Sakit Jiwa Kamu, Mas!

...- Saat ujian fitnah datang menerpa, mau berbicara maupun sumpah sekalipun tak akan ada yang percaya -...

Adnan dan Kana saling pandang. Mereka tahu bahwa jika wawancara ini diterbitkan, pasti akan menjadi berita besar.

"Maaf, kami tidak ingin diganggu," jawab Adnan tegas.

Namun, wartawan itu tidak mudah menyerah. Ia terus berusaha untuk mendapatkan komentar dari keduanya. "Sedikit saja ya, kami hanya ingin tahu tentang hubungan harmonis antara Anda dan Nyonya Kana. Pasangan serasi seperti Anda berdua tentu menjadi idaman banyak orang," bujuk wartawan itu.

Kana merasa semakin tidak nyaman. Ia tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik. "Maaf, kami tidak ingin membahas tentang kehidupan pribadi kami," tolak Kana dengan tegas.

Wartawan itu tidak menyerah begitu saja. Ia terus mendesak, "Kalau begitu, boleh saya tanya alasan kenapa orang tua Pak Adnan tidak hadir di pernikahan kalian?"

Pertanyaan itu membuat Adnan dan Kana terdiam sejenak. Kana menatap Adnan seolah meminta jawaban atas pertanyaan yang selama ini Kana pendam. Rasa ingin tahu Kana tentang apa alasan ketidakhadiran kedua orang tua Adnan begitu besar namun Kana tak berani menanyakannya secara langsung. Kana merasa satu perahu dengan si wartawan. Ia juga butuh jawaban dari pertanyaan yang ia takut untuk tanyakan sendiri.

"Itu adalah urusan keluarga kami," jawab Adnan akhirnya, berusaha terdengar tenang.

"Tapi banyak yang penasaran, Pak Adnan. Apakah ada masalah dalam keluarga Anda?" tanya wartawan itu semakin mendesak.

"Masalah? Tak perlu sok tahu ya tentang hal yang tidak kalian tahu," balas Adnan.

"Apa ketidakhadiran kedua orang tua Pak Adnan karena mereka tak merestui hubungan Pak Adnan dengan Kana?" Wartawan terus bertanya meski wajah Adnan terlihat mulai kesal.

Kana masih terus menatap Adnan. Ia penasaran jawaban apa lagi yang Adnan akan berikan.

"No comment. Sudah saya katakan kalau itu alasan pribadi yang tak mau saya ungkap ke media. Permisi, kami mau menikmati waktu kebersamaan kami berdua." Adnan menarik tangan Kana dan mengajaknya pergi meninggalkan wartawan yang terlihat kesal karena tak berhasil mewawancarai Adnan.

Adnan dan Kana meninggalkan lokasi syuting dengan suasana hati yang agak tegang. Pertanyaan wartawan tentang orang tua Adnan masih terus menghantui pikiran Kana. Adnan tahu Kana juga penasaran, tetapi ia tak mau urusan pribadinya terungkap oleh media, apalagi ia adalah seorang politikus. Kehidupan pribadinya bisa digoreng dan menjadi senjata makan tuan bila ia salah melangkah.

"Maaf, tadi aku terlalu keras sama wartawannya," ujar Adnan sambil mengelus tangan Kana.

Kana tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku juga tidak suka kalau kehidupan pribadi kita terus diganggu."

Mereka berdua kemudian pergi ke restoran favorit mereka. Suasana di restoran cukup tenang, memberikan mereka kesempatan untuk berbicara lebih terbuka.

Kana membuka percakapan selama makan malam untuk mencairkan suasana yang terasa agak canggung. Kana beberapa kali melirik Adnan terlebih dahulu, ragu-ragu untuk memulai pembicaraan. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertanya. "Mas, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Kana dengan suara lembut.

Adnan mengangguk, "Tentu saja."

"Jujur saja, apa yang wartawan tadi tanyakan juga membuat aku penasaran namun aku menahannya. Mas, kenapa aku tak pernah dipertemukan dengan kedua orang tuamu? Bukankah sebelum menikah biasanya setiap pasangan memperkenalkan pasangannya dengan kedua orang tua? Aku contohnya, aku memperkenalkan Mas Adnan pada kedua orang tuaku. Ya ... aku mengerti kalau mereka sibuk sekali sampai tak bisa datang di acara pernikahan kita, namun sampai kapan mereka terus sibuk sampai tak bisa kutemui? Aku juga ingin mengenal mereka dan mendapat restu agar rumah tangga kita selalu dikaruniai kebahagiaan. Mas, bagaimana kalau kita saja yang menemui mereka?" tanya Kana, matanya menatap dalam ke mata Adnan.

Adnan terdiam sejenak. Ia tahu bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk jujur kepada Kana. Sudah lama Adnan merahasiakan semua. Kana tak bodoh, ia pasti mencurigai ada sesuatu yang Adnan sembunyikan. "Memangnya kalau aku pertemukan, apa kamu siap bertemu mereka? Apa kamu siap menerima penolakan dari mereka?"

"Ap-apa? Penolakan?" tanya Kana dengan terkejut. Kening Kana nampak berkerut.

"Ya, mereka ... tak bisa menerima sembarangan menantu apalagi kamu yang pernah tersandung kasus narkoba. Maaf aku tak pernah menceritakan padamu. Saat aku mengatakan ingin menikahimu, mereka menentang keras pernikahan kita. Aku tak peduli. Aku tetap pada keputusanku dan ya ... seperti yang kamu lihat, mereka tak mau hadir di pernikahan kita. Mereka tak menganggap kamu sebagai menantu. Keras kepala sekali bukan mereka?" Adnan menatap Kana yang terlihat sedih dengan tatapan iba. Istri cantiknya pasti sedih saat tahu kalau pernikahan mereka tak pernah direstui sejak awal.

Adnan lalu menghibur hati Kana yang sedih mendengar dirinya tak direstui akibat skandal narkoba di masa lalu. "Aku menyembunyikan kenyataan tentang kedua orang tuaku darimu karena aku berusaha melindungi hatimu. Aku tak mau kamu terluka. Ini pernikahan kita, kita yang menjalaninya. Kalau mereka tak mau menerimamu, aku tak peduli. Asal ada kamu di sisiku, restu mereka tak penting bagiku."

Kana menghapus air mata yang menetes tanpa bisa ia tahan lagi. Kana tak menyangka kalau masa lalunya yang kelam masih menjadi penghambat kebahagiaannya. "Aku ... aku tak menyangka masa laluku akan membuat mereka menolakku, Mas. Aku tak seperti itu. Aku tak pernah menggunakan barang haram tersebut. Aku berani bersumpah kalau aku dijebak. Kenapa semua orang tak ada yang mempercayaiku?"

"Aku tahu, Sayang. Aku tahu kamu tak pernah menggunakan barang haram itu." Adnan mengambil tisu lalu menghapus air mata di wajah Kana.

"Lalu bagaimana dengan mereka? Apakah kita akan terus begini? Apakah kita selamanya akan hidup tanpa restu mereka?"

"Kalau memang itu yang terbaik untuk kita, kenapa tidak?" balas Adnan.

"Mas!"

"Apa? Kamu mau tetap mengharap restu mereka?" tanya Adnan dengan wajah lelah.

"Ya. Harus. Aku akan berusaha mendapatkan restu mereka. Tolong pertemukanku dengan kedua orang tuamu," desak Kana.

Adnan menghela nafas dalam. Ia tak bisa apa-apa jika Kana sudah keras kepala seperti ini, apalagi semalam Adnan sudah membuat kesalahan fatal sampai menyakiti hati Kana. Adnan mengalah. Ia turuti keinginan Kana. "Baiklah. Aku akan mempertemukanmu dengan kedua orang tuaku. Ayo, kita pulang, sudah malam."

Sebelum pulang, Adnan memesan strawberry cheesecake untuk dibawa pulang. Kana yakin, cake yang Adnan pesan untuk Rara si Nyonya Besar. Hati Kana kembali teriris. Saat bersamanya, Adnan tetap mengingat makanan kesukaan wanita yang amat ia cintai. Kana merasa semakin tak berharga di mata Adnan. Sedih sekali.

"Mas, kalau aku tak direstui kedua orang tuamu karena aku punya masa lalu yang kelam, apakah pernikahanmu dengan Nyonya Besar itu direstui mereka?" batin Kana.

****