Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Toxic Relationship
Gue buang pandangan, senyum kecil sambil geleng-geleng kepala.
"Lo nggak seharusnya ngomong gitu ke pelanggan."
"Gue cuma ngomong yang jujur."
Kita diam lagi.
Kali ini lebih lama.
"Bagaimana cara lo ngelakuin itu?" tanya Gue akhirnya.
"Maksudnya?"
"Lo bisa dekat sama orang dengan gampang gitu, bagaimana caranya?"
"Hmm..." Phyton pura-pura mikir. "Apa ya? Mungkin karena gue emang terlahir buat jadi orang yang menyenangkan. Ini bakat sekaligus kutukan."
Gue angkat alis. "Kutukan?"
Dia mengangguk terus berdiri. Pelan-pelan dia turun dari tangga kayu sampai ke trotoar.
Phyton memperhatikan gue dari bawah. "Kalau lo gampang dekat sama semua orang dan selalu jadi pusat perhatian, kadang lo juga narik seseorang yang salah."
Kata-katanya bikin gue keingat sama lebam di lengannya. "Lo pernah ngalamin?"
Dia mengangguk lagi, masih dengan senyum di wajahnya.
"Berkali-kali. Tapi ya, gue masih di sini, kan?"
Gue memperhatikan dia. Celana jeans-nya sudah agak lusuh, kemeja putihnya juga kelihatan kusut di beberapa bagian. Dan di situ gue sadar. Gue nggak tahu siapa Phyton sebenarnya.
Dia kelihatan ramah, gampang akrab, tapi gue benaran nggak tahu apa-apa soal dia. Dan gue pengen tahu.
Gue bisa gampang nyambung sama Bessie dan Phyton, dan itu bikin gue merasa nggak sendirian. Mereka bikin gue percaya kalau berteman itu gampang.
"Phyton."
Gue nggak tahu bagaimana cara tanya ini, jadi gue cuma jilat bibir sebentar, mencari kata-kata, sementara dia nunggu dengan mata yang waspada tapi tetap senyum santai. Dan akhirnya gue keluarin aja pertanyaannya:
"Lo baik-baik aja?"
Dia kerutkan alis. "Kok tiba-tiba tanya gitu?"
"Lengan lo... Gue nggak sengaja lihat lebamnya."
Senyumnya langsung pudar. Tangannya saling menggenggam di depan perutnya, refleks karena gugup.
"Gue baik-baik aja, kok. Nabrak pinggiran pintu doang. Lo tahu sendiri, tempat kita nyiapin kopi tuh sempit banget. Lagi asik nyeduh kopi, tahu-tahu nggak sadar ada sudut tajam di—"
"Phyton."
"Serius, gue nggak lihat sudutnya pas itu. Bodoh banget, ya? Sudut meja itu jelas banget—"
"Barusan lo bilang kejedot pintu, kan?"
Phyton langsung pucat, mulutnya terbuka kayak mau ngomong, tapi terus dia diam beberapa detik sebelum akhirnya mencoba buat menyelamatkan diri, "Kayaknya gue kebanyakan minum, sampai nggak sadar ngomong apa."
Tapi gue nggak nyium bau alkohol sama sekali pas dia ada di sebelah gue. Dia bohong. Dan gue mengerti kenapa. Kita baru kenal, dan gue sudah mengusik sesuatu yang jelas sensitif buat dia.
Tapi diam bukan pilihan kalau ini soal keselamatan seseorang. Kalau ada yang butuh bantuan, gue nggak bisa pura-pura nggak lihat.
Gue berdiri, turun dari tangga pelan-pelan. Phyton memperhatikan gue dengan hati-hati.
"Gue nggak tahu ada apa, tapi gue di sini." Gue tatap matanya dalam-dalam. "Apa pun yang lo butuhin."
Phyton buang pandangan ke samping.
"Lo bahkan nggak kenal gue. Jangan ngomong hal sedalam itu ke orang asing."
"Kenal atau nggak, kalau lo dalam bahaya, gue bisa bantu."
"Gue baik-baik aja."
"Phyton."
"Gue mau ke Selma aja, mumpung lo masih jadi pengecut buat samperin dia."
Dia melangkah, mencoba melewati gue, tapi gue refleks pegang lengannya pelan buat nahan dia.
"Tunggu."
Phyton langsung melepas tangannya dari genggaman gue. "Gue bilang gue baik-baik aja. Lo cuma halu, melihat sesuatu yang nggak ada. Lo bukan siapa-siapa buat ikut campur urusan gue."
Gue langsung berdiri di depannya, menghalangi jalannya.
"Phyton, dengarin gue."
Dia kelihatan mau dengar... tapi tiba-tiba matanya melewati gue, fokus ke sesuatu di belakang.
Dan ekspresinya berubah total.
Senyumnya hilang.
Matanya kosong.
Atau lebih tepatnya... takut?
"Apa yang terjadi di sini?"
Suara laki-laki dengan nada serak terdengar dari arah pintu. Pas gue nengok, gue langsung lihat cowok berambut hitam itu, yang dari tadi nggak jauh-jauh dari Phyton.
"Nggak ada apa-apa." Phyton buru-buru jawab.
Gue bisik-bisik, masih memperhatikan dia, nggak lepas dari ekspresinya yang tegang. "Phyton… ini dia, kan? Kalau lo nggak—"
"Eh, anak baru, kenapa lo bisik-bisik?" potong cowok itu.
Gue berbalik buat hadapi dia. Dari atas tangga, dia kelihatan jauh lebih mengintimidasi daripada sebelumnya.
"Emangnya kenapa gue harus jelasin ke lo?" balas gue, nggak mundur.
Dia miringkan kepala, kasih senyum tipis yang sama sekali nggak kelihatan ramah.
"Lo nggak, perlu. Tapi dia harus."
Dia nunjuk ke Phyton, yang langsung buru-buru jawab, "Kita cuma ngobrol."
Cowok itu sempat diam sebentar sebelum mengeluarkan suara yang lebih dingin. "Siapa yang ngizinin lo keluar dari pesta?"
Phyton langsung nunduk. "Gue cuma butuh udara."
"Oh, gitu."
Gue nggak percaya ini benaran terjadi di depan mata gue.
Nih orang apaan, sih?
Firasat gue makin kuat, dia pasti ada hubungannya sama lebam di tubuh Phyton.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢