“Jangan meremehkan seorang wanita, karena marahnya seorang wanita akan membawa kehancuran untukmu!”
~Alatha Senora Dominic~
🍁
Wanita yang kehadirannya tak diinginkan. Ia diabaikan, dikhianati bahkan hidupnya seolah tengah dipermainkan.
Satu persatu kenyataan terbuka seiring berjalanya waktu.
“Aku diam bukan berarti lemah! Berpuas dirilah kalian sebelum giliran aku yang membuat kalian diam.”
Kisah rumit keluarga dengan banyak konflik dan intrik yang mewarnai.
Simak kisah hidup seorang Alatha Senora Dominic di sini 💚
*
Mature Content.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 32 Panggil aku Ala, bukan Atha
Jangan tanya Atha kapan kuatnya.
Ini masih dalam proses pembentukan karakter.
Nggak ada yang tiba-tiba kuat tanpa proses.
Jadi nikmati aja ya alurnya.
🍁
Tok! Tok! Tok!
Pukul 07.00 pagi lagi dan lagi Atha memilih meninggalkan mansion Renner.
Seperti sebelumnya, ia memarkirkan mobilnya di sebuah rumah sakit.
Tak lama mobil jemputan datang dan ia langsung masuk dengan segera.
Atha tersenyum sinis menunggu reaksi Jeremy yang jelas akan lebih emosi lagi ketika Atha dengan sengaja mengeluarkan seluruh pakaian Jeremy dan membakarnya.
Bahkan tak ada yang berani melarangnya ketika ia menyorot semua pelayan dengan tatapan membunuh.
Kembali Atha menginjakkan kakinya di mansion mewah milik kakeknya.
Atha langsung masuk dan langsung menuju taman belakang kala pelayan mengatakan bahwa sang kakek berada di sana.
“Kakek.”
Deg!
Jantung Atha berpacu ketika melihat ternyata sang kakek tidak sendirian.
Ia bersama dengan seorang lelaki berwajah tampan yang ditemuinya kemarin.
Atha merasakan tubuhnya bereaksi aneh.
“Ala.”
Atha berjalan mendekat ke sana dengan jantung yang berdegup dengan kencang.
Lelaki itu sama sekali tak menatapnya. Ia hanya menoleh sekilas kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Pagi Tuan Al.”
“Hmm.” dahemnya tanpa menjawab panggilannya.
Lelaki ini ..., dingin sekali. batin Atha melihat respon lelaki tersebut.
Tidak tahu saja bahwa lelaki itu adalah gunung es, lebih dingin dari sekedar kulkas empat pintu.
Bukan hanya dingin, ia juga minim ekspresi dan juga mengerikan.
“Kau sudah sarapan, Ala?”
“Sudah,” jawab Atha singkat.
Ekor matanya kembali melirik lelaki yang duduk di samping sang kakek.
Entahlah... Ada perasaan aneh yang dirasakan ketika melihatnya.
Dan sikap Atha yang curi-curi pandang tak lepas dari pengamatan lelaki tua itu.
Bahkan lelaki itu juga menyadari bahwa ada tatapan yang memperhatikan dirinya.
“Bagaimana jika kita memulainya, Nona?” Akhirnya lelaki itu bersuara juga.
Hanya dengan suaranya saja mampu membuat tubuh Atha menegang.
Ouh, ada apa ini sebenarnya?
Atha menoleh, menatap sang kakek dan lelaki itu secara bergantian. Ia bingung apa maksud dari kata ‘memulai’ yang dilontarkan lelaki itu.
“Memulai? Apa yang dimulai?”
Terdengar decakan malas dari bibir lelaki tersebut.
“Cukup Anda ikuti saya, Nona.” sahutnya datar dan terkesan dingin.
Atha menatap kakeknya yang mengangguk. Atha menghela napas pelan.
“Baiklah,” sahut Atha memilih menurut. Walaupun sejujurnya banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya.
Banyak yang disembunyikan darinya dan ia menyadari itu namun tetap memilih diam.
Lelaki itu bangkit diikuti Atha yang berjalan mengekori.
“Kita mau kemana Tuan?” tanya Atha ketika ia melihat ternyata lelaki itu menuju mobil.
“Cukup diam dan anda akan tahu nanti, Nona. Jangan terlalu banyak bertanya!” jawabnya datar dan malas.
Atha berdecak. “Ternyata dia lebih kaku dari sekedar pajangan manekin.” gumamnya pelan tetap mengekori lelaki tersebut.
Gumaman Atha yang pelan ternyata masih mampu menembus gendang telinga lelaki tersebut.
Ia menoleh dan menatap Atha dengan tajam untuk memperingati wanita itu agar menutup mulutnya.
Deg!
Jantung Atha kembali berdetak ketika manik mata lelaki itu menatapnya.
Ada getaran bahkan rasa yang tak bisa dijelaskan yang tengah dirasakan.
Mata itu bahkan mampu menghipnotis.
“Masuklah! Apa kau hanya akan berdiri di sana.” Terdengar teriakan lantang dari lelaki tersebut yang ternyata sudah ada dibalik kemudi.
Secepat kilat Atha langsung menyusul ketika tersadar dari lamunan.
Mobil meninggalkan mansion dengan kecepatan tinggi.
Atha hanya menatap lurus ke depan tanpa mau menoleh.
Sepanjang perjalanan hanya diisi keheningan. Hanya hembusan napas dari masing-masing yang terdengar pelan.
“Apakah masih lama?” tanya Atha tanpa menoleh namun tak mendapatkan jawaban.
Lelaki itu tetap bungkam dan fokus pada jalan yang dilalui.
Atha menghela napas kasar dan langsung menggenakan kacamata hitam yang terselip di bajunya.
Setelah matanya tertutup kacamata, Atha menyamankan posisi dan memilih memejamkan mata.
Auranya terlalu pekat. Bahkan hanya sekedar untuk bertanya saja tak ada cela.
Sambil menahan kesal ternyata Atha terlelap dengan sendirinya.
Lelaki itu melirik melalui ekor matanya ketika melihat sang wanita yang sedari tadi terus bertanya akhirnya diam.
Dalam diamnya lelaki itu juga menahan rasa yang sama yaitu kesal.
Kenapa misi rahasia yang ditunjukkan harus mengawal seorang wanita yang bahkan tidak bisa konsisten dengan sikapnya.
Alan, lelaki itu menyesali keputusannya pergi ke New York demi misi yang disebut rahasia ini.
“Kau harus kuat agar aku cepat kembali,” ucapnya pelan sambil membelokkan kemudi memasuki sebuah rumah sederhana bertingkat dua yang jauh dari keramaian.
Alan menatap wanita yang terlelap tanpa beban tersebut beberapa menit.
“Nona, bangun. Kita sudah sampai.” Alan membangunkan wanita itu dengan suara yang terlalu keras agar tak mengejutkannya.
Namun wanita itu benar-benar menikmati tidurnya. Ia sama sekali tak bergerak sedikitpun.
Tangan Alan terulur ingin menggoyang bahu wanita itu namun ditarik kembali.
Terdengar helaan dan decakan malas dari bibirnya.
Alan memilih keluar lebih dulu.
Brak!
Pintu mobil dibanting dengan keras berharap suaranya dapat membangunkan Atha.
Namun tetap saja tak ada pergerakan apapun.
Alan berputar ke arah pintu sebelah. Dengan sedikit ragu ia menyentuh bahu wanita itu.
“Nona! Bangun!”
Ada sengatan listrik ketika tangannya bersentuhan dengan kulit putih wanita itu. Segera Alan menarik tangannya kembali.
“Eenghh!” Terdengar erangan dari bibir wanita itu, perlahan matanya terbuka lebar.
Ia sedikit terkejut melihat mobil sudah berhenti dan pintu mobilnya terbuka lebar.
Atha menoleh melihat lelaki itu sudah berdiri di samping pintu mobil.
Secepat kilat Atha menaikkan kacamatanya dan segera turun.
“Maaf aku ketiduran,” ucapnya dihadapan lelaki yang tak menampilkan ekspresi tersebut.
Kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana.
Lelaki itu tak menjawab dan langsung berbalik dengan cepat.
Atha yang tak ingin mendapatkan bentakan lagi memilih mengikuti langkahnya.
Rumah sederhana bertingkat dua dengan halaman yang asri itu sunyi sepi.
Di sekitarnya ditumbuhi pepohonan rimbun yang tinggi.
Pintu rumah terbuka lebar, Atha mengikuti langkahnya dengan mata yang mengamati sekitarnya.
Lelaki itu duduk dengan menopang kakinya.
“Duduklah! Aku akan menjelaskan banyak hal padamu. Aku hanya akan mengatakan sekali dan tak ada siaran ulang. Kau paham, Nona Alatha?”
Atha mengangguk. “Just call me Ala, don't call me Atha. Dan kau bisa memanggil namaku tanpa embel-embel nona.”
Lelaki itu mengangguk paham. “Jadi begini ...”
Alan menjelaskan banyak hal pada Atha yang untungnya langsung dipahami olehnya.
Jika tidak, kemungkinan besarnya adalah lelaki itu pasti akan memakinya.
“Follow me. Kau bukan hanya harus cerdas namun kau harus bisa melindungi dirimu sendiri,” ucapannya datar dan dingin. “Kau tak bisa mengandalkan orang lain, kau harus mengandalkan dirimu sendiri. Dan kau tak boleh mempercayai siapapun termasuk aku. Kau dengar, Ala?”
Ala...
Panggilan itu seolah nyanyian merdu di telinga Atha.
Kenapa rasanya berbeda saat lelaki itu yang memanggil namanya.
“Alatha Senora Dominic! Kau dengar?” ulangnya dengan lantang membuyarkan lamunan Atha.
Atha gelagapan dan hanya mengangguk gugup.
Ia segera bangkit dan mengikuti langkah lelaki itu.
Dari belakang saja Atha bisa melihat punggung lebar itu tegap dan sangat nyaman sebagai sandaran.
Sial, pemikiran apa itu. Atha menggelengkan kepalanya.
Tingkah Atha tentu saja diamati oleh pemilik mata tajam yang menguarkan aura hitam pekat tersebut.
“Buang pikiranmu jauh-jauh. Kau hanya harus fokus pada tujuan utama.”
🍁
Bersambung...