Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengejutkan
Keira dan Kian duduk dalam keheningan di depan meja rias, mengenakan busana pernikahan yang serba putih. Di hari yang seharusnya penuh kebahagiaan, mereka justru diliputi perasaan yang bercampur aduk.
Ini bukan pernikahan yang mereka bayangkan, namun mereka tetap menjalani, sesuai dengan permintaan terakhir Norman.
Norman, ayah Keira, dengan sisa tenaganya memaksakan diri untuk hadir. Tubuhnya yang lemah terhubung pada infus dan alat bantu oksigen, namun ia tetap duduk di kursi depan, menolak larangan dokter. Keinginannya hanya satu: melihat putri semata wayangnya menikah sebelum ajal menjemput. Baginya, momen ini adalah puncak dari segala harapan, meski kondisi tubuhnya semakin melemah.
Di sudut ruangan, Keira sesenggukan, menahan tangis yang tak terbendung. Bukan karena menolak pernikahan, tapi karena perasaan kehilangan begitu kuat menguasai dirinya. Ia membayangkan mamanya, Wendy, yang akan repot mengingatkan berbagai nasihat—mulai dari bagaimana menjadi istri yang baik hingga bagaimana menjaga rumah tangga. Semua kenangan itu menghantam Keira di saat paling penting dalam hidupnya.
Air matanya jatuh, membasahi pipi tanpa bisa ia tahan lagi. Namun, tiba-tiba sepasang jari lembut mengusapnya. Keira menoleh dan mendapati Kian, calon suaminya, tersenyum tipis. Senyum yang tak hanya menenangkan, tapi juga menyiratkan tanggung jawab besar yang kini dipikulnya.
"Sudah ya, jangan nangis lagi," ucap Kian dengan lembut. "Mama pasti ikut sedih kalau lihat kamu begini."
Keira hanya bisa mengangguk, meski hatinya masih penuh luka.
Tak lama kemudian, momen yang paling dinanti tiba. Norman dan Kian duduk berhadapan, berjabat tangan erat, sementara semua mata tertuju pada mereka. Dengan suara yang lemah namun penuh tekad, Norman melafalkan ijab kabul.
"Saya nikahkan dan kawinkan Kiandra Darmansyah bin Abdullah Darmansyah dengan anak saya, Keira Ganendra binti Norman Edwin Firdausi, dengan maskawin seperangkat alat salat, tunai."
Kian menghela napas panjang sebelum menjawab dengan lantang dan tegas, "Saya terima nikah dan kawinnya Keira Ganendra binti Norman Edwin Firdausi dengan maskawin seperangkat alat salat, tunai."
"Sah?" tanya penghulu.
"Sah!" seru semua tamu yang hadir di ballroom hotel mewah itu, memenuhi ruangan dengan suara serempak.
Tiba-tiba, Norman berbalik memeluk Devin, sahabat terdekatnya, air mata bercucuran dari matanya yang sudah mulai redup. "Jagain anak gua ya, Vin," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
"Maksud lu apa sih, Man? Kita bakal jaga bareng-bareng, kan?" jawab Devin, berusaha menenangkan.
Namun, sebelum Devin sempat berkata lebih banyak, tubuh Norman melemas. Ia terhuyung-huyung, dan Devin dengan sigap membaringkannya ke kursi, sambil berusaha menahan air matanya sendiri.
"Pa... Papa kenapa?" Suara Keira pecah dalam isak tangis yang semakin keras, air matanya mengalir tanpa henti. Matanya yang sembab memohon jawaban dari ayahnya yang kini terbaring lemah.
Norman mencoba mengatur napas yang sudah semakin berat, tatapannya terarah pada Kian dan Devin yang berdiri di dekatnya. "Vin... Ian..." ucapnya dengan susah payah. "Jagain Keira ya..."
"Iya, Pa... Papa jangan bicara seperti itu." Kian, yang jarang menunjukkan emosi, kali ini tak mampu menahan air matanya. Tetesan air matanya jatuh, membasahi pipinya.
“Anjing, apaan sih lu, Man. Jangan ngomong sembarangan!” Devin meluapkan emosinya. Rasa kesal dan sedih bercampur, dan meski hatinya berat, ia tak bisa menerima kenyataan ini.
Dengan sisa tenaganya, Norman mengangkat tangannya yang bergetar, lalu menyentuh lembut dagu Keira yang basah oleh air mata. "Sayang... yang kuat ya... Banyak orang yang akan jagain kamu."
Keira menggenggam tangan ayahnya, tak ingin melepaskannya. “Papa, jangan ngomong gitu, aku nggak mau papa ninggalin aku. Kalau papa di sini, aku pasti kuat,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku akan nurut, tapi jangan pergi…”
Norman tersenyum tipis, senyum yang penuh kasih sayang namun dibalut oleh kepasrahan. "Jadi istri yang baik ya... Turutin apa kata suami kamu..."
"Papa... kenapa harus ngomong begini? Aku nggak bisa tanpa papa," tangis Keira semakin pecah. Air matanya jatuh lebih deras, memohon agar waktu berhenti.
"Nggak bisa, sayang... ini sudah takdir Papa," bisik Norman dengan lembut. Bibirnya masih bergerak, seolah ingin mengucapkan sesuatu, namun suaranya sudah hilang. Tubuhnya semakin lemas, dan senyum terakhirnya tak pernah pudar.
Devin, yang sejak tadi merasa ada yang tak beres, langsung memeriksa napas Norman. Tubuhnya menegang seketika. "Bangsat..." gumamnya dalam hati, penuh kepedihan. Norman sudah pergi. Senyum di wajah sahabatnya yang selama ini mendampinginya kini menjadi senyum terakhir.
Keira langsung menangis histeris, seluruh tubuhnya gemetar. Ia jatuh dalam pelukan Kian yang segera memeluk erat, membiarkan Keira meluapkan segala duka dan kesedihan di bahunya. Pundak Kian menjadi penopang air mata dan rasa kehilangan yang begitu mendalam.
Di sudut ruangan, George hanya bisa memalingkan wajah. Ia tak ingin melihat kematian seseorang yang memperlakukannya dengan begitu baik. Norman dan Wendy adalah orang pertama yang mengadopsi dan memberinya kehidupan yang layak, memperlakukannya sebagai manusia.
Beberapa jam berlalu.
Kian, Keira, dan keluarganya berdiri di hadapan sebuah batu nisan baru. Nama yang terukir di atasnya menandakan akhir dari seorang pria yang tak pernah lelah memberikan cintanya: Norman Edwin Firdausi.
Devin berdiri di sebelahnya, wajahnya tertutupi oleh kedua tangan. Sahabat yang telah menemaninya selama lebih dari dua dekade kini telah pergi, meninggalkan kekosongan yang tak mungkin bisa diisi.
Keira duduk di sebelah makam ayahnya, tak bisa berhenti menangis. Tangisnya seakan tak pernah surut, memecah kesunyian di pemakaman. Di sisinya, Grace, wanita tua berusia 66 tahun itu, duduk sambil merangkul Keira, berusaha menenangkannya.
"Keira, sudah ya... Yuk, pulang," kata Grace dengan lembut, menepuk pelan punggung Keira. Senyum tipis tergambar di wajahnya, meski hatinya juga dipenuhi duka.
Devin, yang kini sudah menghapus air matanya, berjongkok di dekat Keira. "Sayang, ayo kita pulang. Ke rumah kakek nenek," ucapnya dengan nada yang menenangkan, meski di baliknya tersimpan rasa kehilangan yang mendalam.
Kian berdiri beberapa langkah dari mereka, terdiam. Ia merasa ironis melihat sang istrinya yang beberapa hari lalu begitu ceria dan teguh, kini hanya bisa menangis tanpa henti di depan makam kedua orang tuanya. Semua ini terjadi begitu cepat, seperti angin yang tiba-tiba menghancurkan segalanya.