"perceraian ini hanya sementara Eve?" itulah yang Mason Zanella katakan padanya untuk menjaga nama baiknya demi mencalonkan diri sebagai gubernur untuk negara bagian Penssylvania.
Everly yang memiliki ayah seorang pembunuh dan Ibu seorang pecandu obat terlarang tidak punya pilihan lain selain menyetujui ide itu.
Untuk kedua kalinya ia kembali berkorban dalam pernikahannya. Namun ditengah perpisahan sementara itu, hadir seorang pemuda yang lebih muda 7 tahun darinya bernama Christopher J.V yang mengejar dan terang-terangan menyukainya sejak cinta satu malam terjadi di antara mereka. Bahkan meski pemuda itu mengetahui Everly adalah istri orang dia tetap mengejarnya, menggodanya hingga keduanya jatuh di dalam hubungan yang lebih intim, saling mengobati kesakitannya tanpa tahu bahwa rahasia masing-masing dari mereka semakin terkuak ke permukaan. Everly mencintai Chris namun Mason adalah rumah pertama baginya. Apakah Everly akan kembali pada Mason? atau lebih memilih Christopher
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dark Vanilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nice to meet you, teacher.
Everly meletakkan kasar gelas diatas meja makan. Oke, dia mulai kesal sekarang. Suara itu tidak juga berhenti dari kemarin. Mungkin sehari bisa sampai 3 kali ia mendengarkan suara khas seorang wanita yang sedang keenakan di apartemen sebelah.
Well, dia tidak masalah dengan orang bercinta, tapi siapa yang melakukan itu seperti minum obat, 3 kali sehari? What the hell. Atau dia saja yang berada di dalam pernikahan yang membosankan? Sial.
Kali ini suara itu muncul di pagi begini. Morning s*x rupanya. Tapi tetap saja itu jadi mengganggu. Apalagi suara itu tepat berada di samping kamarnya. Harusnya ia berencana untuk tidur sampai siang, karena seharian kemarin sibuk menata apartemennya. Tetapi karena kerasnya desahan di samping kamarnya. Otomatis dia terbangun dan tak bisa tidur lagi. Well, siapa yang bisa tidur lagi, mendengar dengan jelas percintaan kedua insan itu bahkan sampai ke bagian dirty talknya.
Everly mengusap wajahnya kasar. Sedikit ngenes mengingat kapan terakhir kalinya ia merasakan s*ks sepanas itu? Mason jarang menyentuhnya, sekalinya menidurinya itu pun dengan cara yang tidak menyenangkan.
Wanita itu mulai membuat secangkir kopi kemudian membawa kopinya ke sofa, mengalihkan perhatian dari suara-suara itu. Ia Mengotak-atik ponselnya, dan melihat missed call dari Mason yang sengaja diabaikannya kemarin berikut pesan penuh nada khawatir yang entah tulus atau tidak, menanyakan keadaannya dari sang mantan suami.
Kemudian berakhir membuka pesan dari sebuah nomor baru.
02××××××××:
Ibu, aku mendapat ponsel dari ayah,
katanya boleh kugunakan jika aku merindukan ibu.
02××××××××:
Aku rasa ayah tidak berbakat deh mengurus anak perempuan.
Ibu harus cepat pulang.
Pesan terakhir dilengkapi foto kuciran Lilly Anne yang miring dan berantakan
Everly tertawa membaca pesan dari Lilly Anne. Langsung mengganti nama kontak itu dengan nama ‘my sweet Lilly’
Syukurlah gadis kecilnya itu sudah tidak sedih seperti kemarin saat menelponnya. Lilly Anne yang mengetahui Everly pergi tanpa pamit sempat tantrum dan memaksa untuk menyusul Everly. Untungnya kemudian Mason membujuknya dengan mengunjungi Everly pada akhir minggu ini. Hal itu lumayan menenangkan Lilly Anne.
Merasa rindu, Everly langsung mendial telepon sang anak. Agak lama, sebelum suara seorang gadis kecil menyapa nya.
“Ibu?!”
“Lilly kau sedang—
“Sebentar," potong Lilly "Ayah! Ini terlalu asin!” Everly mendengar sang anak memekik dari seberang telepon entah karena apa.
“Apa yang terjadi di sana?”
“Bu, nenek tadi sudah menawarkan membuat sarapan, tapi ayah dengan percaya diri memasakanku omelet. Dan ibu tau? rasanya seperti kiamat," adu Lilly.
“Kau berlebihan Lilly Anne.” Terdengar suara Mason menyela tak terima.
“Ibu, baru dua hari ibu tidak disini dan rumah jadi kacau.”
“Benarkah?” Everly tertawa lagi.
“Ng, Maka dari itu ibu tidak boleh pergi lama-lama, cepatlah kembali.” Everly diam. Bingung harus menjawab apa.
“I’m sorry, sweetheart. Ibu pastikan perpisahan kita tidak akan lama. Apa kau mau bersabar untukku?”
“Ya ibu. Aku paham. Ibu juga harus tahu, tidak ada ibu yang lebih baik untukku selain dirimu, ibu.”
Everly mengernyitkan keningnya janggal. Kenapa Lilly Anne bicara seperti itu?
“Tapi bu, suara apa itu sedari tadi?”
Everly baru sadar, ketika dirinya tanpa sadar telah berpindah kekamar, duduk di ranjang. Dimana suara dari aktivitas seksual masih terdengar di sebelah.
“Shit!” maki Everly tanpa suara. Sebenarnya berapa jam mereka mau melakukan itu.
“Ah… eum… itu,” Everly panik. Berlari ke luar kamar. “Sweetheart, sepertinya ibu harus mematikan teleponnya. Ada yang harus ibu kerjakan.”
“Tapi bu, ayah bilang ingin berbicara denganmu.”
“Nanti, sayang. I’ll call you later. Bye!” Ucap Everly langsung mengakhiri panggilannya.
Wanita itu menghela napas panjang. Ini bahaya sekali. Terlebih jika Mason yang mendengarnya, apa yang akan dipikirkan pria itu.
Bagaimanapun ini harus dihentikan. Dia harus menegur tetangga mesum itu. Everly heran juga, rasanya dulu penghuni apartemen sebelah bukan orang semesum ini. Mereka sepasang lansia yang baik hati. Mustahil kan lansia ini berhubungan badan 3 kali sehari dengan durasi sepanjang itu.
Everly memutuskan untuk mengetuk pintu apartemen sebelah. Agak ragu awalnya. Karena ini hal memalukan. Belum pernah ia menegur seseorang karena hal semacam ini.
Everly mengetuk beberapa kali, agak lama, dan Everly mengerti itu. Mungkin orang di dalamnya sedang sibuk melapisi diri mereka dengan apapun untuk menutupi tubuh telanjang mereka. Everly tak peduli, ia menunggu dengan sabar.
Tak lama pintu terbuka, awalnya ia menyangka akan bertemu pria tua pendek, penuh keriput dengan rambut memutih yang dulu kalau tidak salah bernama Mr. Sullivan. Namun apa yang kemudian muncul di balik pintu, membuat Everly seketika kehilangan kata-katanya.
Tinggi, dengan kulit sewarna zaitun, pria itu berdiri dalam penampilan khas orang baru bangun tidur. Rambut gondrongnya mencuat kemana-mana, mata tajamnya yang sembab terbuka setengah. Tidak mengenakan apapun, selain boxer putih bermotif bibir merah. Hingga Everly bisa melihat otot perut ketat di tubuh ramping itu.
“Ya?” suara beratnya terdengar serak.
“Aku, eum… aku.” Eve tergagap, menggelengkan kepalanya sedikit untuk mengumpulkan kesadarannya.
“Hai, aku Everly, tetangga di sebelah persis apartemenmu.”
Pria yang tadinya menatap malas-malasan kini matanya terbuka lebar pada Everly.
“Eum..” Everly meremas jemarinya canggung. “Aku tau ini sedikit aneh. Tapi….eumm… bisakah kalian memelankan suara kalian?”
Pria dihadapannya mengernyit tak mengerti.
“Ya itu… maksudku suara.. eummh…” demi tuhan dihadapan mata tajam pria itu, rasanya canggung dan memalukan untuk mengatakannya. “Maksudku, kau tau… suara desahan kalian terdengar sampai ke kamarku.” Everly mengatakannya setengah berbisik.
“Ouh … ah… ehem, itu sebenarnya….” Pria itu menoleh ke dalam apartemen sebelum membuka pintunya sedikit lebar agar wanita di hadapannya bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Disana di ruang tengah yang terlihat sedikit kacau. Everly bisa melihat seorang laki-laki tertidur di sofa dengan posisi Tv masih menyala.
“Itu saudara sialanku. Kau tau, dia tertidur dengan memutar film porno di TV. Dia memang sedikit kecanduan dengan s*x.. Jadi.. Begitulah."
“O-oh…” Everly mengernyit.
“Agak aneh, memang, aku saja bingung dengan kebiasaannya ini. Tunggu sebentar…” pria itu berlari kecil ke dalam apartemen kemudian segera mematikan televisinya menendang sofa tempat saudaranya tidur, mengumpat, lalu kembali kepada Everly.
“Sudah kuurus,” katanya dengan senyum canggung, terlihat kini lebih sadar sepenuhnya. “Maaf atas insiden ini. Aku janji, ini tidak akan terjadi lagi.”
“Ah, ya. Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena salah sangka tadi.” Everly tersenyum tipis, meski masih merasa kikuk. Secara refleks, ia menyilangkan tangan di dadanya, tanpa sadar mengusap kedua lengannya perlahan.
“Di luar dingin, apa kau mau masuk?”
“Ya? A-ah…t-tidak.” Everly gugup. Ia sudah selesai disini, dan seharusnya ia kembali ke apartemennya. “Kalau begitu, aku masuk dulu.” tersenyum kecil, wanita itu menunjuk pintu di sebelahnya.
“Everly?!”
“Ya?” Merasa namanya disebut, Everly kembali menoleh.
“Jadi itu namamu?”
"Ya...." Everly mengangguk.
Pria itu mengangkat sudut bibirnya, menyeringai. Bersandar pada kusen lantas berkata pada Everly. "Akhirnya aku tahu namamu setelah kau pergi meninggalkan aku begitu saja di kamar hotel beberapa hari lalu."
Awalnya Everly masih tak paham, tapi hanya sedetik hingga ingatan menamparnya keras. Pria itu! jelas-jelas itu pria yang sama yang tidur dengannya beberapa waktu lalu.
"Kau-
"Christopher, kita sudah bertetangga, jadi cukup panggil aku Chris, agar lebih akrab!" potong Chris, mengulurkan tangannya dengan percaya diri.
"Great to see you again, teacher. I can't wait to learn more from you"
blush
Seketika pipi Everly memerah hingga ke leher seperti anak remaja puber.