Awalnya pura-pura, lama-lama jadi cinta. Aku, Renata Priyanka, menghadapi kenyataan hidup yang tidak terduga setelah calon suamiku memutuskan hubungan satu minggu sebelum pernikahan.
Untuk memperbaiki nama baik keluarga, kakek mengatur pernikahanku dengan keluarga Allegra, yaitu Gelio Allegra yang merupakan pria yang terkenal "gila". Aku harus beradaptasi dengan kehidupan baru dan konflik batin yang menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anak Balita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengkhianatan
27 Maret 2025, pagi.
Sinar matahari pagi mencoba menerobos penghalang gorden di dinding jendela sebuah ruangan yang tampak tidak asing, itu adalah kamarku. Aku membuka mataku perlahan, sakit, mataku bengkak karena menangis semalaman. Kerongkongan ku kering, berat, tubuhku terasa sangat berat.
Sejak kemarin malam, aku hanya sibuk menangis dan terus-menerus mencoba menghubungi Edward yang sampai pagi itu masih tidak ada kabar. Aku hanya tertidur tidak lebih dari 3 jam semalam. Ini sudah hari ke-3 sejak Edward terakhir menghubungi ku.
Dan ya, pencarian yang Berlin lakukan tentu saja tidak membuahkan hasil, karena itu bukankah keahliannya. Tidak ada jejak sama sekali, yang bisa ku gunakan sebagai petunjuk menghilangnya Edward sejak 3 hari yang lalu.
Aku sudah mulai berputus asa, mau tidak mau aku harus memberitahukan hal ini kepada kakek dan yang lainnya. Aku tidak mau, akibat ulahku nama anggota keluarga menjadi tercoreng jelek dan reputasi yang kakek dan ayah bangun secara susah payah menjadi jatuh dengan sia-sia. Tapi aku takut, apa yang harus aku lakukan? Jika aku memberitahu mereka, pasti mereka sangat marah.
Aku tidak berniat pergi ke kantor perusahaan, bagaimana mungkin aku pergi bekerja dengan kondisiku yang seperti itu? Aku terduduk lemas di atas kasurku, terus mencoba memencet tombol panggilan di nomornya.
Saat genap beratus-ratus kali panggilan, akhirnya pria itu menjawab panggilanku. Aku sontak merasa sangat terkejut, sekaligus senang karena pada akhirnya Edward mau berbicara langsung denganku.
"Halo? Regina?" panggilnya.
Walau terasa aneh karena tidak biasanya dia memanggil namaku seperti itu, tapi ini merupakan sebuah keajaiban dimana aku bisa berbicara dengannya setelah 3 hari kegalauan ini.
"Ed! Apa-apaan maksudnya ini? Berani-beraninya kau menghilang dan mengabaikan ku selama 3 hari seperti ini! Betapa khawatir nya diriku saat kau tiba-tiba menghilang tanpa kabar! Aku bahkan mengunjungi rumahmu kemarin, dan tetangga mu bilang kalau kau sudah pindah rumah? Tanpa memberitahu ku? Tcih! Sebenarnya apa maksud mu?!" aku langsung melontarkan segala kekesalanku kepadanya.
"Maaf, tapi itu benar. Aku memang sudah pindah dari tempat itu. Dan ada hal yang ingin ku sampaikan kepada mu," katanya tenang sekali.
"Apa?"
"Ku rasa kalau kita sebenarnya dari awal sudah tidak cocok. Sebenarnya juga, aku sudah lama ingin mengatakan hal ini, tapi selalu tidak bisa ku katakan. Aku akan mengatakan nya sekarang, jujur selama ini aku tidak pernah mencintaimu, hari-hari bersamamu terasa sangat menekan dan membuat dadaku terasa sesak. Level kehidupan kita mengatakan jika kita sebenarnya tidak seharusnya bersama. Jadi, lebih baik jika kita putus saja," kata pria itu.
Bagaikan tersengat listrik dengan tegangan 352.7969.629.929.376,3volt. Tubuhku terasa hancur, dadaku sesak dan kesulitan bernapas. Apa yang pria bajingan ini katakan barusan?
"Apa kau gila?! Seenak jidat kau bilang 'PUTUS'?! Apa semuanya terlihat sangat mudah di matamu hah?! Minggu depan kita akan menikah!! Menikah!!" saking kesalnya sampai membuatku berteriak.
"Aku tahu, maka dari itu aku mengatakannya sekarang. Daripada ku mengatakannya setelah kita menikah, itu lebih buruk bukan?" dengan enteng dia berbicara.
"Benar... Itu sangat buruk... Kau yang lebih buruk dari sampah dan kotoran apapun itu!! Kau tidak seharusnya diberikan berkat kehidupan di dunia ini!! Pergilah ke neraka!! Kau bajingan! Keparat! Sialan! Anak setan! Iblis kau Edward bajingannnn!!!!" aku mengumpat hingga suaraku nyaris menghilang.
"Kau boleh mengatakan apapun tentangku," sahutnya lagi.
"Edward, dimana kau sekarang?" aku mulai meredam emosi ku.
"Aku tidak bisa memberitahu mu karena mungkin ini adalah kali terakhir kita berbicara,"
"Kubilang katakan dimana kau berada sekarang!!"
"Telingaku sakit jika terus mendengar mu berteriak-teriak seperti itu. Selamat tinggal sayang, aku mencintaimu-"
TUT!
Telepon terputus. Aku tertegun setelah mendengar kalimat terakhir darinya. Apa maksudnya? Dia bilang kalau dia mencintaiku? Sebenarnya apa? Dia mencintaiku atau tidak? Dia pasti menyembunyikan sesuatu, bagaimana pun aku harus mencari tahu maksud yang sebenarnya.
Tapi masalahnya sekarang dia benar-benar telah pergi dengan sangat mudah! Hanya dengan kata-kata menyakiti hati melalui telepon, dia memutuskan hubungan yang sudah lama kami bangun itu.
Dia langsung memblokir nomorku dan nomor itu mungkin saja langsung dia buang di tempat sampah atau mungkin sudah dia hancurkan karena saat ku hubungi kembali, nomornya sudah tidak aktif lagi.
Kenapa nasibku sangat buruk seperti ini? Tubuhku lunglai, ini lebih sakit daripada sebuah pukulan yang pernah Rain layangkan kepadaku waktu ku masih sekolah. Kami pernah bertengkar hingga saling tonjok satu sama lain, tapi rasa sakitnya tidak terasa sesakit kata-kata nya yang baru saja aku dengar.
"AAAAAAAAAAAAAKKKKHHHHH!!!! HUWAAAAAAAAAA!!!"
PRAK! PRUK! PYANGG!!
Aku mengamuk, aku melempar ponsel ku ke lantai marmer yang keras. Semuanya hancur, aku melempar dan mengobrak-abrik semua benda yang ada di kamar.
...----------------...
Di lantai bawah, kebetulan saat Rain masih di rumah. Dia kembali karena ada hal yang dia lupakan, dan dia pulang untuk mengambil barang yang dia lupakan.
Betapa terkejutnya Rain saat mendengar teriakkan dan suara gaduh dari kamarku. Takut sesuatu telah terjadi kepadaku, Rain langsung berlari ke kamarku mengecek apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Regina!! Woii bocah!! Apa yang sebenarnya terjadi?! Kau berteriak!" Rain terdengar sangat gawat dari balik pintu kamarku.
Sesaat setelah Rain berteriak, beberapa pelayan datang menghampiri Rain yang terlihat panik.
"Tuan Muda kedua! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa anda berteriak?" tanya salah seorang pelayan yang datang setelah menjemur pakaian di halaman belakang.
"Kau bertanya hah?! Apa kau tidak mendengar Regina berteriak kencang? Ku mendengar sesuatu yang pecah didalam sini! Dan dia tidak mau membuka pintunya! Dasar lalai! Bagaimana bisa kau tidak menghiraukan Regina seperti ini?! Cepat ambilkan kunci cadangan di loker sekuriti!" Rain heboh.
Si bibi pelayan langsung berlari menuju post sekuriti dan meminta kunci cadangan kamarku. Sekedar informasi, aku dan kakek tinggal di rumah yang berbeda. Jadi di rumah ini, hanya aku, Regan, dan Rain saja yang tinggal, karena ayah dan ibu sangat jarang pulang ke rumah.
Setelah mendapatkan kunci cadangan dari pak satpam. Rain langsung mendobrak masuk, dan mendapati ku telah terduduk lunglai di lantai dengan segala bentuk kekacauan di sekitar.
"Eh bodoh!! Apa yang kau lakukan?!" Rain mendekat, memeluk lalu memeriksa tubuhku apakah ada yang luka atau tidak.
Aku tidak menjawab, energi ku seakan telah terkuras habis berteriak dan mengamuk menghancurkan segalanya. Rain mendekap lalu merangkul tubuhku dengan penuh kehati-hatian.
Rain memarahi semua pekerja yang ada di rumah. Karena tidak ada orang yang mendengar ku berteriak dan mengalami hal sulit sendirian. Aku hanya bisa terdiam, pikiranku tidak berada di tempat itu, tapi jauh melayang entah dimana.
"Re, kau gapapa? Bi, coba ambilkan air untuk Regina! Seharusnya kalian peka! Ambilkan air kek! Tisu kek! Jangan hanya diam dan bengong! Dasar bodoh!" Rain lagi-lagi memarahi mereka semua.
Rain memelukku, mengelap keringatku dengan tisu, dia adalah kakak yang paling perhatian dan sangat menyayangi ku. Tapi mesti begitu, aku tidak bisa berbicara dengannya mesti ku tahu kalau dia adalah orang yang sangat bisa ku percaya.
"Kak..." lirihku pelan.
"Shhht, sudah-sudah tenangkan dulu dirimu. Aku ada disini untukmu hm?" Rain mengelus rambutku dan menciumi keningku dengan lembut.