Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 KEMBALINYA AISYAH, TAPI BUKAN YANG SAMA
Sudah lebih dari seminggu sejak Aisyah dan anak-anak meninggalkan rumah ini. Dan hari ini, akhirnya mereka kembali.
Aku mendengar suara pintu terbuka, diikuti langkah-langkah kecil anak-anak yang berlarian masuk. Aku yang sedang duduk di ruang tamu segera berdiri, perasaan lega menyelimutiku saat melihat mereka.
“Aisyah…” aku memanggilnya dengan nada pelan, berharap ada sedikit kehangatan yang tersisa.
Tapi Aisyah hanya melirik sekilas, tanpa ekspresi, lalu berjalan melewatiku seperti aku tidak ada di sana.
Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin dia masih butuh waktu. Yang penting, dia sudah pulang.
“Ayah!” teriak anak-anak sambil berlari ke arahku. Aku tersenyum, meraih mereka ke dalam pelukan.
“Ayah kangen sekali sama kalian,” ucapku sambil mencium puncak kepala mereka satu per satu.
Anak-anak tertawa kecil, tapi aku bisa melihat bahwa mereka juga merasa ada sesuatu yang berbeda.
Aku melirik ke arah Aisyah yang kini tengah membereskan barang-barang mereka. Dia terlihat begitu tenang, tapi… bukan ketenangan yang biasa. Ada jarak di matanya.
Aku mendekatinya. “Aisyah, kita bisa bicara sebentar?” tanyaku hati-hati.
Dia berhenti sejenak, lalu menatapku sekilas. “Bicara apa?” tanyanya datar.
“Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin—”
“Apa yang perlu dijelaskan?” potongnya tanpa emosi. “Kamu ingin menikah lagi, aku sudah mengizinkan. Sekarang, jalani saja keputusanmu. Tidak ada yang perlu dibahas.”
Nada suaranya begitu dingin, begitu asing.
Aku terdiam, merasakan sesuatu menghantam dadaku dengan keras.
Dulu, Aisyah adalah orang yang selalu mendengarkanku. Yang selalu berbicara dengan lembut, yang selalu memperhatikanku. Tapi wanita di depanku sekarang bukanlah Aisyah yang sama.
Dia tidak marah, tidak menangis, tidak membantah. Tapi justru sikapnya yang seperti ini yang membuatku merasa lebih terluka.
Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin mencoba memperbaiki keadaan, tapi rasanya sia-sia.
Aisyah sudah tidak peduli lagi.
Dan entah kenapa, itu jauh lebih menyakitkan daripada jika dia marah sekalipun.
...****************...
Tiga hari setelah kepulangan Aisyah, kedua orang tuaku kembali datang. Biasanya, setiap kali mereka berkunjung, Aisyah akan sigap menyambut mereka. Ia akan menyiapkan minuman, menyuguhkan cemilan, dan berbincang dengan sopan seperti seorang menantu yang penuh hormat.
Tapi kali ini berbeda.
Aisyah bahkan tidak keluar dari kamar.
Aku sendiri yang membuka pintu dan mempersilakan mereka masuk. Ibu langsung duduk di sofa, sementara Ayah menatap sekeliling dengan dahi mengernyit.
“Kemana Aisyah?” tanya Ayah dengan nada tak suka.
Aku menoleh ke arah kamar. “Mungkin sedang di dalam.”
Biasanya, bahkan sebelum Ayah bertanya, Aisyah sudah lebih dulu muncul dengan senyum ramahnya. Tapi kali ini… tidak ada tanda-tanda kehadirannya sama sekali.
Aku melangkah ke dapur, membuka lemari, dan mengambil beberapa gelas. Dengan sedikit canggung, aku menyiapkan minuman untuk mereka.
Ibu menatapku dengan tatapan aneh. “Kamu yang buatkan minuman? Biasanya Aisyah yang menyiapkan.”
Aku tidak langsung menjawab, hanya meletakkan gelas-gelas di meja tamu.
“Dia sibuk di dalam,” jawabku pendek.
Ayah mengangkat alis. “Sibuk? Apa yang lebih penting daripada menyambut kedatangan mertuanya?”
Aku menelan ludah, mulai merasa gelisah. Aku tahu sikap Aisyah yang seperti ini akan membuat Ayah dan Ibu tidak senang, tapi aku juga tidak bisa menyalahkannya.
Saat suasana semakin tegang, tiba-tiba Aisyah keluar dari kamar, mengenakan gamis sederhana dan kerudung yang tampak sedikit berantakan. Tidak seperti biasanya, wajahnya tidak dipoles senyum ramah. Dia hanya berjalan melewati kami menuju dapur tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ayah memperhatikan dengan ekspresi yang semakin masam. “Aisyah,” panggilnya.
Aisyah berhenti, lalu menoleh dengan ekspresi datar. “Iya, Yah?”
“Kamu tidak menyambut kami?” tanya Ayah, nada suaranya terdengar jelas menyimpan kekecewaan.
Aisyah menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis—senyum yang terasa begitu dingin. “Oh, maaf. Selamat datang, Yah, Bu.”
Itu saja. Lalu dia berbalik dan masuk ke dapur, meninggalkan kami dalam keheningan.
Ibu mendengus pelan. “Astaghfirullah, Reza. Itu istrimu? Seperti tidak punya sopan santun!”
Aku menghela napas panjang. Aku tahu ini akan terjadi.
Ayah meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar. “Dulu dia menantu yang baik. Sekarang apa-apaan sikapnya? Hanya karena kamu mau menikah lagi, dia jadi tidak menghormati kami?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Aku ingin membela Aisyah, mengatakan bahwa dia terluka, bahwa dia hanya mencoba bertahan, bahwa dia sudah cukup kuat dengan tidak pergi meninggalkanku.
Tapi aku juga tahu, mengatakan itu hanya akan membuat semuanya semakin rumit.
Jadi, aku hanya diam.
Dan dalam diam itu, aku menyadari satu hal.
Aisyah mungkin masih ada di rumah ini, tapi hatinya sudah tidak lagi bersamaku.
Karena ayahku kurang puas dengan sikap Aisyah yang seperti kurang sopan santun, Ayah menyuruhku untuk memanggil Aisyah dan membicarakan masalah pernikahanku. Aku pun memanggil Aisyah dan ia pun mau menurutku tapi dengan tatapan datar.
Aku menghela napas panjang sebelum mengetuk pintu kamar.
“Aisyah,” panggilku pelan.
Tak ada jawaban. Namun, aku tahu dia pasti mendengar. Aku mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras.
“Ayah ingin bicara,” lanjutku, mencoba tetap tenang.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Aisyah berdiri di ambang pintu, wajahnya datar tanpa ekspresi. Matanya menatapku tanpa emosi, seolah aku adalah seseorang yang tidak lagi berarti baginya.
“Baik,” jawabnya singkat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan melewatiku menuju ruang tamu. Aku mengikutinya dari belakang, perasaan gelisah semakin menguat dalam dada.
Setibanya di ruang tamu, Ayah sudah menunggu dengan ekspresi tegas. Ibu duduk di sebelahnya, wajahnya terlihat tidak senang.
Aisyah duduk di sofa seberang mereka, tubuhnya tegap, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut atau gugup.
Ayah menatapnya tajam. “Aisyah, ada yang ingin kami bicarakan denganmu.”
Aisyah hanya mengangguk kecil. “Silakan, Yah.”
Aku bisa melihat bagaimana Ayah sedikit tidak nyaman dengan sikapnya yang begitu dingin. Biasanya, Aisyah akan menunduk sopan atau setidaknya tersenyum. Tapi kali ini… dia berbeda.
“Kami ingin memastikan bahwa kamu benar-benar mengizinkan Reza menikah lagi,” kata Ayah langsung ke inti pembicaraan.
Aisyah menatap Ayah dengan tenang. “Bukankah saya sudah mengizinkan?”
“Tapi sikapmu seakan tidak menerima.”
Aisyah tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke matanya. “Maaf jika sikap saya terlihat kurang sopan. Tapi saya hanya menyesuaikan diri dengan keadaan.”
Ayah mengernyit. “Apa maksudmu?”
Aisyah menautkan jemarinya di pangkuannya. “Dulu, saya adalah istri yang selalu berusaha melayani suami dan menghormati mertua. Tapi sekarang, suami saya akan memiliki istri lain. Itu berarti, posisi saya sudah berbeda. Saya tidak ingin bersikap berlebihan dalam hal yang sudah tidak sepenuhnya menjadi hak saya.”
Aku terdiam. Kata-katanya terasa seperti tamparan keras.
Ibu mendengus. “Jadi, kamu ingin bilang bahwa setelah Reza menikah lagi, kamu tidak akan peduli lagi dengan keluarga ini?”
Aisyah menoleh ke arah Ibu, masih dengan ekspresi tenangnya. “Saya akan tetap menjalankan tanggung jawab saya sebagai ibu dari anak-anak saya dan sebagai istri selama masih menjadi istri. Tapi untuk hal-hal lainnya, saya tidak ingin ikut campur.”
Ayah bersedekap, ekspresinya semakin tidak senang. “Kamu terdengar seperti ingin menceraikan Reza.”
Aisyah menatap Ayah dengan mata yang tajam. “Tidak, Yah. Saya tidak akan menceraikannya. Saya hanya menyesuaikan diri dengan keadaan.”
Suasana menjadi begitu hening. Kata-kata Aisyah menggantung di udara, memberikan tekanan yang lebih berat daripada amarah atau tangisan.
Aku menunduk, merasa dadaku semakin sesak.
Aisyah masih ada di sini, masih menjadi istriku. Tapi aku sadar… dia sudah bukan Aisyah yang dulu lagi.
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang