Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah ke depan
Bayu sedang duduk di taman kampus, berusaha menyelesaikan tugas filsafat yang selalu membuat kepalanya pusing. Buku-buku terbuka di meja, tetapi fokusnya sudah hilang entah ke mana. Pikirannya melayang kembali kepada percakapan terakhir dengan Rara. Meskipun ia merasa sedikit lebih nyaman, ada perasaan canggung yang sulit ia pahami. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia nafikan—setiap kali ia bersama Rara, rasanya waktu berjalan lebih cepat.
Bayu menghela napas, mencoba kembali fokus pada tugasnya, ketika suara langkah kaki membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan melihat temannya, Dimas, yang datang menghampiri.
“Bayu, lagi ngelamun aja, ya?” tanya Dimas, sambil duduk di bangku sebelah Bayu. “Lu sih, kalau nggak mikirin tugas, pasti mikirin Rara, kan?”
Bayu terkejut mendengar nama Rara disebut-sebut. Wajahnya langsung memerah. “Gue nggak mikirin dia kok,” jawab Bayu cepat, meskipun nada suaranya terdengar ragu.
Dimas tertawa lepas. “Yakin, Bro? Kalau nggak mikirin, kenapa tiap kali dia lewat, muka lu kayak baru denger kabar buruk?”
Bayu menggerakkan tangan, mencoba mengalihkan topik. “Udah, gue lagi ngerjain tugas ini aja. Gue nggak mau mikirin hal-hal lain dulu.”
Dimas menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku. “Gue ngerti, kok. Cuma, kadang lu suka nggak nyadar, Bayu. Rara itu suka banget sama lu.”
Bayu menatap Dimas dengan tatapan bingung. “Apa? Itu cuma... cuma perasaan lu doang, Dim.”
Dimas mengangkat bahu, tetap dengan senyum jenakanya. “Gue cuma ngomongin apa yang gue lihat. Gue rasa Rara itu serius sama lu.”
Bayu mengurut pelipisnya, mencoba mencerna kata-kata Dimas. “Ya, gue nggak ngerti soal itu, Dim. Gue cuma nggak mau bikin masalah.”
Tiba-tiba, suara tawa teman mereka, Riko, terdengar dari jauh. Riko dan beberapa teman lainnya berjalan menuju meja tempat Bayu dan Dimas duduk. Riko mengenakan jaket hitam, dengan celana jeans yang sedikit lusuh, tampak seperti baru selesai dari latihan futsal.
“Eh, Bayu, lu masih galau soal Rara, ya?” kata Riko sambil duduk di meja.
Bayu merasa matanya semakin berat dengan obrolan ini. “Udah, jangan bahas itu deh, Rik. Gue cuma lagi bingung sama tugas ini.”
“Tugas mulu, Bayu,” kata Riko dengan tawa kecil. “Masa sama Rara aja nggak ngerti-ngerti? Lu harus paham, tuh, kalau dia nggak akan nunggu lu terus-menerus bingung.”
Bayu merespons dengan menggelengkan kepala. “Lu jangan sok ngerti, Rik. Gue nggak paham soal perasaan-perasaan gituan. Gue cuma... ya, bingung aja, gitu.”
Dimas dan Riko saling bertukar pandang, lalu Dimas bersuara, “Ya udah deh, nggak usah dibikin ribet. Intinya, kalau lu emang peduli sama Rara, lu harus buka hati lu. Jangan cuma mikirin tugas doang.”
Bayu merasa seolah-olah dunia tiba-tiba menekan dirinya. Ia tahu bahwa teman-temannya hanya berusaha membantu, tapi semuanya terasa terlalu cepat. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan, dan semakin lama semakin sulit untuk menghindari perasaan yang tumbuh di dalam dirinya.
Namun, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Kata-kata Rara tentang "jujur sama diri sendiri" masih terngiang di kepala Bayu. Tapi bagaimana ia bisa jujur pada dirinya sendiri jika ia bahkan tidak tahu apa yang ia rasakan? Ia memutuskan untuk menarik napas panjang dan berusaha mengalihkan perhatian dari semua itu.
Seorang teman mereka, Ardi, yang duduk di meja sebelah, tiba-tiba bergabung dalam percakapan. “Bayu, lo tahu nggak sih, ada acara kampus minggu depan? Gue denger katanya ada seminar psikologi yang bagus banget. Gue sih, rencananya ikut, sekalian ngumpul sama teman-teman,” katanya.
Bayu mengangguk perlahan, tetapi pikirannya melayang lagi. Seminar psikologi? Sepertinya itu acara yang diadakan oleh jurusan Rara. Ia merasa ragu apakah ia akan ikut, mengingat ia sama sekali tidak tertarik dengan dunia psikologi. Namun, entah kenapa, perasaan ingin tahu tentang apa yang Rara kerjakan menggerakkan hati kecilnya.
“Bayu, kenapa sih, lo kayaknya gak semangat banget buat ikut seminar itu?” tanya Ardi lagi, menatapnya dengan tatapan penasaran.
“Gue cuma nggak yakin aja, Ardi. Gue kan nggak ngerti soal psikologi,” jawab Bayu, berusaha bersikap santai.
Dimas yang mendengar itu langsung tertawa. “Emang lo ngerti apa tentang filsafat, Bayu? Tapi lo tetap ikut kan? Jadi, kenapa nggak coba ikut seminar itu? Lu nggak pernah tahu, mungkin lu bakal dapet perspektif baru.”
Riko juga ikut menimpali, “Yah, kayaknya sih seru. Gue juga pengen coba. Gimana, Bayu? Kita ikut bareng.”
Bayu mengernyitkan dahi. “Ya udah deh, kalau kalian mau, gue ikutan aja. Tapi gue nggak janji bakal ngerti apa-apa.”
Mereka bertiga tertawa dan langsung mulai merencanakan bagaimana cara ikut seminar tersebut. Bayu merasa sedikit tertekan, tetapi juga tidak ingin terlihat terlalu kaku di depan teman-temannya.
Namun, dalam benaknya, ada satu hal yang jelas—ia ingin mencoba lebih mengenal dunia yang Rara jalani. Mungkin, melalui seminar itu, ia bisa melihat Rara dalam lingkup yang berbeda, dan akhirnya bisa mulai memahami perasaannya yang semakin berkembang.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Bayu masih berusaha untuk menjaga jarak emosional, tetapi semakin hari, ia merasa semakin sulit menahan perasaannya. Rara sering muncul di pikirannya, dan ia mulai sadar bahwa ia merindukan kebersamaannya.
Pada suatu sore, Bayu berjalan menuju ruang seminar. Rara sudah ada di sana, berdiri di depan dengan senyum yang penuh antusias. Ia terlihat sangat percaya diri, berbeda dari Bayu yang masih ragu dan cemas. Ketika Rara melihat Bayu memasuki ruangan, ia melambaikan tangan dengan senyuman yang manis.
Bayu merasa gugup, tapi ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Seminar itu memang bukan untuk dirinya, tapi Rara ada di sana, dan itu membuatnya merasa sedikit lebih mudah. Mungkin ini langkah pertama untuk memahami perasaannya.