NovelToon NovelToon
L'Oubli

L'Oubli

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Cinta Beda Dunia
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dela Tan

Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.

L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Season 1 ; Bab 3 - Sup Untuk Yang Hampir Mati

Angin malam mengibarkan mantel panjang Murni saat ia berlari, secepat yang ia bisa, menyusuri gang-gang sempit kota tua. Matanya terpaku pada ponsel yang kini hanya menampilkan satu hal: gambar atap gedung dengan titik merah yang terus berdenyut.

Langit di atasnya menampakkan bulan separuh, pucat laksana wajah orang yang baru tersadar dari koma. Ia tak tahu mengapa percaya pada gambar itu. Ia bahkan tak tahu siapa yang mengirimkannya. Tapi tubuhnya bergerak seolah tersihir.

Dan sesuatu di dalam dadanya —sesuatu yang lebih tua dari kata takut —berbisik:

“Cepat. Sebelum ia jatuh.”

---

Gedung tua itu berdiri diam, menjulang di antara bangunan-bangunan lain yang sudah mati. Pintu masuknya digembok, tapi Murni menemukan celah kecil di sisi pagar, cukup untuk tubuh kurusnya menyelinap.

Ia naik ke tangga darurat, mendaki langkah demi langkah dengan napas tersengal, sementara ponsel di tangannya mulai panas. Layarnya gelap, tapi suara samar masih mengalun:

“Dia sendirian... dia sendirian...”

Sampai di atap, ia melihatnya.

Anak laki-laki. Tak lebih dari dua belas tahun. Tubuhnya gemetar, jari-jari mungil mencengkeram besi pembatas. Ia berdiri di ujung beton, di bawahnya jurang tujuh lantai.

Langkah Murni terhenti.

“Jangan dekati aku!” jerit si anak tanpa menoleh. Suaranya seperti milik orang yang sudah terlalu lama bicara sendirian.

“Aku hanya ingin bicara,” ucap Murni lirih.

Anak itu menangis. Tapi bukan tangisan histeris. Tangisan yang datar, nyaris diam. Tangisan orang yang sudah lama kehilangan harapan untuk didengar.

“Mereka bilang aku gagal... sekolah... rumah... semua orang... mereka nggak suka aku.”

“Kau dengar itu dari siapa?” Murni mencoba mendekat, satu langkah demi satu langkah.

Anak itu mengangkat tangan dan menunjuk ke langit. Tapi tak ada apa-apa di sana.

“Dia bisikin ke aku tiap malam. Katanya, kalau aku jatuh... aku akan tenang.”

Murni kian mendekat, satu langkah. Dua langkah.

Lalu—suara lain muncul.

Lelaki.

Tenang, berat, seolah berasal dari celah antara kata dan kenyataan.

“Jika kau tarik dia mundur sekarang, kau harus menanggung beban yang dia tinggalkan.”

Murni menoleh.

Mahanta berdiri di sudut atap, entah sejak kapan. Bayangan tubuhnya panjang, tidak sepadan dengan cahaya bulan. Matanya menatap anak itu, bukan dengan iba—tapi dengan pengertian yang dalam dan gelap.

“Apa maksudmu?” tanya Murni.

“Setiap jiwa yang kau selamatkan, akan meninggalkan bayangannya padamu,” jawab Mahanta. “Dan bayangan itu... tidak pernah ringan.”

Murni menoleh lagi ke si anak. Kini bocah itu menatapnya langsung, mata merah basah, bukan karena marah — tapi karena lelah.

“Aku... aku capek, Kak,” gumamnya.

Tanpa pikir panjang, Murni berlari dan memeluk anak itu dari belakang. Tubuhnya dingin. Kaku. Tapi tidak melawan.

Dan saat itulah... semuanya berhenti.

Suara kota, angin, bahkan waktu seolah mematung. Dunia seperti mengambil jeda.

Lalu, sebuah kehangatan aneh menyelubungi tubuh Murni. Bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya. Dan anak itu… perlahan… menghilang dalam pelukannya. Bukan mati. Bukan pergi. Tapi... ditarik ke tempat lain.

Yang tertinggal hanyalah pakaian sekolah yang jatuh di lantai atap.

Murni terduduk. Tubuhnya gemetar. Dadanya sesak.

“Apa yang barusan terjadi...?” bisiknya. “Mengapa anak itu menghilang? Apakah aku… sudah menyelamatkannya?”

Mahanta menghampiri. Ia membawa semangkuk sup hangat, entah dari mana. Ia letakkan di depan Murni.

"Selamat datang," katanya, "di meja yang tak pernah kosong."

Dan tiba-tiba saja, mereka telah kembali di warung itu.

---

Beberapa malam setelah kejadian itu, Murni tidak makan. Tidak tidur. Ia hanya duduk di kamarnya, memeluk lutut, mengusap-usap salib kecil yang dulu selalu memberi ketenangan.

Tapi sekarang… salib itu terasa berat.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa... takut pada doanya sendiri.

Dalam mimpi, anak laki-laki itu muncul. Berdiri di ladang kosong, di bawah langit merah. Dia tidak bicara. Hanya menatap Murni, dan di matanya, terpampang rasa terima kasih, dan ‘bekas luka’ yang kini... pindah ke dirinya.

---

Malam kelima, Murni kembali ke warung itu.

Warung Murni.

Kini ia tahu, bukan kebetulan nama warung itu sama dengan namanya..

Mahanta menunggunya di balik meja, seperti biasa. Tidak ada pelanggan. Hanya satu kursi. Satu mangkuk sup. Dan satu pertanyaan yang menggantung seperti pedang Damocles:

“Berapa banyak lagi yang harus kita beri makan sebelum mereka mau hidup kembali? Apakah itu yang membawaku ke sini? Misi untuk menyelamatkan mereka?”

Mahanta menatapnya, mata hitam pekat segelap malam paling dalam.

“Tidak semua bisa diselamatkan,” katanya pelan. “Hanya beberapa. Tapi terkadang satu pun cukup untuk mengubah segalanya.”

Murni menatap sup di depannya.

Kali ini, ia melihat seorang pria tua dengan botol pil di tangannya. Di sebelahnya, radio memutar lagu anak-anak.

Hatinya hancur pelan-pelan. Tapi ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Ia bangkit berdiri.

1
adi_nata
baru bab awal aura misterinya sudah sangat pekat.
💕💕syety mousya Arofah 💕💕
kok pas nmne Salman kek anakku 🙈🙈
💕💕syety mousya Arofah 💕💕: hrusnya jgn slman thorrr...Salman itu artinya minta aman dn keselamatan...nanti KLO pke slman jdi GK sesuai..haiiishhh.,galau q thorrr...tpi GK PP..cuma crita kug y
Dela Tan: Haha... otor ngebayangin profilnya Salman Khan, serem kan?
total 2 replies
Ryan Jacob
semangat Thor
Jati Putro
setiap nyawa yg di selamatkan ,
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
Jati Putro
mungkin murni reinkarnasi dari wanita yg terbakar ,
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
Jati Putro
Kalimat jangan bermakna dilarang
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran
Nike Raswanto
wow.....keren ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!