NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦱꦼꦧꦼꦭꦱ꧀

Sing lunga bakal nyerang luwih ganas.

Berita mengenai kekalahan pasukan Belanda di Mataram seperti guntur yang menggetarkan tanah Jawa. Pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung telah menggulung pasukan Belanda dengan taktik yang cerdik dan kekuatan yang tak terduga. Batavia yang semula dipandang sebagai lambang kemenangan Belanda di Nusantara kini terasa seperti tempat yang terancam.

"Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut," gumam de Graf, memandang ke luar jendela benteng yang menghadap laut. Pikirannya dipenuhi kekesalan dan kebingungan. Belanda, yang sudah menginvestasikan banyak tenaga dan sumber daya untuk menguasai Nusantara, kini terancam kehilangan banyak wilayah yang telah mereka kuasai. Terlebih lagi, Mataram bukan hanya mengusir pasukan mereka, tetapi juga memukul mundur armada mereka dengan keberanian yang luar biasa.

William mengalihkan pandangannya ke peta besar yang terhampar di atas meja. Sambil mengamati jalur perdagangan yang melintasi Laut Jawa, ia memikirkan langkah berikutnya. "Banten," bisiknya pelan. "Banten adalah saingan utama Mataram, tetapi mungkin... mungkin inilah kesempatan kita untuk mencari perlindungan dan memulihkan kekuatan."

Setelah kekalahan telak di Mataram, beberapa pasukan Belanda yang tersisa kini berada di Banten, kerajaan pesisir yang dikenal dengan kekuatan perdagangan dan politiknya. Meski menjadi rival Mataram, Banten juga tengah berhadapan dengan ancaman yang sama: penjajahan Belanda. Dengan situasi ini, de Graf tahu bahwa mereka harus bertindak cepat.

Dengan langkah mantap, William memanggil perwira-perwira tinggi yang tersisa di markas. "Kalian semua tahu apa yang telah terjadi di Mataram. Pasukan kita telah dikalahkan, dan kita tak bisa tinggal diam. Kita perlu bergerak, kita harus mencari tempat yang lebih aman. Banten adalah pilihan terbaik."

Seorang perwira, Jenderal Johan, menundukkan kepala mendengar keputusan itu. "Banten, Tuan? Itu memang saingan utama Mataram, tetapi apakah mereka akan menerima kita begitu saja? Mereka sudah lama mencurigai kita, Belanda. Mereka tahu kita bukan sekadar pedagang, kita juga penjajah."

William menatapnya tajam. "Itulah mengapa kita harus bersikap hati-hati. Kita bukan lagi sekadar pasukan yang kalah, kita adalah pihak yang terdesak. Dan Banten... Banten pasti tahu, kita punya kekuatan yang bisa membantu mereka menghadapi Mataram. Kita tak datang untuk menyerang mereka, kita datang untuk meminta perlindungan."

Satu persatu perwira-perwira itu mengangguk, menyadari bahwa pilihan mereka semakin sempit. "Bagaimana kita akan menghadapinya, Tuan?" tanya perwira lainnya.

De Graf berjalan mendekati peta. "Kita akan menyusun strategi untuk pergi ke Banten. Kita akan mengirim utusan terlebih dahulu, membawa pesan bahwa kita tidak datang sebagai musuh, tetapi sebagai sekutu potensial. Kita harus memberi mereka alasan untuk menerima kita. Jika mereka menolak, maka kita tidak punya pilihan selain kembali ke Batavia dan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk."

Suasana di dalam ruangan itu begitu tegang. Semua tahu bahwa keputusan ini bukanlah langkah mudah. Mengandalkan Banten yang sudah lama berseteru dengan Mataram tentu membawa risiko besar. Namun, William de Graf sudah tidak melihat banyak pilihan lain. Mataram, dengan segala kekuatan dan kebijaksanaannya, telah mengusir mereka dari tanah Jawa. Kini, satu-satunya harapan adalah mengandalkan pihak yang sebelumnya mereka anggap sebagai saingan.

Tak lama kemudian, sebuah kapal kecil berlayar dari Batavia menuju Banten. Di atas kapal itu, utusan Belanda dengan perwira-perwira tinggi yang terpilih berlayar dengan hati penuh kecemasan, namun juga tekad yang kuat. Di tengah laut yang bergelombang, mereka tahu bahwa nasib mereka kini bergantung pada penerimaan Banten.

Sementara itu, di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa, pemimpin Kesultanan Banten, menerima kabar tentang kedatangan utusan Belanda. Para penasihatnya berkumpul di istana, membicarakan keputusan yang harus diambil. Meski Banten dan Mataram memiliki sejarah persaingan, Sultan Ageng juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa Mataram kini menjadi ancaman besar bagi kerajaan-kerajaan pesisir. Namun, ia tidak dapat dengan mudah mempercayai Belanda, yang selalu datang dengan kepentingan tersembunyi.

"Jika kita menerima mereka, apakah itu berarti kita mengkhianati perjuangan kita selama ini melawan Mataram?" tanya salah seorang penasihat Sultan.

Sultan Ageng berpikir sejenak, matanya menatap keluar jendela istana, memandangi laut yang tenang. "Tidak ada pilihan yang mudah dalam politik. Kita harus berpikir jauh ke depan. Jika kita tidak menerima mereka, Belanda bisa menjadi musuh yang lebih besar. Namun jika kita menerima mereka, kita harus siap menghadapi segala risiko yang mungkin muncul."

Akhirnya, Sultan Ageng memutuskan untuk menerima utusan Belanda dengan syarat-syarat tertentu. Ia akan menggunakan posisi ini untuk memperkuat posisinya sendiri dalam menghadapi Mataram. Namun, ia juga tidak akan sepenuhnya percaya pada Belanda, yang jelas memiliki ambisi besar untuk menguasai seluruh Nusantara.

Kapal utusan Belanda akhirnya merapat di pelabuhan Banten. Utusan itu membawa pesan bahwa Belanda tidak lagi berjuang sebagai penjajah, melainkan sebagai sekutu yang memerlukan perlindungan. Begitulah, sebuah aliansi yang rumit pun mulai terjalin, di mana dua pihak yang pernah menjadi musuh kini terpaksa berhadapan dengan ancaman yang lebih besar: Mataram.

***

Mentari siang menyengat, namun tidak mampu mencairkan ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sultan Ageng Tirtayasa, dengan sorot mata tajam, menatap lurus ke arah utusan Belanda yang berdiri di hadapannya. Di sisi lain, beberapa pejabat kerajaan saling bertukar pandang, seolah mencari isyarat dari pemimpin mereka.

Utusan itu, seorang pria bertubuh tinggi dengan kumis melintang, tampak penuh percaya diri. Namun, matanya menyiratkan kehati-hatian, menyadari betapa rapuhnya situasi ini.

"Yang Mulia Sultan Ageng Tirtayasa, kami datang membawa kabar baik. Kompeni Belanda bersedia menjadi sekutu Banten untuk melawan ancaman Mataram yang semakin mendekat ke perbatasan Tuan," ia tersenyum kecil.

"Sekutu? Kalian menawarkan sekutu? Bukankah tangan kalian sendiri yang telah menodai pelabuhan kami dengan monopoli dan tipu daya?" Sultan Ageng menyilangkan tangannya di dada, nada bicaranya pun membentak.

"Yang Mulia, masa lalu tak perlu menjadi penghalang masa depan. Kami hanya ingin membantu Banten menjaga kedamaian. Bayangkan, jika Banten dan Belanda bersatu, Mataram tak akan berani mengganggu," utasan Voc sendiri masih berusaha menjalankan tipu daya yang ia buat.

"Yang Mulia, tawaran ini penuh tipu muslihat. Belanda hanya mencari kesempatan untuk merampas lebih banyak dari tanah kita. Mereka ingin memecah belah kita, bukan membantu," kala di tengah pembicaraan mereka tiba tiba Patih Raden Wangsadipa mengeluarkan pendapatnya.

"Banten tidak butuh tangan kotor yang mengaku sebagai teman. Aku tahu niatmu, Belanda. Kau ingin menciptakan jurang antara kami dan saudara-saudara kami di Mataram, lalu menjadikan kami budak di tanah sendiri."

"Yang Mulia, jika itu keputusan Anda, maka ingatlah: Mataram semakin kuat, dan kami tidak akan selalu menawarkan tangan ini."

"Pergi. Dan bawa pesan ini ke tuanmu di Batavia: selama aku masih hidup, Banten akan berdiri bebas. Tidak ada tempat bagi penjajah, baik dari timur maupun barat."

Utusan itu perlahan membungkuk, meninggalkan balairung dengan wajah penuh kekecewaan. Sultan Ageng duduk kembali di singgasananya, wajahnya tetap tegar meski ketegangan menyelimuti pikirannya. Ia tahu, keputusan ini akan membawa konsekuensi besar. Namun, demi tanah Banten, ia siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Sultan Ageng Tirtayasa, meskipun menyadari bahwa keadaan Banten semakin genting dengan ancaman yang datang dari Mataram, tidak terburu-buru untuk bekerja sama dengan Belanda. Ia adalah seorang pemimpin yang bijaksana, memahami bahwa bersekutu dengan VOC bisa memberi keuntungan militer, namun juga bisa menjadi pisau bermata dua. Sultan Ageng tahu bahwa Belanda, dengan kekuatan armada laut dan pasukan yang terlatih, dapat menjadi sekutu yang sangat berguna dalam menghadapi kekuatan Mataram yang semakin agresif. Namun, ia juga tahu betul bahwa hubungan dengan VOC harus dibangun dengan hati-hati.

Ia menyadari bahwa VOC bukanlah sekutu yang dapat dipercaya sepenuhnya, karena ambisi mereka untuk menguasai perdagangan dan memperluas pengaruh di Nusantara tidak dapat disembunyikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!