"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Pagi itu, matahari baru saja menampakkan diri dari ufuk timur, mengirimkan sinar keemasan yang menerpa pepohonan dan atap-atap rumah di kompleks perumahan yang masih terbilang baru itu. Raga melangkah keluar rumahnya dengan santai, mengenakan kaos putih polos dan celana pendek selutut. Ia sedang menikmati embusan angin pagi ketika tiba-tiba matanya menangkap sosok yang berjalan dari arah berlawanan—Bri.
Bri tampak segar, dengan setelan kasual yang rapi, rambutnya tergerai indah, dan langkahnya penuh percaya diri. Berbeda dengan Raga yang masih berantakan dengan kaos oblong dan celana pendek seperti baru bangun tidur.
Begitu mereka berpapasan, Raga langsung menyeringai, mengingat kejadian tadi malam. "Oh, lihat siapa yang datang! Tetangga baru yang punya hobi melaporkan pesta orang lain."
Bri berhenti sejenak, melipat tangan di dada. "Ya, itu aku. Senang bertemu dengan korban laporan pertamaku."
"Korban? Kamu menghancurkan pesta BBQ yang luar biasa! Dagingnya masih banyak, suasananya masih seru, lalu tiba-tiba Pak Ujang datang dan pesta bubar! Aku sampai harus makan ayam panggang di tengah suasana berkabung!"
Bri pura-pura berpikir sejenak. "Hmm, biarkan aku menebak. Kau ingin aku meminta maaf?"
"Ya!"
"Baiklah."Bri tersenyum manis. "Aku tidak akan melakukannya."
Raga melongo. "Serius? Tidak ada sedikit pun rasa bersalah?"
"Kenapa harus merasa bersalah? Aku sedang berusaha menyelamatkan nyawaku sendiri yang sedang di ujung tanduk. Karena pesta terkutukmu itu membuatku sakit kepala. Aku ini warga teladan yang taat peraturan. Kau melanggarnya dan aku melaporkannya."
Raga meletakkan tangan di pinggang, berpura-pura berpikir. "Oh, aku mengerti sekarang. Kamu pasti menjalani hidup yang membosankan. Tidur jam sembilan malam, bangun subuh, lalu menyeruput teh sambil membaca buku filsafat."
Bri tersenyum. "Tentu saja tidak."
"Oh, syukurlah," balas Raga dengan malas.
"Aku lebih suka kopi daripada teh."
Raga menepuk dahinya. "Itu bukan poin utama yang kumaksud!"
Bri terkekeh kecil, lalu melirik jam tangannya. "Baiklah, aku harus pergi. Senang berdebat denganmu. Semoga harimu ini lebih baik daripada semalam."
Raga melipat tangan di dada, menggeleng-gelengkan kepala saat Bri melangkah pergi. "Ya Tuhan, tolong kembalikan hidupku yang selalu penuh ketenangan itu."
Dari kejauhan, Bri menjawab tanpa menoleh, "Beri tau aku kalau doamu terkabul."
Sore harinya, Raga sedang bersantai di kamarnya ketika ia melihat sesuatu dari balik jendela. Sebuah mobil pengiriman berhenti di depan rumah Bri. Seorang pria turun, membawa beberapa kotak makanan, dan menyerahkannya kepada gadis itu.
Raga mengernyit penasaran. Apa itu?
Tak lama kemudian, Bri mulai mengetuk satu per satu rumah tetangga, membagikan sesuatu kepada mereka. Raga memperhatikan dengan seksama. Setiap rumah mendapatkan satu kotak makanan, dan para tetangga menerimanya dengan wajah gembira.
Namun, ada satu hal yang membuat Raga terkejut.
Bri tidak mengetuk pintu rumahnya. Ia hanya berhenti sebentar di depan rumah Raga, menatap pintu itu dengan ekspresi misterius, lalu berjalan pergi begitu saja.
Raga menatapnya dari balik jendela dengan ekspresi tak percaya. "Apa-apaan ini? Aku dicoret dari daftar penerima? Apa aku tidak cukup layak mendapatkan makanan gratis?"
Ia memperhatikan Bri yang tampak menikmati momen itu, tersenyum dan berbincang dengan para tetangga seolah-olah sedang menjalankan misi sosial yang mulia.
Sementara Bri masih sibuk dengan kegiatannya, Raga memperhatikannya dengan lebih seksama. Gadis itu benar-benar telah banyak berubah. Cara berbicaranya yang tenang, sikapnya yang percaya diri, bahkan cara berjalannya yang anggun—semuanya berbeda dari yang ia ingat.
Dulu, Bri kecil selalu tampak canggung dan pemalu. Ia sering bersembunyi di balik ibunya jika diajak bicara oleh orang lain. Tapi sekarang? Ia bisa dengan mudah berinteraksi dengan para tetangga dan bahkan terlihat menikmati momen itu.
Apa yang terjadi selama bertahun-tahun ini?
Ia masih dalam lamunan ketika tiba-tiba Bri menoleh ke arahnya dan menatap langsung ke jendela kamarnya.
Raga membeku. Ketahuan!
Namun, bukannya marah atau terkejut, Bri justru menyeringai kecil. Lalu, dengan gerakan tangan yang elegan, ia menunjuk ke arah depan pintu rumah Raga. Raga mengernyit. Apa maksudnya?
Penasaran, ia buru-buru turun ke lantai bawah dan membuka pintu rumahnya.
Di sana, di depan pintunya, ada satu kotak makanan yang sama seperti yang dibagikan Bri kepada tetangga lainnya. Ia menatap kotak itu, lalu kembali melirik ke arah Bri yang kini melangkah pergi sambil tersenyum puas.
Raga mengangkat alis dengan wajah pura-pura sedih menatap makanan itu. "Aku pikir aku dicoret dari daftar penerima bantuan."
Bri menoleh sebentar. "Aku kan baik hati. Tentu kau mendapatkannya juga."
"Apa besok akan ada lagi yang seperti ini? Jika ya aku berencana tidak akan memasak," ucap Raga dengan nada mengejek.
"Kau benar-benar tidak tau malu ya." Bri yang jengah memilih untuk kabur dari pria itu.
Raga menghela napas panjang, mengambil kotak makanan itu, lalu bergumam, "Sepertinya Bri yang dulu benar-benar sudah tidak ada."
Dari kejauhan, Bri kembali menjawab dengan riang, "Dia sudah punah!" Raga menatap kotak makanan di tangannya, lalu tersenyum tipis.