Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terus Bergunjing
Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam berkumpul di ruang guru, berdiskusi dengan suara pelan namun penuh intrik. Mereka sedang merencanakan strategi untuk menjatuhkan Fitri, guru yang selalu terlihat baik dan disayangi oleh murid-muridnya.
"Kita harus mencari dukungan," kata Bu Ida, yang dikenal sebagai pemimpin dari kelompok ini. "Setelah Bu Asri terang-terangan membela Fitri, kita butuh guru lain yang bisa meyakinkan semua orang bahwa Fitri itu tukang drama dan cari muka."
"Siapa yang bisa kita ajak?" tanya Bu Vivi, yang selalu ikut pendapat dengan Bu Ida.
"Bagaimana dengan Bu Shanty?" usul Bu Nilam. "Dia kan guru senior yang tegas dan galak. Pasti banyak yang percaya kalau dia ikut bicara."
Bu Ida dan Bu Vivi setuju dengan usulan Bu Nilam. Mereka tahu bahwa Bu Shanty adalah guru yang disegani di sekolah itu. Meskipun galak pada murid, Bu Shanty dikenal jujur dan tidak suka ikut campur dalam urusan pribadi guru lain.
"Kita harus hati-hati mendekati Bu Shanty," kata Bu Ida. "Dia itu tidak suka basa-basi. Kita harus langsung ke intinya saja."
Mereka pun sepakat untuk menemui Bu Shanty setelah jam pelajaran selesai. Mereka bertiga sudah menyiapkan kata-kata yang akan mereka gunakan untuk mempengaruhi Bu Shanty.
Setelah jam pelajaran selesai, Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam langsung menuju ruang guru. Mereka melihat Bu Shanty sedang duduk sendirian sambil membaca buku.
"Bu Shanty, boleh kami bicara sebentar?" sapa Bu Ida dengan sopan.
Bu Shanty mendongak dan menatap ketiga guru itu dengan tatapan tajam. "Ada apa?"
"Kami ingin menyampaikan sesuatu tentang Fitri," kata Bu Ida. "Kami rasa dia sudah keterlaluan."
"Keterlaluan bagaimana?" tanya Bu Shanty dengan nada Curiga.
"Dia itu terlalu cari muka di depan siswa," kata Bu Vivi. "Semua yang dia lakukan hanya untuk mencari perhatian."
"Iya, dia itu tukang drama," timpal Bu Nilam. "Semua orang juga tahu kok bagaimana aslinya dia."
Bu Shanty terdiam sejenak. Ia tidak langsung percaya dengan perkataan ketiga guru itu. Ia sudah lama mengenal Fitri dan tidak pernah melihat Fitri melakukan hal-hal yang aneh.
"Saya tidak mau ikut campur dalam urusan kalian," kata Bu Shanty akhirnya. "Kalau ada masalah dengan Fitri, bicarakan saja baik-baik dengannya."
"Tapi, Bu," kata Bu Ida, "kami sudah mencoba berbicara dengan Fitri, tapi dia tidak mau mendengarkan."
"Dia selalu membela diri," timpal Bu Vivi. "Dia merasa paling benar sendiri."
"Kami mohon bantuan Bu Shanty," kata Bu Nilam. "Kami percaya Bu Shanty bisa melihat bagaimana aslinya Fitri itu."
Bu Shanty kembali terdiam. Ia masih ragu dengan perkataan ketiga guru itu. Namun, ia juga tidak mau mereka terus menjelek-jelekkan Fitri di belakangnya.
"Baiklah," kata Bu Shanty akhirnya. "Saya akan coba perhatikan Fitri. Tapi, ingat, saya tidak akan memihak siapa pun sebelum tahu yang sebenarnya."
Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam merasa senang mendengar jawaban Bu Shanty. Mereka yakin, dengan dukungan Bu Shanty, mereka bisa menjatuhkan Fitri.
****
Hari ini adalah hari yang istimewa bagi SMA 2. Bu Henny, guru ekonomi senior yang telah mengabdi selama puluhan tahun, akhirnya memasuki masa pensiun. Perayaan perpisahan diadakan di aula sekolah, dihadiri oleh Pak Agus selaku kepala sekolah, seluruh guru, staf, dan siswa-siswi SMA 2.
Acara berlangsung dengan meriah dan penuh haru. Pak Agus menyampaikan pidato perpisahan yang menyentuh hati, mengenang jasa-jasa Bu Henny selama mengajar di SMA 2. Beliau juga memberikan penghargaan atas dedikasi dan pengabdian Bu Henny selama ini.
Setelah Pak Agus, Fitri, sebagai perwakilan dari guru-guru SMA 2, maju ke depan untuk menyampaikan kata perpisahan. Fitri menyampaikan pidato yang sangat menyentuh dan penuh makna. Ia menceritakan bagaimana Bu Henny telah menjadi inspirasi bagi banyak guru muda, termasuk dirinya. Ia juga mengenang momen-momen indah yang ia lalui bersama Bu Henny selama bekerja di SMA 2.
"Bu Henny adalah sosok guru yang luar biasa," kata Fitri dengan suara bergetar. "Beliau tidak hanya mengajar ekonomi, tetapi juga memberikan pelajaran tentang kehidupan. Beliau adalah contoh guru yang patut kita teladani."
Fitri juga mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan dan dukungan yang telah diberikan oleh Bu Henny selama ini. Ia berharap Bu Henny dapat menikmati masa pensiunnya dengan bahagia dan sehat selalu.
"Selamat menikmati masa pensiun, Bu Henny," kata Fitri. "Semoga Ibu selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan."
Para hadirin, termasuk siswa-siswi SMA 2, terlihat sangat terharu mendengar pidato dari Fitri. Beberapa di antara mereka bahkan terlihat meneteskan air mata.
Di sudut ruang guru, Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam memperhatikan Fitri yang sedang menyampaikan pidato perpisahan. Mereka bertiga langsung berkerumun, berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arah Fitri.
"Lihat itu, Fitri sok sekali," celetuk Bu Ida, memulai gunjingan. "Pura-pura sedih, padahal aslinya senang Bu Henny sudah pensiun."
Bu Vivi, yang selalu ikut sependapat dengan Bu Ida, langsung menimpali. "Betul sekali. Dia selalu ingin terlihat paling baik di antara kita. Padahal, semua guru juga sedih kok Bu Henny pensiun."
Bu Nilam, yang terkenal paling sinis, menambahkan, "Iya, sok mengharukan. Padahal, dia juga yang paling sering mengkritik Bu Henny."
Mereka bertiga terus saja menggunjing Fitri, mencari-cari kesalahan dan kekurangan Fitri. Mereka iri dengan Fitri yang selalu terlihat dekat dan disayangi oleh murid-muridnya.
"Dia itu terlalu berlebihan," kata Bu Ida lagi. "Semua hal harus dipamerkan. Lihat saja, menyampaikan pidato perpisahan saja harus sambil menangis."
"Mungkin biar dapat pujian dari semua orang," sahut Bu Vivi. "Biar dianggap guru yang paling berprestasi."
"Atau mungkin biar dapat promosi jabatan," timpal Bu Nilam. "Siapa tahu dia punya ambisi jadi kepala sekolah."
Mereka bertiga tertawa sinis, merasa puas telah menemukan celah untuk menjatuhkan Fitri. Mereka memang tidak pernah menyukai Fitri yang selalu terlihat sempurna di mata siswa dan rekan-rekan guru lainnya.
"Sudahlah, biarkan saja dia dengan segala tingkahnya," kata Bu Ida akhirnya. "Yang penting, kita jangan sampai seperti dia. Kita harus tetap menjadi diri sendiri."
Meskipun demikian, mereka tetap saja terus memperhatikan Fitri yang masih berdiri di depan podium. Tatapan mereka penuh dengan rasa iri dan dengki.
****
Keesokan harinya, seorang guru baru pengganti Bu Henny tiba di SMA 2. Pak Sonny, guru ekonomi yang masih muda datang dengan semangat baru untuk memulai karirnya di sekolah tersebut. Namun, kedatangannya tidak disambut dengan hangat oleh beberapa guru.
Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam, yang masih belum rela kehilangan Bu Henny, menyambut Pak Sonny dengan sinis. Mereka merasa kehadiran Pak Sonny mengganggu kelompok mereka dan khawatir posisinya akan terancam.
"Selamat datang di SMA 2, Pak Sonny," sapa Bu Ida dengan nada dingin. "Semoga betah di sini."
"Terima kasih," jawab Pak Sonny dengan ramah.
"Saya senang bisa bergabung di sekolah ini."
Namun, Bu Vivi dan Bu Nilam hanya diam saja, tidak membalas sapaan Pak Sonny. Mereka terus saja menatapnya dengan tatapan sinis dan tidak suka.
"Bapak guru baru ya?" tanya Bu Nilam dengan nada mengejek. "Pasti masih muda ya?"
"Iya, Bu," jawab Pak Sonny. "Saya baru lulus kuliah tahun lalu."
"Wah, masih fresh ya," kata Bu Vivi sambil tersenyum sinis. "Semoga saja tidak cepat bosan di sini."
Pak Sonny merasa tidak nyaman dengan sikap ketiga guru tersebut. Ia merasa mereka tidak tulus dalam menyambutnya. Namun, ia berusaha untuk tetap bersikap ramah dan profesional.
"Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik," kata Pak Sonny. "Saya siap membantu Bapak dan Ibu jika ada kesulitan."
"Tentu saja," jawab Bu Ida dengan nada sinis. "Kami akan dengan senang hati membantu Bapak guru baru."
Pak Sonny hanya tersenyum dan mengangguk. Ia tahu, ia akan menghadapi tantangan yang berat di sekolah ini. Namun, ia bertekad untuk tetap memberikan yang terbaik untuk siswa-siswanya.