Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 : Hentakan
“Halo, Kak Pamu?”
“Halo, Ara… Bad news, good news, which one you wanna hear first?”
“Good news.”
“Oke, temenku tertarik untuk menggarap ceritamu.”
"Serius? Aku nggak ngira bisa jadi. Kalau bukan Kak Pamu yang bilang, mungkin cerita itu cuma jadi catatan harian. And what a bad?”
“Dari awal penerbitan bukumu, kamu selalu menolak untuk muncul. Penulis-penulis lain sudah mengembangkan sayap karena mereka semakin dikenal orang. Mereka benar-benar hadir dan terlihat di antara para penggemarnya. Awalnya, penggemarmu menerima ketidakhadiranmu sebagai sebuah misteri. Karena semakin misterius, semakin menarik. Tapi lama-lama penggemarmu mulai bosan, mereka penasaran bagaimana rupa penulis buku yang mereka sukai. Pak Doni bilang, sosok penulis yang dikenal bisa mendongkrak penjualan film.”
Ara tercenung. Kabar baik yang baru saja didengarnya mendadak menjadi sedikit menakutkan.
“Apa itu penting? Aku nggak muncul karena aku...”
“Nggak good looking? Introvert? Gangguan kecemasan?”
“Kak Pamu tahu sendiri aku…takut muncul karena nggak pede ketemu banyak orang. Aku nggak tahu penilaian orang akan bagaimana tentang aku. Gimana kalau setelah aku muncul, mereka kecewa? Gimana kalau mereka nggak mau baca ceritaku lagi?”
“Ara…awalnya kamu menulis sebagai terapi, kan? Kamu bebas mengutarakan isi hatimu di situ agar beban di hati kamu bisa tercurahkan. Orang bisa menilaimu karena mereka punya perhatian padamu. Suka dan tidak pasti selalu ada. Yin yang. Hitam putih. Baik buruk. Konsep keseimbangan. Ini kesempatan yang bagus untuk mengembangkan potensimu. Jangan takut, aku selalu ada buat dukung kamu.”
“Makasih, Kak. Aku selalu mengandalkanmu. Maaf kalau kamu kerepotan…”
“Never mind. Ketakutan itu selalu ada, Ara. Setiap orang punya rasa takut, sekecil apapun itu. Nggak apa-apa kalau dengan adanya rasa takut itu membuat kita ingat Tuhan dan terhindar dari kesombongan. Dan setiap orang juga punya keberanian, sekecil apapun itu. Kamu juga punya. Melangkahlah, aku temenin.”
“Baiklah.”
Ara menutup teleponnya dan bergegas ganti baju. Ponselnya sudah ribut. Mahesa terus bertanya apakah Ara akan benar-benar datang atau tidak. Di saat yang sama Saka juga meminta bertemu.
Ara terpaksa mengambil keputusan. Dia tidak tahu apakah ini akan mengubah pandangan mereka berdua tentang dirinya atau tidak. Bagi mereka, mungkin ini akan sedikit jahat.
...* * * * *...
Mobil Saka berhenti di depan rumah Ara. Kedua tangan Saka dingin karena gugup. Dari balik gerbang, Mbok Siran membukakan pintu sambil tersenyum sumringah.
“Mari masuk, ini Mas Saka, kan?”
“Iya, Bu.”
“Ibu sudah nunggu di dalam.”
Ibu? Ibunya Ara yang nunggu? Batin Saka.
“Terima kasih.”
Saka perlahan masuk dari halaman ke teras rumah. Halaman rumah ini asri dipenuhi tanaman hias. Saka jadi teringat ibunya yang punya hobi tanam-menanam seperti ini. Ada beberapa pohon tinggi yang rindang sebagai peneduh.
Ara atau ibunya yang menata taman ini? Tanya Saka dalam hati.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Sarah sudah siap dengan gamis dan kerudung ketika Saka muncul dari pintu depan. Wajahnya terlihat sumringah. Matanya berbinar seolah melihat sinar terang calon mantu yang terpancar dari diri Saka.
Saka menyalami Sarah sambil membungkuk.
“Sehat, Tante?”
“Sehat. Alhamdulillah. Kamu sehat juga, Saka?”
“Alhamdulillah, sama juga Tante.”
“Sini duduk dulu. Ara masih di atas, sebentar Tante panggilin.”
“Nggak usah, Tante. Saya tunggu saja sampai selesai, nggak buru-buru, kok.”
“Anak itu kalau nggak dipanggil…”
Duk! Duk! Duk! Duk!
Sarah memejamkan matanya karena gemas kebiasaan Ara masih belum berubah juga.
“Ara! Pelan-pelan kalau turun tangga!”
“Ara buru-buru, Ma! Mas Saka udah dateng ya. Yuk, berangkat.”
“Heh! Tamu baru aja dateng, belum sempat duduk kok udah mau kamu seret keluar. Biar Saka minum dulu, Mama juga pengen ngobrol.”
“Ngobrolnya nanti pas pulangnya aja, minumnya bisa Ara beliin di jalan.”
Ara mencium punggung tangan Mamanya. Disusul oleh Saka yang terbawa suasana.
“Ara! Ya ampun!”
“Maaf, Tante, saya pergi sama Ara dulu.”
“Maaf ya, Saka.”
“Nggak apa-apa. Saya yang minta maaf kalau saya datengnya telat.”
“Ayo, Mas.”
“Tante titip Ara ya!”
Saka dan Ara melambaikan tangan lalu menuju mobil. Saka membuntuti Ara.
“Kenapa Mas Saka ke sisi sini?"
“Aku mau bukain pintu buat kamu.”
“Aku bisa buka sendiri, Mas. Nggak perlu repot-repot. Makasih.”
Saka mematung. Keki. Lalu tanpa kata kembali ke seat kanan. Ara sudah memakai seat belt ketika Saka masuk dan menyalakan mesin.
“Acaramu jam berapa?”
Ara melirik jam tangannya. “Setengah jam lagi.”
“JEC agak jauh dari sini. Kenapa kamu pengen ke sana? Ada pameran apa?”
“Nanti Mas juga tahu.” Ara tersenyum tipis.
Saka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Walaupun Ara terlihat buru-buru tapi dia tidak mau mengambil resiko dengan mengemudi cepat. Lagipula, dia ingin menikmati waktu berdua sedekat ini dengan Ara.
Saka memakai kemeja dengan celana jeans sedangkan Ara memakai baju yang lebih santai. Kaos oversize warna peach bergambar bunga tulip dipadu celana kulot bertali warna sage. Rambut Ara dikuncir bun dengan anak-anak rambut yang menggemaskan.
Anak ini sebenarnya umur berapa sih kok masih imut begini? Batin Saka.
“Aku stel musik ya. Kamu suka lagu apa?”
“Terserah aja.”
Saka menyetel musik lembut dan jazzy.
“Ceritakan lebih banyak tentang kamu, Ara.”
“Hmm...apa ya... Kata orang aku kekanak-kanakan, dan memang aku merasa begitu, tapi bukan berarti aku tidak bisa berpikir layaknya orang dewasa. Aku nggak tahu kamu bakalan betah atau enggak kalau jalan sama aku.”
Saka tersenyum tipis.
“Mas Saka masih berhubungan dengan mantan pacar?”
Saka batuk keselek ludah sendiri.
“Kalem… kalem, Mas.” Ara menepuk-nepuk punggung Saka.
“Kok tiba-tiba kamu nanya gitu?”
“Feeling aja.”
Saka bingung harus menjawab apa. Dia selalu berpikir berkali-kali jika ingin mengambil keputusan.
“Udah jarang. Aku pengen membuka lembar baru kalau bisa. Yang lalu biarlah berlalu. Dan jujur aja, pas ketemu kamu pertama kali itu…aku merasa minder. Kamu punya keluarga yang harmonis dan menyenangkan. Kamu ceria, sedangkan aku cenderung pendiam. Kamu bisa membuat orang-orang di sekitarmu jadi diri sendiri apa adanya. Aku nyaman aja sama orang yang begitu.”
“Katanya pendiam, kok barusan ngomong panjang banget.”
Ara tertawa kecil.
“Iya, ya, itu juga yang bikin aku bingung. Kok aku jadi bisa ngobrol banyak kalau sama kamu, kok aku bisa nyaman. Dulu aku pikir hatiku udah beku, nggak bisa merasakan kebahagiaan lagi.”
Saka memandang jalanan namun pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Kali ini Ara yang jadi salah tingkah. Tidak menyangka Saka akan sejujur itu.
Tiga puluh menit berlalu dengan cerita-cerita ringan Ara dan Saka.
Sampai di lokasi, Saka baru sadar kalau Ara mengajaknya nonton konser karena ada panggung di tengah sana. Ara menyerahkan tiket masuk lalu duduk di barisan paling depan bersama Saka.
“Maaf, traktirannya cuma air putih.” Ara menyerahkan sebotol air mineral pada Saka.
“Nggak apa-apa. Sehat.”
Kursi penonton sudah mulai penuh. MC sudah mulai berdiri di tengah panggung.
“Kamu suka nonton konser, Ra?”
“Nggak juga. Kamu nggak nyaman, kah?”
Saka hanya tersenyum samar.
“Aduh, maaf ya. Aku harus datang ke sini, dan kamu juga ngajak jalan, jadi daripada jadwalnya berantakan, aku jadikan satu saja. Di sini.”
Ara tersenyum manis. Dia sengaja menguji ketahanan Saka.
Saka hanya sekejap menyunggingkan senyum. Dia merasa kurang nyaman dengan banyak suara. Namun tawa Ara yang ceria mampu mendistraksi perhatiannya.
Penonton bersorak ketika anggota band satu persatu mulai memasuki panggung. Riuh tepuk tangan seketika membahana, tak terkecuali Ara.
“Ryan! I love youuu…!”
“Abim, saranghaeee…!!”
Beberapa penonton meneriakkan nama-nama anggota band bias mereka.
“MAHESA BAJA HITAAAM…! Aku padamuuu!!”
Suara Ara lantang memecah telinga Saka ketika sosok laki-laki yang dulu muncul di pertemuan keduanya. Saka memandang Mahesa yang terlihat gembira mengetahui keberadaan Ara.
“You’re welcome, Ranger Pink!” balas Mahesa.
Mata Saka dan Mahesa bertemu. Dalam hati Mahesa bertanya-tanya kenapa ada dia di sebelah Ara. Sedangkan Saka mengalihkan pandangannya kepada Ara.
“Jadi kamu ngajak aku ke sini buat nonton konser temanmu itu?”
“Konser The Red Rose. Lagu-lagunya bagus. Aku suka. Kebetulan aja yang jadi vokalisnya si Mahesa.”
Ara tertawa geli tanpa merasa bersalah.
“Mereka ini kalau konser sering jadi rebutan, aku beruntung dapat tiket gratis, dua lagi. Tadinya aku mau ajak Alan, tapi dia lebih suka nge-date sama Dista. Jadi yaa…kamu juga termasuk yang beruntung, Mas.”
Ara nyengir. Saka mematung. Dia bahkan bisa beli tiket band Korea atau Amerika yang jauh lebih mahal dari ini, jadi kenapa Saka termasuk orang yang beruntung? Saka mendengus kecil. Harga dirinya tercoreng.
“ARE YOU READYYY?!!”
“YEAAAA!!”
Lagu pembuka langsung menghentak seisi panggung. Penonton yang berdiri bahkan sudah jingkrak-jingkrak sambil bernyanyi mengikuti Mahesa. Kalau tidak ingat ada Saka di sampingnya, mungkin Ara juga sudah lepas ke pinggir panggung.
Saka mulai merasakan ketidaknyamanan, dia berulang kali mengerjapkan mata ketika sorot lampu-lampu berkedip dan bergerak cepat. Suara dentuman dari pengeras suara juga membuat jantungnya ikutan jedag-jedug.
Untungnya lagu ketiga lebih slow dari sebelumnya. Saka bisa sejenak bernafas lega.
“Lagu ini aku bikin karena memori masa kecil yang indah banget buat aku. Nggak cuma aku, kalian juga punya cerita masa kecil yang membahagiakan, kan? Mari kita kenang masa-masa indah dan tak terlupakan itu.”
Mahesa mengambil gitar akustik dan mulai bernyanyi.
Saka merasa lagu ini ada kaitannya dengan Ara karena sepanjang lagu dimainkan, mata Mahesa sering berhenti di posisi Ara duduk. Ara yang ikut bersenandung dan hafal lirik lagu tersebut sepertinya juga merasakan hal yang sama dengan Mahesa.
“Lagu ini bisa jadi penenang kalau aku lagi galau. Menurutmu gimana, Mas? Bagus nggak?”
Saka mengangguk. Tiba-tiba suara microphone yang berdenging mengganggu pendengaran Saka. Suara denging itu tidak begitu lama tapi berhasil membuat Saka terkejut.
“Sorry, guys. Interupsi alien. Go to the next song! C’mon!!” Mahesa dengan cepat mengalihkan perhatian penonton.
Gebukan drum kembali menghentak. Seketika Saka merasakan kepalanya seperti berputar dan dadanya terasa sesak.