Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Hawa Bertemu dengan Nikki
Beberapa hari kemudian, suasana pagi rumah Harrison lebih sibuk dari biasanya. Emma sedang mempersiapkan perlengkapannya untuk lomba mewarnai tingkat kota yang akan diadakan di salah satu mal terbesar. Bocah tujuh tahun itu tampak bersemangat luar biasa, tapi juga sedikit tegang.
“Kak Hawa, jangan lupa kita harus sampai lebih awal, ya! Aku nggak mau telat,” rengek Emma sambil memeluk tas berisi peralatan mewarnainya.
Hawa tersenyum lembut sambil membetulkan kerah baju Emma. “Tenang, Emma. Kita pasti sampai tepat waktu. Papa kamu juga akan menemani, kan?”
Harrison, yang sedang mengikat dasi, hanya mengangguk kecil sambil memperhatikan interaksi mereka. Ia tahu betapa pentingnya acara ini bagi Emma, apalagi bocah itu ingin ditemani oleh "keluarga lengkapnya."
“Emma, sudah siap?” tanya Harrison sambil mengambil kunci mobil.
Emma melirik papanya dengan senyum kecil. “Papa harus janji, jangan sibuk sendiri, ya. Aku mau Papa dan Kak Hawa duduk sama-sama nanti.”
Harrison hanya tersenyum tipis, mengangkat bahu tanda setuju.
***
Mal yang biasanya ramai kini penuh sesak dengan anak-anak yang sedang bersiap untuk lomba. Emma menggenggam erat tangan Hawa sementara Harrison berjalan di belakang mereka, memandangi kerumunan dengan wajah tenang.
“Kak Hawa, tempat duduk kita di mana?” tanya Emma dengan antusias.
“Di area depan sana. Ayo, kita cari tempat yang nyaman supaya kamu bisa fokus,” jawab Hawa sambil menggandeng Emma ke arah meja peserta.
Di sisi lain ruangan, Hawa tiba-tiba mendengar suara yang familiar. “Hawa? Apa itu benar kamu?”
Hawa menoleh, dan senyum lebarnya muncul saat melihat kakak iparnya, Malika, melambaikan tangan. Di samping Malika, ada Nikki, keponakan laki-laki Hawa, yang juga sedang membawa perlengkapan lomba mewarnai.
“Kak Malika! Sudah lama sekali kita nggak ketemu!” Hawa menyapa dengan gembira, menghampiri mereka.
Malika langsung memeluk Hawa erat. “Ya ampun, Hawa. Aku kangen banget sama kamu. Akhir-akhir ini kamu sibuk banget, ya? Kita jadi jarang ngobrol.”
“Iya, maaf banget, Kak. Kerjaan di rumah sakit lagi padat,” jawab Hawa dengan nada bersalah.
“Eh, itu Emma, ya? Wah, kamu cantik sekali hari ini!” sapa Malika sambil mencubit pipi Emma dengan lembut.
Emma tersenyum manis. “Iya, Tante Malika. Aku ikut lomba hari ini. Kak Hawa yang nemenin aku.”
Di samping Emma, Nikki berdiri dengan penasaran. Ia melirik Emma lalu tersenyum. “Hai, Emma. Aku kamu ikut juga ternyata.”
Emma mengangguk sambil tersenyum cerah. “Iya, Nikki. Kita lomba bareng.”
Percakapan antara Emma dan Nikki langsung cair. Keduanya duduk berdampingan di meja lomba, sementara Hawa dan Malika berdiri agak jauh, berbincang sambil sesekali melirik ke arah anak-anak itu. Harrison tetap berdiri di dekat Hawa, memperhatikan semua dengan tenang.
“Jadi, apa kabar kamu, Hawa? Harrison, makasih ya sudah menjaga adik iparku ini,” kata Malika sambil tersenyum ke arah Harrison.
“Dia yang lebih banyak menjaga kami,” jawab Harrison singkat, tapi nada suaranya tulus.
Malika berkata pelan sambil tertawa kecil. “Kamu selalu seperti itu, ya. Dingin, tapi perhatian.”
Di meja lomba, Emma dan Nikki mulai mengobrol dengan serius di sela-sela mereka mewarnai.
“Nikki, aku mau tanya sesuatu,” bisik Emma sambil melirik ke arah Hawa.
“Apa?” Nikki balas berbisik, penasaran.
“Kak Hawa itu baik banget, kan? Aku pengen dia jadi mamaku. Tapi aku nggak tahu gimana caranya biar dia mau,” curhat Emma dengan ekspresi serius.
Nikki, yang sedikit lebih tua dari Emma, tertawa kecil. “Maksud kamu, kamu mau dia menikah sama Om Harrison?”
Emma mengangguk cepat. “Iya. Aku pengen banget. Papa selalu sibuk, tapi kalau ada Kak Hawa, semuanya lebih seru. Dia baik, pintar, dan dia sayang banget sama aku.”
Nikki terdiam sejenak, memikirkan ide itu. “Hmm, itu ide yang bagus, sih. Tante Hawa pasti cocok jadi mama kamu. Tapi gimana kamu mau bikin dia sama Om Harrison lebih dekat?”
Emma menatap Nikki dengan penuh harap. “Makanya aku tanya kamu. Kamu kan pintar. Ayo, bantu aku!”
Nikki tersenyum penuh percaya diri. “Oke, aku bantu. Tapi kamu harus janji nggak kasih tahu siapa-siapa, ya. Ini misi rahasia.”
Emma mengangguk mantap. “Janji!”
“Pertama-tama, kamu harus cari cara biar Papa kamu lebih sering ngobrol sama Kak Hawa. Terus, bikin mereka jalan bareng, kayak keluarga. Kalau udah begitu, mereka pasti makin dekat,” saran Nikki sambil terus mewarnai.
Emma mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu benar, Nikki. Aku bakal coba itu!”
Lomba berakhir dengan suasana meriah. Nikki dan Emma sama-sama tersenyum lebar saat nama mereka diumumkan sebagai pemenang kategori khusus untuk karya kreatif. Nikki mendapat penghargaan sebagai peserta dengan konsep warna terbaik, sementara Emma dipuji atas detail dan kecermatan hasil karyanya. Tepuk tangan membahana memenuhi ruangan, sementara kedua bocah itu naik ke panggung untuk menerima hadiah mereka.
“Kak Hawa, aku menang!” seru Emma dengan mata berbinar, berlari menghampiri Hawa begitu turun dari panggung.
Hawa menyambut Emma dengan pelukan hangat. “Kamu memang hebat, Emma. Kak Hawa bangga banget sama kamu.”
Di sebelah mereka, Nikki juga menghampiri Malika, memamerkan hadiahnya. Malika memeluk Nikki erat, tapi perhatiannya sempat teralih ke Hawa dan Emma. Ada kehangatan yang terpancar di sana, terutama ketika Hawa merapikan poni Emma yang berantakan karena keringat.
Harrison, yang berdiri di dekat mereka, memperhatikan interaksi itu dalam diam. Ia melihat betapa bahagianya Emma bersama Hawa. Gadis kecilnya tertawa tanpa beban, sesuatu yang jarang ia lihat sejak ibunya meninggalkan mereka.
“Nikki, terima kasih sudah bantuin Emma,” ucap Hawa sambil tersenyum ke arah keponakannya.
Nikki, yang biasanya cuek, mengangguk sambil tersenyum bangga. “Iya, Tante Hawa. Emma itu pinter kok, aku cuma kasih sedikit Tips.”
Emma mengangguk setuju, lalu tiba-tiba menggenggam tangan Nikki. “Nikki itu keren banget, Kak Hawa. Dia juga bilang aku harus percaya diri kalau mau menang.”
Hawa tertawa kecil, merasa terharu melihat kedekatan keduanya. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Malika mendekat dengan tatapan penuh arti.
“Hawa, aku nggak pernah lihat kamu sedekat ini sama anak kecil selain Nikki. Emma benar-benar sayang sama kamu, ya?”
Hawa hanya tersenyum samar, tidak ingin menjelaskan terlalu jauh. “Emma anak yang luar biasa, Kak. Dia bikin aku merasa seperti... bagian dari keluarganya.”
Pernyataan itu membuat Harrison menoleh. Ada sesuatu dalam suara Hawa yang membuatnya diam sesaat, seperti ada makna mendalam di balik kata-katanya.
***
Setelah lomba selesai, Emma bersikeras mengajak semua orang makan malam di restoran favoritnya. Hawa, yang awalnya ingin menolak karena merasa sudah terlalu larut, akhirnya setuju setelah dibujuk oleh Nikki, Malika dan Harrison.
Restoran itu penuh dengan keluarga yang sedang menikmati akhir pekan. Emma dan Nikki duduk berdampingan, sibuk membahas rencana baru mereka yang penuh rahasia, sementara Hawa dan Malika berbincang ringan di meja yang sama.
“Papa,” panggil Emma tiba-tiba, menyela pembicaraan.
“Hm?” Harrison menoleh, memasang ekspresi penuh perhatian.
Emma menggenggam tangannya erat. “Aku senang banget hari ini. Terima kasih sudah datang dan nemenin aku sama Kak Hawa.”
Harrison tersenyum tipis, tapi sebelum ia sempat menjawab, Emma melanjutkan dengan suara kecil namun jelas.
“Papa, aku mau bilang sesuatu...”
Hawa dan Malika spontan terdiam, menoleh ke arah Emma yang terlihat serius. Nikki di sebelahnya ikut menatap penuh rasa ingin tahu.
“Aku mau Kak Hawa jadi mama aku,” ujar Emma polos, tanpa ragu sedikit pun.
Ruangan seolah membeku sesaat. Bahkan pelayan yang sedang mendekat untuk mengantar makanan tampak sedikit terkejut mendengar pernyataan bocah itu.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa ya kasih like dan komentarnya.
Terima kasih.