tadi siang Nayla baca, terbuka di bagian tentang kesabaran dalam rumah tangga dan bagaimana istri harus bersikap kepada suami.
Al tersenyum kecil. Jadi itu yang membuatnya diam.
Alghazali yang tengah membaca buku di tempat tidurnya menutup halaman terakhir, lalu menoleh ke arah Nayla yang duduk di ujung ranjang dengan wajah serius.
“Apa ada sedikit perasaan dalam hatimu untukku?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik.
Al diam sejenak, menatap Nayla dengan tatapan sulit diartikan. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
Nayla menggigit bibirnya, menunduk. "Aku hanya ingin tahu... Aku ini hanya beban untukmu atau—"
Al menghela napas. "Nayla," katanya dengan nada lebih lembut dari biasanya. "Perasaan itu tidak bisa dipaksakan atau diburu-buru. Aku menghormatimu sebagai istriku. Itu sudah cukup untuk sekarang, bukan?"
Nayla terdiam, merasa hatinya sedikit nyeri. "Jadi, tidak ada sedikit pun?" desaknya.
Al tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Nayla lama, lalu tersenyum samar. "Tidurlah. Besok kita harus bangun pagi."
Nayla tahu jawaban itu adalah cara halus untuk menghindari pertanyaannya. Tapi entah kenapa, justru jawaban itu membuat dadanya terasa lebih sesak.
Nayla menunduk, air matanya jatuh satu per satu tanpa bisa ia tahan. “Apa aku memang tidak pantas dicintai olehmu?” suaranya bergetar, penuh luka yang selama ini ia pendam.
Alghazali terdiam, memandang Nayla dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ia bukan tipe laki-laki yang pandai berbasa-basi atau merayu. Yang ia tahu, sejak awal ia hanya memenuhi keinginan Nayla—keinginan yang jelas ia ucapkan sendiri.
“Aku hanya mengikuti semua maumu, Nayla,” katanya tenang, meski ada nada lelah di suaranya. “Kau yang meminta pernikahan ini hanya sebatas di atas kertas. Kau yang tidak mau disentuh. Kau yang ingin tetap hidup dengan caramu. Aku hanya menjaga janjiku.”
Nayla mengangkat wajahnya, menatap Al dengan mata sembab. “Tapi… aku tidak bilang kalau aku tidak ingin dicintai.”
Al kembali terdiam. Ia bukan pria yang suka berkata manis, tapi ada sesuatu dalam tatapan Nayla yang membuat hatinya bergetar. Ia menghela napas panjang. “Cinta tidak bisa tumbuh dalam keterpaksaan, Nayla.”
Nayla tersentak. Dadanya terasa nyeri. Ia baru sadar, bahwa selama ini, mungkin ia sendiri yang membangun tembok tinggi antara mereka.
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Nayla berbaring membelakangi Alghazali, tapi pikirannya tidak bisa tenang. Ia menggigit bibirnya, hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas.
Sementara itu, Alghazali juga tidak bisa tidur. Ia memejamkan mata, tapi ada sesuatu yang terasa ganjil. Seperti ada sesuatu yang mengusik pikirannya, sesuatu yang membuat dadanya terasa berat.
Nayla menarik napas panjang, akhirnya berani bertanya, “Apa kau juga merasa aneh malam ini?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.
Al membuka mata, menatap langit-langit kamar mereka yang sederhana. “Ya,” jawabnya singkat.
Mereka terdiam cukup lama, hanya mendengar suara detak jam di dinding. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan. Tapi satu hal yang pasti, malam ini hati mereka sama-sama gelisah, seolah ada sesuatu yang akan berubah di antara mereka.
Nayla terkejut saat merasakan tangan Al Ghazali menariknya mendekat. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya terasa kaku. Dadanya berdetak lebih kencang saat kepalanya bersandar di dada bidang suaminya.
“Kamu...mau apa ?” bisik Nayla, suaranya bergetar.
Alghazali tidak langsung menjawab. Ia hanya mengeratkan pelukannya, merasakan kehangatan tubuh Nayla di pelukannya. “Aku hanya ingin kamu tahu… bahwa kamu pantas dicintai,” ucapnya pelan.
Nayla membelalakkan mata. Hatinya yang sejak tadi gelisah kini bergejolak lebih hebat. Apakah Alghazali mulai memiliki perasaan untuknya? Ataukah ini hanya sekadar bentuk perlindungan semata?
Tanpa sadar, air mata Nayla menetes. Ia menggenggam baju suaminya dengan erat, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan pelukan itu—sesuatu yang selama ini ia hindari, namun diam-diam juga ia rindukan.