Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TELEPON DARI DIMAS
Sebelum benar-benar pergi meninggalkan Regita yang masih berdiri terpaku, Aksa sempat menoleh ke belakang. Ia menatap gadis itu dengan senyum kecil yang samar, seperti puas melihat reaksinya yang tak berdaya. Dalam hati, ia memuji aktingnya sendiri—semua yang ia lakukan barusan adalah bagian dari rencana untuk membuat Regita semakin bingung, semakin terikat, dan akhirnya, semakin mudah baginya untuk dijatuhkan. Namun, meski ia merasa sudah berhasil memainkan perannya dengan baik, ada sesuatu yang mengusik di dalam hatinya.
Jauh di sudut hatinya, Aksa harus mengakui bahwa ada sedikit rasa kesal yang timbul saat membayangkan Regita bersama Kevien. Rasa yang tak ia rencanakan dan tak pernah ia duga akan muncul. Setiap kali melihat Regita tertawa bersama Kevien, ada keinginan di dalam dirinya untuk menyingkirkan sosok itu dari kehidupan Regita. Seharusnya, rencana balas dendam ini hanya soal membalas dendam pada ayah Regita yang sudah meninggal. Namun, semakin lama, kedekatan gadis itu dengan orang lain mulai mengganggu pikirannya.
Aksa menepis pikiran itu cepat-cepat. “Ini semua hanya permainan,” bisiknya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Gue nggak peduli sama dia… ini semua cuma buat ngasih pelajaran.”
Tetapi, meski ia mencoba menepis perasaan itu, tatapan kosong Regita setelah ia pergi tadi terus terbayang di pikirannya. Perasaan asing yang mulai mengakar di hatinya membuatnya merasa tidak nyaman, seolah ada bagian dari dirinya yang mulai melibatkan perasaan yang seharusnya tak ada di sana. Aksa menghela napas dalam, mencoba membuang pikiran itu. Ia bertekad untuk tetap fokus pada rencana balas dendamnya, meski hatinya sendiri mulai dirundung oleh emosi yang tak ia inginkan.
Saat tadi tidak ada jarak diantara mereka, Aksa merasakan keinginan untuk mengecup bibir Regita yang tampak begitu lembut dan berwarna pink alami. Hatinya sempat berdebar kencang, dan sejenak ia hampir kehilangan kendali. Namun, pertanyaan Regita tiba-tiba menyentakkannya kembali ke realitas -apakah ia hanya menganggap Regita sebagai adik tiri?
Pertanyaan itu bagai hantaman keras, membuatnya sadar bahwa segala kedekatan dan keintiman yang ia rasakan seharusnya tidak ada dalam hubungan mereka. Ia menarik diri sesaat sebelum dorongan hatinya menguasainya sepenuhnya. Ia tak bisa membiarkan perasaan ini mengacaukan rencananya. Ia tidak ingin mengakui bahwa dirinya mulai merasa lebih dari sekedar keinginan dendam, karena itu akan meruntuhkan semua tujuannya.
Namun, ketika berbalik meninggalkan Regita, pikiran itu masih terus menghantuinya. Keinginannya yang sesaat itu, perasaan asing yang menggelayut di hatinya, membuatnya semakin bingung.
“Ah, sial!” umpat Aksa seraya mengacak rambutnya.
Ratih tertegun ketika melihat Regita terduduk di lantai dapur, tampak melamun. Sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya, Ratih mendekat dan bertanya dengan nada lembut, “Git, kenapa kamu di sana?”
Regita tersentak mendengar suara ibunya. Ia mendongak, menatap Ratih dengan pandangan bingung sejenak sebelum berusaha menyusun kata-kata. “A-ah, iya, Bu. Aku… aku cuma ingin mengambil minum,” jawabnya dengan nada ragu, sambil bangkit berdiri dengan gerakan kaku.
Ratih memperhatikan putrinya dengan tatapan penuh perhatian, memperhatikan tiap gerak-geriknya yang tampak tak tenang. “Yakin kamu nggak kenapa-kenapa, Git? Kamu kelihatan… berbeda,” tanyanya, mencoba menggali lebih dalam.
Regita terdiam sejenak, menyadari betapa kikuk dirinya. “Iya, Bu. Aku baik-baik aja, kok,” jawabnya sambil tersenyum tipis, berusaha meyakinkan. Namun, tangannya masih gemetar saat mengambil gelas dari rak, dan tanpa sadar, ia menjatuhkannya.
Ratih langsung menangkap gelas yang nyaris jatuh, lalu memandangi Regita dengan tatapan lembut tapi curiga. “Kamu yakin nggak ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya sekali lagi, kali ini suaranya terdengar penuh perhatian.
Regita terdiam, bibirnya hampir membuka untuk berbicara, tapi ia memilih menutupnya kembali. “Iya, Bu. Aku cuma lagi… ngantuk,” jawabnya, sambil buru-buru mengisi gelas dengan air dan meneguknya dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Ratih menghela napas, lalu tersenyum lembut. “Kalau ada yang ingin kamu ceritakan, kamu tahu, kan, Ibu selalu ada buat kamu?”
Regita mengangguk pelan, merasa bersyukur tapi juga masih diselimuti perasaan tak menentu. “Iya, Bu. Terima kasih,” katanya pelan. Tatapan ibunya yang penuh perhatian membuatnya ingin mengeluarkan apa yang ada di pikirannya, tapi bayangan Aksa dan kejadian tadi membuatnya menahan diri. Ia tahu, ini bukan saatnya untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi.
Ratih memandang putrinya sekali lagi sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu, istirahat yang cukup, ya, Git. Jangan dipaksakan.”
Regita mengangguk dan menelan napas dalam, berusaha mengendalikan debaran di dadanya sebelum akhirnya beranjak meninggalkan dapur, menyisakan Ratih yang masih menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
•••
Malam semakin larut, dan Aksa baru saja sampai di kamarnya ketika ponselnya berdering. Nama Dimas, teman baiknya sejak SMA, tertera di layar. Ia mengangkat telepon itu, dan suara Dimas langsung terdengar, penuh keingintahuan.
“Bro, gimana rencana lo?” tanya Dimas tanpa basa-basi.
Dimas adalah satu-satunya orang yang tahu tentang rencana Aksa.
Aksa tersenyum kecil, meskipun ada keraguan yang terselip. “Masih sesuai rencana,” jawabnya singkat.
“Serius, lo nggak goyah sama sekali? Menurut gue Gita sesuai dengan tipe Lo.” Dimas bertanya lagi, suaranya terdengar skeptis. “Gue tahu lo punya alasan buat nyakitin dia, tapi… lo nggak takut keterusan?”
Aksa mendengus pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Gue tahu apa yang gue lakuin, Dim. Gue cuma mau kasih pelajaran buat keluarganya. Ini semua buat ngebayar lunas apa yang mereka lakuin sama bokap.”
Dimas terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi, Gita kan nggak salah, Sa. Dia cuma korban juga, kayak lo.”
Kata-kata Dimas itu membuat Aksa tertegun. “Gue tahu,” gumamnya pelan, sedikit ragu. “Tapi, setiap kali gue lihat dia… gue ingat semua yang terjadi ke bokap gue. Nyokap gue ninggalin gue, nyari kebahagiaannya sama ayah Regita.”
“Tapi lo sadar, kan, ini bisa berbahaya kalau lo jadi beneran peduli sama dia? Gue takut Lo malah jatuh cinta ke adik tiri Lo itu,” tanya Dimas hati-hati.
Aksa terdiam sejenak, merasakan dorongan aneh yang ia sendiri tak ingin akui. “Gue nggak bakal peduli sama dia, Dim. Ini cuma permainan buat ngasih pelajaran.”
Dimas menghela napas di seberang telepon, suaranya terdengar lebih lembut kali ini. “Lo yakin bisa mainin perasaan orang tanpa ikut kebawa? Regita mungkin nggak salah sama sekali, Sa.”
Aksa hanya mendengus, mencoba mengabaikan kegelisahan di hatinya. “Gue tahu apa yang gue lakuin, Dim. Jangan terlalu khawatir.”
Tapi setelah percakapan itu berakhir, Aksa merasakan kebimbangan yang terus tumbuh, seolah kata-kata Dimas barusan membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang selama ini ia tekan.
“Gak mungkin gue jatuh cinta ke Gita. Dia adalah sumber kesedihan gue sejak kecil,” gumam Aksa.