Lavina tidak pernah menyangka akan dijodohkan dengan seorang duda oleh orang tuanya. Dalam pikiran Lavina, menjadi duda berarti laki-laki tersebut memiliki sikap yang buruk, sebab tidak bisa mempertahankan pernikahannya.
Karena hal itu dia menjadi sanksi setiap saat berinteraksi dengan si duda—Abyan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Lavina mulai luluh oleh sikap Abyan yang sama sekali tidak seperti bayangannya. Kelembutan, Kedewasaan Abyan mampu membuat Lavina jatuh hati.
Di saat hubungannya mulai membaik dengan menanti kehadiran sosok buah hati. Satu masalah muncul yang membuat Lavina memutuskan untuk pergi dari Abyan. Masalah yang membuat Lavina kecewa telah percaya akan sosok Abyan—duda pilihan orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my_el, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duda 11
Hari pertama liburan berkedok bulan madu, Lavina tak bisa menghentikan tatapan kagumnya akan alam indah di Lombok. Pagi harinya disambut oleh hangatnya sang mentari yang terbit di ufuk timur. Udara sekitar yang sejuk menambah rasa tenang dan semuanya terasa lebih baik.
Semua lelah, penat, pusing, serta beban yang dirasa sirna begitu saja. Lombok benar-benar menggambarkan keindahan itu sendiri. Lavina jadi tidak sabar untuk segera menikmati liburannya, mengunjungi beberapa destinasi wisata yang sudah dia list.
“Kita sarapan dulu, ya, sebelum orangnya papa jemput kita.” Suara Abyan, berhasil menyentak Lavina yang masih tampak asyik memandangi pemandangan di balkon kamar tempatnya menginap.
“Tidak ada alasan untuk menolak. Jadi, ayo cepet!” Lavina melangkahkan kakinya ringan, untuk keluar dari kamar.
Abyan hanya mampu tersenyum kecil melihat tingkah Lavina yang setiap harinya semakin menggemaskan. Tak ingin membuat suasana menjadi buruk, karena ulahnya yang masih menikmati segala ekspresi Lavina tadi. Pria itu segera menyusul ke restoran yang ada di hotel itu. Sarapan sangat penting untuk amunisi di hari yang sepertinya akan terasa padat.
Setelah menyelesaikan acara sarapannya, kini sepasang suami istri itu sudah berada di dalam mobil yang akan mengantar mereka ke destinasi awal mereka. Tampak binar kebahagiaan di sepasang netra Lavina, dan itu tak luput dari tatapan Abyan. Segala gerak-gerik Lavina serta segala perkataannya di dengarkan dengan sepenuh hati oleh Abyan.
“Mas suka foto-foto, gak?” tanya Lavina tiba-tiba, setelah menceritakan segala keinginannya selama menghabiskan liburan itu.
“Maksud kamu foto diri sendiri gitu?” Abyan berbalik bertanya untuk memastikan, yang langsung diangguki antusias oleh Lavina. “Tidak terlalu. Tapi, saya suka memotret,” ujarnya lagi.
Sepasang mata Lavina membola semakin berbinar. Tubuhnya pun secara konstan berubah menghadap ke arah Abyan yang duduk di sebelahnya. “Kalau gitu nanti jadi fotografer buat aku, ya, mau, ya?” pintanya tanpa sadar memberikan tatapan polos bak anak kucing yang minta dipungut.
Tentu saja Abyan terkesiap menatap ekspresi yang Lavina tampilkan untuk pertama kali di hadapannya. Namun, segera dia menormalkan kembali ekspresi sekaligus menenangkan gemuruh jantungnya yang tiba-tiba tak terkendali. Perasaan itu tidak asing dan pria itu paham apa yang terjadi padanya bukanlah karena sebuah penyakit, melainkan hal klise yang biasa dirasakan oleh semua makhluk hidup—cinta, mungkin.
“Saya akan fotokan,” jawab Abyan pada akhirnya, mencoba setenang mungkin. “Tapi ...,” imbuhnya menggantung. Menghentikan seruan yang hampir keluar dari bilah bibir Lavina.
“Eh! Tapi, apa?” tanya Lavina kaget, mengerjap-ngerjapkan matanya kembali menatap sang suami dengan bingung.
Abyan sontak mengulum senyumannya. “Tapi, harus bayar,” sahutnya memarkan senyum jenakanya.
“Ishh ... pelit banget ke istri sendiri,” decak Lavina dengan bibir yang mencebik pelan, lagi-lagi mengejutkan Abyan. Kenapa mendadak Lavina menjadi lebih ekspresif dan clingy? Sangat-sangat tidak baik untuk kinerja jantungnya.
“Bayarnya gak pakek uang, kok, Lav.” Suara Abyan berhasil menarik perhatian Lavina dari rasa kesal.
Wanita itu sontak mengernyitkan dahinya makin kebingungan. Apa maksud sang suami itu sebenarnya? Kalau bukan dengan uang, dia harus bayar pakai apa? Ya, kali dia bayar pakai daun. Kan tidak lucu.
“Kamu bisa bayar pakai perasaanmu, Lav,” lontar Abyan lagi, mengejutkan Lavina.
“Hah?” pekik Lavina nyaring tanpa bisa dicegah, bahkan sampai membuat Abyan ikut terkejut, begitu juga dengan seorang sopir yang sibuk menyetir di depan sana.
“Maksud saya ... pakai perasaan bahagiamu, Lav. Selama berada di sini kamu harus menikmati liburannya, tanpa berpikir apa pun. Nikmati sebagai diri kamu, sebagai seorang Lavina Chandani Ghifari,” tutur Abyan lembut, seakan tak ingin ada salah paham di antara mereka.
Untuk beberapa saat Lavina terenyuh mendengar penuturan Abyan. Selama menikah, suaminya itu tak pernah rasanya marah padanya. Setiap kali dia menentang dan bersikap ketus, Abyan tetap memperlakukannya dengan lembut. Bahkan, nada bicaranya tak pernah meninggi, sekalipun pria itu tengah menahan amarahnya.
Apa mungkin ini salah satu alasan kedua orang tuanya bersikeras untuk menjodohkannya dengan mantan duda ini? Abyan benar-benar memvalidasi semua sikap manja dan keras kepalanya, persis seperti yang dikatakan oleh kedua orang tuanya. Haruskah dia membiarkan perasaan yang telah lama dia kubur itu kembali bersemi dengan orang yang berbeda? Lalu apa katanya tadi, Lavina Chandani Ghifari?
“Sejak kapan namaku berubah?” tanya Lavina setelah cukup lama sibuk dengan renungannya.
“Eh? Kan, kamu sudah menjadi istri saya, bagian dari keluarga Ghifari. Apa perlu mencantumkan nama Pahlevi juga?” Abyan merutuk diri yang bisa-bisanya mengatakan hal konyol yang bisa memancing keributan dengan Lavina. Namun, jawaban Lavina berhasil membuat perasaannya layaknya berada di musim semi.
“Aku suka. Kedengarannya juga bagus,” ujar Lavina sembari melempar senyum ke arah Abyan. Oh jangan lupakan juga semburat merah yang muncul malu-malu di kedua pipi Lavina, menambah kesan cantik dan menggemaskan di satu waktu.
***
Layaknya Lavina yang begitu senang menatap keindahan Air Terjun di hadapannya. Abyan juga tak kalah senang, sampai rasanya pria itu tidak lelah menyunggingkan senyumannya. Melihat Lavina tersenyum lepas dengan wajah yang bersinar akibat piasan sinar matahari, menjadi hal yang begitu menakjubkan bagi Abyan.
Bagaimana mungkin perasaan Abyan tidak membuncah. Terlebih, selama di perjalanan tadi, Lavina tiada hentinya berbicara segala hal dengan menggenggam tangannya. Seolah wanita itu menumpukan semuanya kepada Abyan. Dan tentu saja Abyan suka menjadi tempat yang dipercaya oleh sang istri.
“Mas ayo foto berdua!” panggil Lavina masih dengan semangatnya. Seperti tak merasa lelah.
“Tapi, saya gak—“
“Udah, deh! Ayo sini, deketan. Cukup liat kameranya setelah itu selesai,” potong Lavina cepat dan menarik tangan Abyan untuk mengikis jarak di antara mereka.
Abyan jelas saja terkejut dengan perlakuan Lavina yang tiba-tiba. Belum selesai dengan rasa terkejutnya. Pria itu kembali mendapat serangan dadakan saat wajah Lavina sudah menempel dengan wajahnya. Hal itu membuat Abyan refleks menoleh dan sukses membuat dia membeku.
Cup!
Kedua bibir itu bertemu tanpa bisa dicegah untuk pertama kalinya. Membuat mata Lavina membola sempurna dengan tubuh yang menegang kaku. Darahnya berdesir hebat, jantungnya bertalu hebat, dan perutnya seakan ditabrak oleh ribuan kupu-kupu. Menggelikan, tetapi menghantarkan rasa nyaman.
Cekrek!
Sontak keduanya memundurkan wajahnya masing-masing setelah mendengar suara kamera yang sebelumnya sudah diberi waktu. Wajah Lavina memerah padam dan segera mengalihkan tatapannya dari Abyan.
"Huaa ... apa yang gue lakuin barusan? Mama ... adek dicium mantan duda!!" pekik Lavina dalam hati.
Berbeda dengan Lavina, Abyan tak kalah salah tingkah. Telinganya memerah sempurna, dan dia juga berusaha untuk tak menatap ke arah suami kecilnya. Namun, tetap tak bisa. Matanya tidak bisa bekerja sama, justru sekarang tengah mencuri pandang ke arah Lavina yang begitu lucu di matanya. Wajah yang memerah dengan bibir yang mengkilat, perpaduan yang sempurna, bukan.
"Oh sial! Sadar Abyan. Jangan berpikir terlalu jauh! Jangan sampai membuat Lavina tidak nyaman," rutuk Abyan dalam hatinya, menyalahi diri sendiri.
*
*
Hai hai
Gimana-gimana
Siap-siap buat manis-manis yaa 😉